Menangkap Peluang Ledakan Harga Bitcoin

Rabu, 02 Desember 2020 - 22:59 WIB
Sejarah mencatat, beberapa waktu setelah proses halving, harga Bitcoin selalu meroket. Pada fase halving pertama pada November 2012, harga Bitcoin melejit 9.600 persen lebih, dari USD12 menjadi USD1.160 per November 2013, atau setahun setelah halving. Pun demikian pada halving kedua pada Juli 2016.

Harga 1 BTC saat itu sekitar USD600. Setelah halving, harga Bitcoin kembali meroket, bahkan memecahkan rekor sepanjang masa hingga mencapai USD20.000 pada Desember 2017, atau naik 3 ribu persen lebih.

"Karena itu tak mengherankan, kita melihat sejarah kembali berulang saat ini. Pada saat halving ketiga pada Mei 2020 lalu, harga Bitcoin ada di angka USD8.500 per BTC. Namun kini, 6 bulan setelah halving, harganya tembus USD19.000 pada Rabu 25 November kemarin, atau meningkat 220% lebih,” sambung Kai menjelaskan

Melihat kenaikan harga Bitcoin yang ‘hanya’ di angka ratusan persen usai halving ketiga ini, tak mengherankan banyak analis memperkirakan harga per Bitcoin akan terus naik, bahkan dapat menembus USD318.000 pada akhir 2021, atau naik 3.700%, seperti halnya fenomena kenaikan harga ribuan persen pada peristiwa halving kedua.

Terlepas dari faktor halving, peristiwa lain yang dianggap turut melejitkan harga Bitcoin saat in terjadi di Negeri Paman Sam. Pada Juli lalu, The Office of The Comptroller of the Currency (OCC) alias Kantor Pengawas Mata Uang Amerika Serikat mengizinkan perbankan di AS untuk memegang asset kripto.

Hal ini lantas memicu kenaikan permintaan terhadap berbagai aset kripto, seperti Bitcoin, khususnya di Amerika Serikat. Lalu angin segar terakhir yang memungkinkan perluasan penggunaan asset kripto secara masif datang dari PayPal, penguasa perantara pembayaran digital lintas negara.

Pada 23 Oktober 2020 lalu, PayPal mendeklarasikan bahwa 346 juta penggunanya bisa membeli, menjual dan menyimpan aset kripto pada platformnya. Tak pelak hal ini memicu kenaikan permintaan BTC yang mendorong kenaikan harganya melewati USD12.950 per BTC pada akhir Oktober 2020 lalu.

Fenomena melejitnya harga Bitcoin juga ternyata diiringi kenaikan harga mata uang kripto lainnya seperti Ethereum (ETH), Ripple (XRP) dan Binance Coin (BNB). Analis JP Morgan Nikolaos Panigirtzoglou dalam wawancara dengan media ternama asal Inggris The Guardian pada 17 November lalu menyebut, kenaikan harga berbagai aset kripto lainnya tak lepas dari pengaruh krisis akibat pandemi Covid-19.

Krisis kali ini, kata analis tersebut, rupanya memicu pergeseran pola investasi jangka panjang para investor. Krisis ini, ditambah dengan pelemahan harga emas selama empat bulan terakhir dari US$ 2.072 per troy ounce di Agustus 2020 lalu, menjadi USD1.800 per troy ounce pada November, telah memicu para investor untuk memasukkan asset kripto dalam portofolio investasi jangka panjang mereka.

“Krisis ini,” kata Nikolaos Panigirtzoglou kepada The Guardian, “telah memicu peninjauan kembali atas nilai Bitcoin sebagai mata uang alternatif, sekaligus sebagai alternatif investasi dari emas,” urainya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More