Ethanol untuk BBN Tanpa Cukai Bakal Jadi Magnet Bagi Dunia Usaha
Rabu, 30 Oktober 2024 - 20:01 WIB
JAKARTA - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Abadi Poernomo menilai, rencana bebas cukai bagi ethanol khusus untuk bahan bakar nabati (BBN) , sebagai upaya Pemerintah mendorong pengembangan bioethanol. Termasuk di antaranya, guna menekan perbedaan harga antara bioethanol dan bensin, agar lebih menarik bagi dunia usaha.
”Sekarang kan harga bioethanol sekitar Rp14 ribuan per liter. Makanya persoalan cukai harus diselesaikan. Dengan demikian, diharapkan mampu merangkul produsen ethanol, termasuk pabrik gula, agar mau mengutamakan kepentingan dalam negeri yaitu bioethanol,” kata Abadi kepada media.
Menurut Abadi, pelaku usaha selama ini tidak mau mengembangkan bioetanol karena cukai untuk ethanol yang sekitar Rp20.000 per liter dinilai terlalu mahal. Selama ini pengenaan cukai karena ethanol dijadikan campuran minuman beralkohol.
Makanya jika penerapan cukai juga diberlakukan bagi ethanol yang akan dijadikan BBN, tentu sangat memberatkan pelaku usaha yang mendapat tugas mengembangkan bioethanol.
Padahal, lanjut Abadi, berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional yang akan segera ditetapkan menjadi PP, pelaku usaha tidak boleh menaikkan harga jual bioethanol saat dipasarkan ke masyarakat.
“Jadi harganya sama. Kalau bioethanol dimasukkan dan dicampurkan ke dalam BBM tersebut, maka harga jual tetap sama. Misal sekitar Rp12 ribuan. Enggak akan berubah,” ujar Abadi.
Penghapusan cukai tersebut, diharapkan memang berdampak positif dalam upaya mendorong bioethanol sebagai BBN. Karena menurut Abadi, dengan mengembangkan bioethanol diharapkan bisa mendukung target Net Zero Emission (NZE) paling lambat 2026 dan juga mengurangi impor BBM.
”Kalau kita lihat pencapaian energi baru terbarukan, harusnya setelah 2025 sudah mencapai 23 persen. Tetapi, sampai saat ini kan masih 13-14 persen. Bagaimana agar pencapaian energi baru terbarukan terus maju? Digalakkanlah penggunaan bioethanol,” kata Abadi.
”Sekarang kan harga bioethanol sekitar Rp14 ribuan per liter. Makanya persoalan cukai harus diselesaikan. Dengan demikian, diharapkan mampu merangkul produsen ethanol, termasuk pabrik gula, agar mau mengutamakan kepentingan dalam negeri yaitu bioethanol,” kata Abadi kepada media.
Menurut Abadi, pelaku usaha selama ini tidak mau mengembangkan bioetanol karena cukai untuk ethanol yang sekitar Rp20.000 per liter dinilai terlalu mahal. Selama ini pengenaan cukai karena ethanol dijadikan campuran minuman beralkohol.
Makanya jika penerapan cukai juga diberlakukan bagi ethanol yang akan dijadikan BBN, tentu sangat memberatkan pelaku usaha yang mendapat tugas mengembangkan bioethanol.
Padahal, lanjut Abadi, berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional yang akan segera ditetapkan menjadi PP, pelaku usaha tidak boleh menaikkan harga jual bioethanol saat dipasarkan ke masyarakat.
“Jadi harganya sama. Kalau bioethanol dimasukkan dan dicampurkan ke dalam BBM tersebut, maka harga jual tetap sama. Misal sekitar Rp12 ribuan. Enggak akan berubah,” ujar Abadi.
Penghapusan cukai tersebut, diharapkan memang berdampak positif dalam upaya mendorong bioethanol sebagai BBN. Karena menurut Abadi, dengan mengembangkan bioethanol diharapkan bisa mendukung target Net Zero Emission (NZE) paling lambat 2026 dan juga mengurangi impor BBM.
”Kalau kita lihat pencapaian energi baru terbarukan, harusnya setelah 2025 sudah mencapai 23 persen. Tetapi, sampai saat ini kan masih 13-14 persen. Bagaimana agar pencapaian energi baru terbarukan terus maju? Digalakkanlah penggunaan bioethanol,” kata Abadi.
tulis komentar anda