Getol Bangun Infrastruktur, Tetangga Indonesia Ini Terbelit Utang China
Kamis, 18 Juli 2024 - 17:33 WIB
Menurut dia, upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang pesat melalui proyek infrastruktur berskala besar merupakan pendekatan yang keliru. "Infrastruktur berskala besar dapat memberikan kontribusi penting bagi pembangunan, tapi juga kerap memerlukan pinjaman dalam jumlah besar untuk membiayainya," katanya.
Bagai lingkaran setan, besarnya kewajiban utang Laos kemudian menyebabkan lebih sedikitnya dana dalam anggaran untuk hal-hal seperti pendidikan dan layanan sosial. Sims mengatakan, uang yang digunakan untuk membayar utang adalah uang yang tidak digunakan untuk hal-hal seperti pendidikan, perawatan kesehatan, layanan sosial, dan jenis barang publik lainnya. "Dalam konteks Laos, ekonomi berpendapatan menengah ke bawah, hal itu berdampak nyata pada upaya pengentasan kemiskinan, terhadap kemampuan Laos untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan," tuturnya.
Direktur Pusat Pengembangan Indo-Pasifik Institut Lowy, Roland Rajah, mengatakan depresiasi mata uang kip dan inflasi telah menghancurkan rumah tangga di Laos. "Harga konsumen yang terukur telah meningkat sekitar dua kali lipat, termasuk untuk kebutuhan pokok seperti makanan dan obat-obatan," ujarnya. "Orang-orang di daerah perkotaan adalah yang paling terdampak karena mereka lebih bergantung pada pendapatan tunai dan makanan impor," tambahnya.
Keith Barney, profesor madya di Sekolah Kebijakan Publik Crawford ANU, mengatakan penduduk pedesaan dapat bergantung pada pasokan makanan yang ditanam atau dipetik dari alam sampai batas tertentu. "Namun, terutama bagi masyarakat miskin perkotaan dan kelas menengah ke bawah, daya beli mereka telah berkurang secara signifikan," jelasnya.
Hal ini memengaruhi kemampuan masyarakat miskin perkotaan untuk membeli makanan sehat dan bergizi dalam jumlah yang cukup serta hal-hal seperti pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan. "Krisis ekonomi telah menjadi bencana bagi pemuda Laos yang putus sekolah dengan jumlah yang sangat tinggi, dengan ribuan orang menyeberangi perbatasan ke Thailand atau tempat yang lebih jauh, untuk mencari pekerjaan dengan mata uang asing," tambahnya.
Rajah mengatakan masalah-masalah tersebut "hampir tidak bisa dihindari". "Laos meminjam terlalu banyak untuk proyek-proyek yang hanya bisa memberikan hasil dalam jangka panjang, namun negara ini harus mulai memberikan pembayaran besar ke China sekarang," katanya.
Krisis yang dihadapi Laos ini kemudian memunculkan tuduhan dari sejumlah pihak bahwa China melakukan "diplomasi perangkap utang" dengan sengaja memikat Laos agar mengambil pinjaman dalam jumlah besar, sehingga Beijing dapat menyita asetnya atau meningkatkan pengaruh geopolitiknya.
Namun, tuduhan itu dibantah keras oleh China. Kementerian Luar Negeri China baru-baru ini mengatakan kepada Bloomberg bahwa negara itu telah melakukan "kerja sama yang saling menguntungkan" dengan negara-negara berkembang, termasuk Laos yang melibatkan dukungan kuat untuk pembangunan ekonomi dan sosial.
Kementerian tersebut mengatakan tuduhan "perangkap utang" tersebut merupakan bagian dari upaya AS untuk mengganggu kerja sama Beijing dengan negara-negara berkembang. "China tidak dapat menipu sebagian besar negara berkembang," tegas kementerian tersebut.
Bagai lingkaran setan, besarnya kewajiban utang Laos kemudian menyebabkan lebih sedikitnya dana dalam anggaran untuk hal-hal seperti pendidikan dan layanan sosial. Sims mengatakan, uang yang digunakan untuk membayar utang adalah uang yang tidak digunakan untuk hal-hal seperti pendidikan, perawatan kesehatan, layanan sosial, dan jenis barang publik lainnya. "Dalam konteks Laos, ekonomi berpendapatan menengah ke bawah, hal itu berdampak nyata pada upaya pengentasan kemiskinan, terhadap kemampuan Laos untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan," tuturnya.
Direktur Pusat Pengembangan Indo-Pasifik Institut Lowy, Roland Rajah, mengatakan depresiasi mata uang kip dan inflasi telah menghancurkan rumah tangga di Laos. "Harga konsumen yang terukur telah meningkat sekitar dua kali lipat, termasuk untuk kebutuhan pokok seperti makanan dan obat-obatan," ujarnya. "Orang-orang di daerah perkotaan adalah yang paling terdampak karena mereka lebih bergantung pada pendapatan tunai dan makanan impor," tambahnya.
Keith Barney, profesor madya di Sekolah Kebijakan Publik Crawford ANU, mengatakan penduduk pedesaan dapat bergantung pada pasokan makanan yang ditanam atau dipetik dari alam sampai batas tertentu. "Namun, terutama bagi masyarakat miskin perkotaan dan kelas menengah ke bawah, daya beli mereka telah berkurang secara signifikan," jelasnya.
Hal ini memengaruhi kemampuan masyarakat miskin perkotaan untuk membeli makanan sehat dan bergizi dalam jumlah yang cukup serta hal-hal seperti pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan. "Krisis ekonomi telah menjadi bencana bagi pemuda Laos yang putus sekolah dengan jumlah yang sangat tinggi, dengan ribuan orang menyeberangi perbatasan ke Thailand atau tempat yang lebih jauh, untuk mencari pekerjaan dengan mata uang asing," tambahnya.
Rajah mengatakan masalah-masalah tersebut "hampir tidak bisa dihindari". "Laos meminjam terlalu banyak untuk proyek-proyek yang hanya bisa memberikan hasil dalam jangka panjang, namun negara ini harus mulai memberikan pembayaran besar ke China sekarang," katanya.
Krisis yang dihadapi Laos ini kemudian memunculkan tuduhan dari sejumlah pihak bahwa China melakukan "diplomasi perangkap utang" dengan sengaja memikat Laos agar mengambil pinjaman dalam jumlah besar, sehingga Beijing dapat menyita asetnya atau meningkatkan pengaruh geopolitiknya.
Namun, tuduhan itu dibantah keras oleh China. Kementerian Luar Negeri China baru-baru ini mengatakan kepada Bloomberg bahwa negara itu telah melakukan "kerja sama yang saling menguntungkan" dengan negara-negara berkembang, termasuk Laos yang melibatkan dukungan kuat untuk pembangunan ekonomi dan sosial.
Kementerian tersebut mengatakan tuduhan "perangkap utang" tersebut merupakan bagian dari upaya AS untuk mengganggu kerja sama Beijing dengan negara-negara berkembang. "China tidak dapat menipu sebagian besar negara berkembang," tegas kementerian tersebut.
Lihat Juga :
tulis komentar anda