Alasan Kenapa Industri Hasil Tembakau dan Segmen SKT Harus Dilindungi
Senin, 22 Juli 2024 - 14:35 WIB
Berdasarkan data triwulan I-2024, perekonomian Jawa Timur mengalami pertumbuhan sebesar 4,81% (y-on-y) dengan nilai PDRB Rp764,33T, di mana sektor Industri Pengolahan menjadi penopang utama struktur ekonomi Jawa Timur dengan kontribusi sebesar 31,54 persen terhadap PDRB Jawa Timur.
Iwan menjelaskan sub-sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) berkontribusi sebesar 22,78%, menjadikannya sub-sektor dengan kontribusi nilai ekonomi terbesar setelah Industri Makanan & Minuman. Jawa Timur sendiri merupakan provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia dengan sumbangsih sebesar 43,9% dari total produksi nasional.
Pada tahun 2023, tercatat terdapat 1.041 unit IHT di Jawa Timur, di mana 91,64 persen dari unit usaha tersebut memproduksi SKT dalam skala besar dan menengah dengan nilai produksi kurang lebih 195 miliar batang di tahun 2023.
Kebijakan Bagi IHT Harus Memastikan Perlindungan Segmen SKT
Di kesempatan terpisah, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), Najib Bukhori menegaskan, secara prinsipnya terkait IHT, di dalamnya terdapat penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional yang idealnya didukung dan berjalan bersamaan.
Bagi Najib, kedua hal ini tidak bisa diabaikan sehingga perlindungan terhadap segmen SKT tetap harus dilakukan, terlebih untuk melindungi kepentingan berbagai pihak seperti petani tembakau yang kontribusinya sangat besar dalam mempertahankan komoditas tembakau nusantara.
“Kontribusi rokok SKT terhadap pendapatan negara sangat besar melalui cukai yang tinggi. Jika kita lihat dari sisi sosial dan kemanusiaan (penyerapan tenaga kerja), penting untuk mempertahankannya sejauh mungkin,” ungkapnya.
Untuk menentukan kebijakan IHT, Najib mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan keberlangsungan IHT segmen SKT sebagai sektor padat karya. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada SKT akan berdampak pada buruh yang berisiko pada rasionalisasi karyawan atau PHK, di mana hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja oleh negara.
Kebijakan pemerintah tidak boleh mengakibatkan PHK terhadap karyawan. Najib juga berpesan, pemerintah perlu memastikan kelangsungan petani tembakau dan kehidupan di SKT itu sendiri.
“Jadi prinsip utama yang harus diperhatikan adalah dampaknya terhadap pabrik rokok, terutama SKT, dan kesejahteraan buruh serta petani tembakau. Meskipun ada tarik-menarik antara aspek kesehatan, pendapatan negara, dan kebijakan pengendalian konsumsi rokok, ini harus dipertimbangkan dengan cermat,” jelasnya.
Iwan menjelaskan sub-sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) berkontribusi sebesar 22,78%, menjadikannya sub-sektor dengan kontribusi nilai ekonomi terbesar setelah Industri Makanan & Minuman. Jawa Timur sendiri merupakan provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia dengan sumbangsih sebesar 43,9% dari total produksi nasional.
Pada tahun 2023, tercatat terdapat 1.041 unit IHT di Jawa Timur, di mana 91,64 persen dari unit usaha tersebut memproduksi SKT dalam skala besar dan menengah dengan nilai produksi kurang lebih 195 miliar batang di tahun 2023.
Kebijakan Bagi IHT Harus Memastikan Perlindungan Segmen SKT
Di kesempatan terpisah, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), Najib Bukhori menegaskan, secara prinsipnya terkait IHT, di dalamnya terdapat penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional yang idealnya didukung dan berjalan bersamaan.
Bagi Najib, kedua hal ini tidak bisa diabaikan sehingga perlindungan terhadap segmen SKT tetap harus dilakukan, terlebih untuk melindungi kepentingan berbagai pihak seperti petani tembakau yang kontribusinya sangat besar dalam mempertahankan komoditas tembakau nusantara.
“Kontribusi rokok SKT terhadap pendapatan negara sangat besar melalui cukai yang tinggi. Jika kita lihat dari sisi sosial dan kemanusiaan (penyerapan tenaga kerja), penting untuk mempertahankannya sejauh mungkin,” ungkapnya.
Untuk menentukan kebijakan IHT, Najib mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan keberlangsungan IHT segmen SKT sebagai sektor padat karya. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada SKT akan berdampak pada buruh yang berisiko pada rasionalisasi karyawan atau PHK, di mana hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja oleh negara.
Kebijakan pemerintah tidak boleh mengakibatkan PHK terhadap karyawan. Najib juga berpesan, pemerintah perlu memastikan kelangsungan petani tembakau dan kehidupan di SKT itu sendiri.
“Jadi prinsip utama yang harus diperhatikan adalah dampaknya terhadap pabrik rokok, terutama SKT, dan kesejahteraan buruh serta petani tembakau. Meskipun ada tarik-menarik antara aspek kesehatan, pendapatan negara, dan kebijakan pengendalian konsumsi rokok, ini harus dipertimbangkan dengan cermat,” jelasnya.
tulis komentar anda