Terdampak Pandemi, Industri Pariwisata Minta Stimulus
Jum'at, 27 November 2020 - 13:15 WIB
JAKARTA - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) berharap pemerintah memberikan stimulus yang efektif sesuai dengan kebutuhan dan segera mengeksekusinya dari belanja negara.
Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan pihaknya terus meyakinkan pemerintah untuk memberikan pemotongan tarif pajak, jaminan sosial, biaya utilitas, dan memberikan stimulus bagi industri pariwisata (korporasi dan karyawan) seperti hibah atau subsidi. (Baca: Ketika Ujian Kekurangan Harta Menerpa)
Mengenai hibah, pemerintah telah menyetujui pemberian dana hibah pariwisata senilai Rp3,3 triliun yang 70%-nya untuk bantuan langsung kepada industri hotel dan restoran. Adapun 30% untuk penanganan dampak Covid-19 di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif oleh pemerintah daerah.
“Semua yang berkaitan dengan pajak, jaminan sosial, biaya utilitas dipotong sedemikian rupa sehingga akan meringankan beban kami,” kata Hariyadi dalam acara Economic Outlook 2021: Outlook Pariwisata 2021 secara virtual di Jakarta kemarin.
Hariyadi melanjutkan, pihaknya juga sudah mendapatkan kepastian dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk relaksasi pinjaman selama dua tahun. Seperti diketahui, OJK memperpanjang restrukturisasi kredit hingga 31 Maret 2022. “Saat ini stimulus untuk sektor pariwisata baru berupa subsidi pekerja dan prakerja, tetapi untuk korporasi belum mendapatkannya,” tuturnya.
Menurut dia, permintaan sektor pariwisata akan naik jika masyarakat yakin bahwa penanganan Covid-19 berjalan dengan baik dan terjamin keamanannya. (Baca juga: Mendikbud: Hak untuk Guru Akan terus Diperjuangkan)
“Demand akan meningkat jika ada keyakinan dari masyarakat bahwa pandemi bisa terkendali. Banyak orang berharap pada vaksin, tetapi (itu tergantung pada) bagaimana keyakinan dalam menerapkan protokol dan memastikan bahwa kita itu aman,” jelasnya.
Hariyadi juga meminta agar pemerintah menghentikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi di DKI Jakarta dan kota lainnya serta menghapus peraturan yang menghambat pergerakan masyarakat. Menurut dia, pelaksanaan PSBB di lapangan tidak dilakukan dengan disiplin baik oleh masyarakat maupun pemerintah.
Dia mencatat bahwa selama PSBB diterapkan, tingkat okupansi hotel anjlok hingga ke kisaran 25–30%. Bahkan pada bulan April–Mei 2020 ada anggota PHRI yang melaporkan bahwa sebanyak 2.000 hotel dan 8.000 restoran tutup.
Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan pihaknya terus meyakinkan pemerintah untuk memberikan pemotongan tarif pajak, jaminan sosial, biaya utilitas, dan memberikan stimulus bagi industri pariwisata (korporasi dan karyawan) seperti hibah atau subsidi. (Baca: Ketika Ujian Kekurangan Harta Menerpa)
Mengenai hibah, pemerintah telah menyetujui pemberian dana hibah pariwisata senilai Rp3,3 triliun yang 70%-nya untuk bantuan langsung kepada industri hotel dan restoran. Adapun 30% untuk penanganan dampak Covid-19 di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif oleh pemerintah daerah.
“Semua yang berkaitan dengan pajak, jaminan sosial, biaya utilitas dipotong sedemikian rupa sehingga akan meringankan beban kami,” kata Hariyadi dalam acara Economic Outlook 2021: Outlook Pariwisata 2021 secara virtual di Jakarta kemarin.
Hariyadi melanjutkan, pihaknya juga sudah mendapatkan kepastian dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk relaksasi pinjaman selama dua tahun. Seperti diketahui, OJK memperpanjang restrukturisasi kredit hingga 31 Maret 2022. “Saat ini stimulus untuk sektor pariwisata baru berupa subsidi pekerja dan prakerja, tetapi untuk korporasi belum mendapatkannya,” tuturnya.
Menurut dia, permintaan sektor pariwisata akan naik jika masyarakat yakin bahwa penanganan Covid-19 berjalan dengan baik dan terjamin keamanannya. (Baca juga: Mendikbud: Hak untuk Guru Akan terus Diperjuangkan)
“Demand akan meningkat jika ada keyakinan dari masyarakat bahwa pandemi bisa terkendali. Banyak orang berharap pada vaksin, tetapi (itu tergantung pada) bagaimana keyakinan dalam menerapkan protokol dan memastikan bahwa kita itu aman,” jelasnya.
Hariyadi juga meminta agar pemerintah menghentikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi di DKI Jakarta dan kota lainnya serta menghapus peraturan yang menghambat pergerakan masyarakat. Menurut dia, pelaksanaan PSBB di lapangan tidak dilakukan dengan disiplin baik oleh masyarakat maupun pemerintah.
Dia mencatat bahwa selama PSBB diterapkan, tingkat okupansi hotel anjlok hingga ke kisaran 25–30%. Bahkan pada bulan April–Mei 2020 ada anggota PHRI yang melaporkan bahwa sebanyak 2.000 hotel dan 8.000 restoran tutup.
Lihat Juga :
tulis komentar anda