Penggunaan Land Application Tingkatkan Daya Saing Sawit Nasional
Senin, 16 Desember 2024 - 07:47 WIB
Menurut Eddy, penggunaan pupuk sintetis mengakibatkan jejak karbon yang lebih tinggi, dari sejak jejak karbon proses produksi pupuk sintetis, kemudian transportasi pupuk sintetis sampai dengan aplikasinya di lapangan. Sebaliknya, pengurangan penggunaan pupuk sintetis juga berdampak pada penurunan biaya operasional secara signifikan yang pada gilirannya kondisi tersebut akan berdampak pada indeks kinerja dan harga tandan buah segar (TBS) petani yang lebih baik. Sebab, hal tersebut menyebabkan biaya operasional menurun. Karena itu, pemanfaatan LCPKS sebagai pupuk organik yang ramah lingkungan, ekonomi dan agronomi menjadi solusi dalam mendukung kemajuan perekonomian nasional.
Siap Berkontribusi Susun Roadmap
GAPKI siap berkontribusi aktif dalam penyusunan roadmap (peta jalan) pengurangan emisi gas rumah kaca di industri kelapa sawit termasuk termasuk memberikan usulan kajian naskah akademik untuk memperbaharui aturan yang ada. Lebih jauh, Eddy mengungkapkan pihaknya bisa membantu melakukan kajian daya dukung implementasi land application terhadap target pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca yaitu dengan pengurangan pupuk kimia dan penurunan BOD dengan mempertimbangkan ketersediaan unsur haranya.
"Oleh karena itu, kami berpandangan bahwa land application apabila dikelola dengan praktik terbaik masih dapat menjadi opsi utama dalam memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi GRK, disamping opsi lainnya seperti penerapan methane capture," ungkapnya.
Diakuinya, banyak juga kelebihan bila pengolahan limbah cair pabrik sawit melalui penerapan methane capture. Selain bisa mengurangi emisi gas rumah kaca, penerapan methane capture memiliki potensi energi yang terbarukan. Hanya saja, methane capture memerlukan investasi awal yang besar untuk pembelian dan instalasi teknologi pengolahan gas metana, serta biaya pemeliharaan sistem. "Ini bisa menjadi beban finansial, terutama untuk perusahaan yang memiliki anggaran terbatas," jelas Eddy.
Menurut dia, penggunaan methane capture paling rendah BOD yang dihasilkan adalah 2000 mg/L. Namun, dia mengharapkan methane capture ini tidak diwajibkan bagi PKS yang akan menggunakan limbah cair untuk LA. "Tetapi kalau (methane capture) akan digunakan untuk energi silakan," jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup sedang menyusun peta jalan (road map) pengurangan emisi GRK di Indonesia, terutama dari metana yang dihasilkan industri kelapa sawit. Saat berkunjung ke salah satu pabrik kepala sawit di Palalawan, Riau, Menteri
Lingkungan Hidup Hanif Faisol melihat praktik pengolahan limbah cair yang baik dan ketat termasuk juga pemanfaatan metana menjadi bahan bakar untuk pembangkit listrik. Dia menegaskan tujuan percepatan pengelolaan metana untuk meningkatkan reputasi Indonesia dalam ikut menangani perubahan iklim.
Pakar tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr mengungkapkan methane capture dan land application merupakan dua hal yang berbeda. Ketika limbah cair keluar dari pabrik dan melalui proses kemudian dilepas ke lahan atau ke perairan disebut land application. ‘’Untuk LA baru bisa dilakukan bila BOD kurang dari 5.000 mg/L, bila dibuang ke perairan BOD-nya harus kurang dari 100 mg/L,’’ jelasnya.
Siap Berkontribusi Susun Roadmap
GAPKI siap berkontribusi aktif dalam penyusunan roadmap (peta jalan) pengurangan emisi gas rumah kaca di industri kelapa sawit termasuk termasuk memberikan usulan kajian naskah akademik untuk memperbaharui aturan yang ada. Lebih jauh, Eddy mengungkapkan pihaknya bisa membantu melakukan kajian daya dukung implementasi land application terhadap target pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca yaitu dengan pengurangan pupuk kimia dan penurunan BOD dengan mempertimbangkan ketersediaan unsur haranya.
"Oleh karena itu, kami berpandangan bahwa land application apabila dikelola dengan praktik terbaik masih dapat menjadi opsi utama dalam memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi GRK, disamping opsi lainnya seperti penerapan methane capture," ungkapnya.
Diakuinya, banyak juga kelebihan bila pengolahan limbah cair pabrik sawit melalui penerapan methane capture. Selain bisa mengurangi emisi gas rumah kaca, penerapan methane capture memiliki potensi energi yang terbarukan. Hanya saja, methane capture memerlukan investasi awal yang besar untuk pembelian dan instalasi teknologi pengolahan gas metana, serta biaya pemeliharaan sistem. "Ini bisa menjadi beban finansial, terutama untuk perusahaan yang memiliki anggaran terbatas," jelas Eddy.
Menurut dia, penggunaan methane capture paling rendah BOD yang dihasilkan adalah 2000 mg/L. Namun, dia mengharapkan methane capture ini tidak diwajibkan bagi PKS yang akan menggunakan limbah cair untuk LA. "Tetapi kalau (methane capture) akan digunakan untuk energi silakan," jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup sedang menyusun peta jalan (road map) pengurangan emisi GRK di Indonesia, terutama dari metana yang dihasilkan industri kelapa sawit. Saat berkunjung ke salah satu pabrik kepala sawit di Palalawan, Riau, Menteri
Lingkungan Hidup Hanif Faisol melihat praktik pengolahan limbah cair yang baik dan ketat termasuk juga pemanfaatan metana menjadi bahan bakar untuk pembangkit listrik. Dia menegaskan tujuan percepatan pengelolaan metana untuk meningkatkan reputasi Indonesia dalam ikut menangani perubahan iklim.
Pakar tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr mengungkapkan methane capture dan land application merupakan dua hal yang berbeda. Ketika limbah cair keluar dari pabrik dan melalui proses kemudian dilepas ke lahan atau ke perairan disebut land application. ‘’Untuk LA baru bisa dilakukan bila BOD kurang dari 5.000 mg/L, bila dibuang ke perairan BOD-nya harus kurang dari 100 mg/L,’’ jelasnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda