Respons Kemasan Rokok Polos, Pelaku Ritel Soroti Sederet Dampak Negatifnya
Rabu, 11 September 2024 - 14:43 WIB
JAKARTA - Pelaku usaha ritel menyatakan penolakan terhadap wacana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek atau plain packaging produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan regulasi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Ketua Umum Aprindo, Roy N. Mandey menanggapi masalah ini dengan mengkritisi penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau dengan radius 200 meter dari satuan pendidikan dan wacana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
Ia menilai sosialisasi terkait regulasi tersebut tidak memadai dan pelaksanaannya tidak dapat diimplementasikan, serta menciptakan potensi praktik pungli di lapangan.
“Pasal karet dalam PP ini akan menyulitkan pelaku usaha dan berpotensi menguntungkan pihak-pihak tertentu,” ujar Roy dalam sebuah diskusi media beberapa waktu lalu.
Roy turut menyoroti dampak negatif dari peraturan tersebut terhadap pedagang kecil dan pekerja. Ia menganggap peraturan yang hanya fokus pada kesehatan tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi, dapat menghancurkan usaha kecil dan mengurangi omzet secara signifikan. “Kami berharap ada keseimbangan antara aspek kesehatan dan ekonomi dalam regulasi ini,” katanya.
Dia juga menyampaikan, kekhawatiran hilangnya omzet pedagang kecil dan peritel yang nantinya dapat berimbas pada negara. Dengan begitu, tujuan pemerintah untuk menekan prevalensi perokok menjadi rancu dan salah sasaran. Imbasnya para pedagang dan peritel yang selama ini telah mematuhi aturan malah tertekan.
“Pemerintah perlu menyoroti dari sisi hulu ke hilirnya, lalu imbasnya seperti PHK dan kemiskinan yang makin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, kondisi kesehatan ini semestinya tidak dikait-kaitkan dengan ekonomi,” tegas dia.
Roy mengatakan, kombinasi kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dan penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau berpotensi meningkatkan konsumsi dari rokok illegal yang semakin mengkhawatirkan. Sulitnya akses konsumen dewasa untuk membeli produk tembakau dan kurangnya informasi terhadap produk tembakau legal, dikhawatirkan memicu terjadinya shifting ke rokok illegal.
Selama ini, Aprindo telah menyuarakan kekhawatiran pedagang ritel dengan bersurat ke kementerian terkait untuk meminta adanya pengkajian ulang. Namun dari banyaknya pasal karet dan perancangan yang banyak sekali lubangnya, asosiasi tidak pernah diajak diskusi dan sejumlah kementerian yang menyetujui dinilai tidak berkaitan langsung dengan nasib pedagang ritel nantinya.
“Kami berharap ada balancing antara ekonomi dan kesehatan, di mana peraturan ini semestinya menjadi ranah pemerintah untuk mempertimbangkan pelaksanaan teknisnya. Karena penting sekali untuk meninjau adanya pengawasan yang efektif dan mempertimbangkan nasib pedagang yang selama ini sudah taat di lapangan,” tutup dia.
Ketua Umum Aprindo, Roy N. Mandey menanggapi masalah ini dengan mengkritisi penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau dengan radius 200 meter dari satuan pendidikan dan wacana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
Ia menilai sosialisasi terkait regulasi tersebut tidak memadai dan pelaksanaannya tidak dapat diimplementasikan, serta menciptakan potensi praktik pungli di lapangan.
“Pasal karet dalam PP ini akan menyulitkan pelaku usaha dan berpotensi menguntungkan pihak-pihak tertentu,” ujar Roy dalam sebuah diskusi media beberapa waktu lalu.
Baca Juga
Roy turut menyoroti dampak negatif dari peraturan tersebut terhadap pedagang kecil dan pekerja. Ia menganggap peraturan yang hanya fokus pada kesehatan tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi, dapat menghancurkan usaha kecil dan mengurangi omzet secara signifikan. “Kami berharap ada keseimbangan antara aspek kesehatan dan ekonomi dalam regulasi ini,” katanya.
Dia juga menyampaikan, kekhawatiran hilangnya omzet pedagang kecil dan peritel yang nantinya dapat berimbas pada negara. Dengan begitu, tujuan pemerintah untuk menekan prevalensi perokok menjadi rancu dan salah sasaran. Imbasnya para pedagang dan peritel yang selama ini telah mematuhi aturan malah tertekan.
“Pemerintah perlu menyoroti dari sisi hulu ke hilirnya, lalu imbasnya seperti PHK dan kemiskinan yang makin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, kondisi kesehatan ini semestinya tidak dikait-kaitkan dengan ekonomi,” tegas dia.
Roy mengatakan, kombinasi kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dan penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau berpotensi meningkatkan konsumsi dari rokok illegal yang semakin mengkhawatirkan. Sulitnya akses konsumen dewasa untuk membeli produk tembakau dan kurangnya informasi terhadap produk tembakau legal, dikhawatirkan memicu terjadinya shifting ke rokok illegal.
Selama ini, Aprindo telah menyuarakan kekhawatiran pedagang ritel dengan bersurat ke kementerian terkait untuk meminta adanya pengkajian ulang. Namun dari banyaknya pasal karet dan perancangan yang banyak sekali lubangnya, asosiasi tidak pernah diajak diskusi dan sejumlah kementerian yang menyetujui dinilai tidak berkaitan langsung dengan nasib pedagang ritel nantinya.
“Kami berharap ada balancing antara ekonomi dan kesehatan, di mana peraturan ini semestinya menjadi ranah pemerintah untuk mempertimbangkan pelaksanaan teknisnya. Karena penting sekali untuk meninjau adanya pengawasan yang efektif dan mempertimbangkan nasib pedagang yang selama ini sudah taat di lapangan,” tutup dia.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda