Terungkap! Lahan Gambut RI Terbentuk Sejak 26 Ribu Tahun Silam
Rabu, 16 September 2020 - 22:12 WIB
JAKARTA - Lahan gambut memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi perubahaan iklim dunia. Gambut menyimpan 30% cadangan karbon dunia. Proses terbentuknya gambut membutuhkan waktu yang lama, namun kondisi gambut sangat rentan dan membutuhkan perhatian lebih.
Professor of Physical Geography University of Leicester, Susan Page dalam paparannya menjelaskan masa pembentukan gambut di belahan dunia. Gambut di wilayah tropis, kata dia, terbentuk pada era Holosen. "Gambut punya sejarah panjang. Di Asia Tenggara termasuk RI lahan gambut diperkirakan terbentuk sekitar 26 ribu tahun silam di inland, sementara di coastal terbentuk sekitar 8.000 tahun silam," kata Susan dalam rilisnya di Jakarta, Rabu (16/9/2020).
Hal itu terungkap saat Badan Restorasi Gambut (BRG) menggelar seri diskusi ilmiah mengenai sejarah dan inovasi teknologi pemetaan gambut baru-baru ini. Menurut Deputi Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut, Haris Gunawan, diskusi ilmiah ini untuk mencari perspektif dan pandangan yang berbeda, terutama mengenai ranah penelitiannya.
"Inovasi teknologi untuk restorasi dibutuhkan para peneliti dan akademisi dalam penanganan gambut di Indonesia," kata Haris
Meskipun ekosistem gambut terbentuk melalui proses yang panjang, lahan gambut sangat rentan dan telah mengalami perubah. Perubahan ini di mulai dari penggundulan hutan, proses drainase yang buruk, pembukaan lahan dan kebakaran lahan.
Terkait hal ini, ahli ilmu tanah Universitas Sriwijaya, Muh. Bambang Prayitno menyampaikan bahwa Indonesia memerlukan pemetaan yang prima mengenai lahan gambut. Dia menekankan pentingnya teknologi untuk mendukung pemetaan gambut ini. "Adanya kecanggihan teknologi bisa dimanfaatkan untuk pemetaan gambut," ucap Bambang.
Dia berharap dengan adanya pemetaan gambut, pengelolaan ekosistem gambut di area Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) menjadi lebih baik lagi. Sebab, selama ini dia melihat banyak perkebunan sawit dan karet yang tidak mematuhi aturan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. "Setiap KHG tidak bisa dikelola tanpa kategori apakah masuk gambut budidaya atau lindung. Ini yang perlu kita kaji bersama untuk pengelolaan dan keberlanjutan di lapangan," tambah dia.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Prof Gusti Z Ashari melihat masalah gambut ini secara menyeluruh. Dia berharap moratorium terhadap pembukaan lahan saat ini bisa dimanfaatkan untuk konservasi. "Kebijakan ini membuka peluang bagi generasi penerus untuk mengembangkan opsi pemanfaatan hutan gambut, restorasi gambut yang terdegradasi, sehingga mendukung pengembangan skema pengelolaan lahan gambut yang bertanggung jawab," pungkasnya.
Professor of Physical Geography University of Leicester, Susan Page dalam paparannya menjelaskan masa pembentukan gambut di belahan dunia. Gambut di wilayah tropis, kata dia, terbentuk pada era Holosen. "Gambut punya sejarah panjang. Di Asia Tenggara termasuk RI lahan gambut diperkirakan terbentuk sekitar 26 ribu tahun silam di inland, sementara di coastal terbentuk sekitar 8.000 tahun silam," kata Susan dalam rilisnya di Jakarta, Rabu (16/9/2020).
Hal itu terungkap saat Badan Restorasi Gambut (BRG) menggelar seri diskusi ilmiah mengenai sejarah dan inovasi teknologi pemetaan gambut baru-baru ini. Menurut Deputi Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut, Haris Gunawan, diskusi ilmiah ini untuk mencari perspektif dan pandangan yang berbeda, terutama mengenai ranah penelitiannya.
"Inovasi teknologi untuk restorasi dibutuhkan para peneliti dan akademisi dalam penanganan gambut di Indonesia," kata Haris
Meskipun ekosistem gambut terbentuk melalui proses yang panjang, lahan gambut sangat rentan dan telah mengalami perubah. Perubahan ini di mulai dari penggundulan hutan, proses drainase yang buruk, pembukaan lahan dan kebakaran lahan.
Terkait hal ini, ahli ilmu tanah Universitas Sriwijaya, Muh. Bambang Prayitno menyampaikan bahwa Indonesia memerlukan pemetaan yang prima mengenai lahan gambut. Dia menekankan pentingnya teknologi untuk mendukung pemetaan gambut ini. "Adanya kecanggihan teknologi bisa dimanfaatkan untuk pemetaan gambut," ucap Bambang.
Dia berharap dengan adanya pemetaan gambut, pengelolaan ekosistem gambut di area Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) menjadi lebih baik lagi. Sebab, selama ini dia melihat banyak perkebunan sawit dan karet yang tidak mematuhi aturan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. "Setiap KHG tidak bisa dikelola tanpa kategori apakah masuk gambut budidaya atau lindung. Ini yang perlu kita kaji bersama untuk pengelolaan dan keberlanjutan di lapangan," tambah dia.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Prof Gusti Z Ashari melihat masalah gambut ini secara menyeluruh. Dia berharap moratorium terhadap pembukaan lahan saat ini bisa dimanfaatkan untuk konservasi. "Kebijakan ini membuka peluang bagi generasi penerus untuk mengembangkan opsi pemanfaatan hutan gambut, restorasi gambut yang terdegradasi, sehingga mendukung pengembangan skema pengelolaan lahan gambut yang bertanggung jawab," pungkasnya.
(nng)
tulis komentar anda