Digitalisasi Pertanian Jadi Andalan
Jum'at, 11 Desember 2020 - 06:00 WIB
Selama ini masyarakat awam hanya mengetahui pendidikan untuk ilmu pertanian hanya ada di perguruan tinggi. Misalnya di kampus-kampus yang memiliki fakultas pertanian seperti Unpad, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Hasanuddin (Unhas), dan lainnya. Dia pun mengakui bila sepak terjang sekolah menengah kejuruan (SMK) pertanian jarang terdengar.
Padahal, ujar Rina, pada 2018 lalu terdapat sekitar 30 sekolah menengah kejuruan (SMK) bidang agrobisnis yang mengembangkan buah dan sayuran. SMK itu bekerja sama dengan Seameo Biotrop. Unpad pun tidak berjibaku sendiri dalam mengembangkan produk pertanian . “Sudah bekerja sama dan merekrut lulusan SMK untuk menekuni budi daya dan pemasaran hasil laut. Orientasinya ekspor,” ucap Rina. (Baca juga: AI Bantu Ilmuwan Memahami Aktivitas Otak Saat Berfikir)
Perempuan kelahiran Kediri itu mengklaim kampus Unpad di Jatinangor telah banyak melakukan riset di bidang pertanian. Hasil riset dari kampus tersebut digunakan untuk mendukung produktivitas, seperti tanaman hortikultuira.
Sementara itu, pengamat pertanian Said Abdullah mengatakan, gagasan untuk mengembangkan sekolah pertanian berbasis digital pada dasarnya baik bila tujuannya untuk membantu menyelesaikan masalah pertanian. “Apakah lebih penting menyelesaikan persoalan teknologi ketimbang persoalan lain, termasuk pasar yang saat ini masih belum cukup menguntungkan bagi petani? Saya kira enggak bisa dengan pendekatan tunggal untuk menyelesaikan problematika di dunia pertanian. Harus semua aspek itu digarap,” katanya.
Pria yang juga Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) itu mengatakan, persoalan pertanian saat ini sangat multidimensi. Ada tiga fokus isu masalah di lingkup pertanian. Pertama, ketersediaan lahan yang sekarang mulai banyak beralih atau terkonversi menjadi perumahan, pabrik, perkebunan, dan lainnya. “Sampai hari ini sublime konversi kepemilikannya juga kecil-kecil. Kalau di tanaman padi (lahan) cuma sekitar 0,2-0,3%. Kecil sekali,” keluhnya. (Baca juga: Neymar Junior Batal Hengkang dari PSG)
Masalah kedua mencakup soal regenerasi petani. Usia rata-rata petani di kelompok 45 tahun ke atas itu sekitar 55%. Hingga 2013 saja petani padi itu hanya tersisa sekitar 9% dengan usia di bawah 35 tahun. “Secara keseluruhan, dalam pertanian umum jumlah petani hanya 12%. Itu menunjukkan bahwa petani itu tua,” ujarnya.
Berikutnya pendidikan. Said mengatakan, hampir 60% petani berlatar belakang pendidikan tingkat dasar. Terutama, di kelompok petani padi. “Artinya, apabila tingkat pendidikan seperti itu didorong agar menjadi sumber daya yang paham teknologi, belum tentu bisa langsung menyelesaikan persoalan yang besar itu,” katanya.
Untuk itu, kata Said, harus ada satu pendekatan yang utuh dengan menata ulang program agrarianya, kemudian memperkuat pasar, meningkatkan keterampilan dan kapasitas petani. Dia menduga pengembangan sekolah pertanian berbasis teknologi atau digital tersebut menegaskan fakta bahwa dunia pertanian sudah berkurang jumlah petaninya.
Said berharap penggunaan teknologi menjadi jawaban agar lebih efisien dalam pengelolaan dan pemanfaatan di sektor pertanian. “Saya tidak mengatakan ini baik atau tidak baik, tapi realitasnya di tanaman pangan, terutama padi, itu memang para petaninya rata-rata tua, pendidikannya rendah. Apakah teknologi itu nantinya memicu anak muda balik lagi ke pertanian?,” tanyanya ragu. (Baca juga: Sudah Ada Kredit Anti-Rentenir, Lintah Darat Bakal Kocar-Kacir)
Berdasarkan kajian KRKP pada 2015, ada dua hal yang memungkinkan proses sumber daya pertanian itu kuat. Dalam arti, terjadi regenerasi di mana tumpuan pembangunan berada di pundak kalangan muda. Pertama, isu agraria terkait akses terhadap lahan. Kalau ketersediaan itu ada, maka akan ada banyak anak di kawasan perdesaan yang mau balik ke pertanian. Kedua, mengenai pendapatan per musim, akumulasi benefit atau profit.
Padahal, ujar Rina, pada 2018 lalu terdapat sekitar 30 sekolah menengah kejuruan (SMK) bidang agrobisnis yang mengembangkan buah dan sayuran. SMK itu bekerja sama dengan Seameo Biotrop. Unpad pun tidak berjibaku sendiri dalam mengembangkan produk pertanian . “Sudah bekerja sama dan merekrut lulusan SMK untuk menekuni budi daya dan pemasaran hasil laut. Orientasinya ekspor,” ucap Rina. (Baca juga: AI Bantu Ilmuwan Memahami Aktivitas Otak Saat Berfikir)
Perempuan kelahiran Kediri itu mengklaim kampus Unpad di Jatinangor telah banyak melakukan riset di bidang pertanian. Hasil riset dari kampus tersebut digunakan untuk mendukung produktivitas, seperti tanaman hortikultuira.
Sementara itu, pengamat pertanian Said Abdullah mengatakan, gagasan untuk mengembangkan sekolah pertanian berbasis digital pada dasarnya baik bila tujuannya untuk membantu menyelesaikan masalah pertanian. “Apakah lebih penting menyelesaikan persoalan teknologi ketimbang persoalan lain, termasuk pasar yang saat ini masih belum cukup menguntungkan bagi petani? Saya kira enggak bisa dengan pendekatan tunggal untuk menyelesaikan problematika di dunia pertanian. Harus semua aspek itu digarap,” katanya.
Pria yang juga Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) itu mengatakan, persoalan pertanian saat ini sangat multidimensi. Ada tiga fokus isu masalah di lingkup pertanian. Pertama, ketersediaan lahan yang sekarang mulai banyak beralih atau terkonversi menjadi perumahan, pabrik, perkebunan, dan lainnya. “Sampai hari ini sublime konversi kepemilikannya juga kecil-kecil. Kalau di tanaman padi (lahan) cuma sekitar 0,2-0,3%. Kecil sekali,” keluhnya. (Baca juga: Neymar Junior Batal Hengkang dari PSG)
Masalah kedua mencakup soal regenerasi petani. Usia rata-rata petani di kelompok 45 tahun ke atas itu sekitar 55%. Hingga 2013 saja petani padi itu hanya tersisa sekitar 9% dengan usia di bawah 35 tahun. “Secara keseluruhan, dalam pertanian umum jumlah petani hanya 12%. Itu menunjukkan bahwa petani itu tua,” ujarnya.
Berikutnya pendidikan. Said mengatakan, hampir 60% petani berlatar belakang pendidikan tingkat dasar. Terutama, di kelompok petani padi. “Artinya, apabila tingkat pendidikan seperti itu didorong agar menjadi sumber daya yang paham teknologi, belum tentu bisa langsung menyelesaikan persoalan yang besar itu,” katanya.
Untuk itu, kata Said, harus ada satu pendekatan yang utuh dengan menata ulang program agrarianya, kemudian memperkuat pasar, meningkatkan keterampilan dan kapasitas petani. Dia menduga pengembangan sekolah pertanian berbasis teknologi atau digital tersebut menegaskan fakta bahwa dunia pertanian sudah berkurang jumlah petaninya.
Said berharap penggunaan teknologi menjadi jawaban agar lebih efisien dalam pengelolaan dan pemanfaatan di sektor pertanian. “Saya tidak mengatakan ini baik atau tidak baik, tapi realitasnya di tanaman pangan, terutama padi, itu memang para petaninya rata-rata tua, pendidikannya rendah. Apakah teknologi itu nantinya memicu anak muda balik lagi ke pertanian?,” tanyanya ragu. (Baca juga: Sudah Ada Kredit Anti-Rentenir, Lintah Darat Bakal Kocar-Kacir)
Berdasarkan kajian KRKP pada 2015, ada dua hal yang memungkinkan proses sumber daya pertanian itu kuat. Dalam arti, terjadi regenerasi di mana tumpuan pembangunan berada di pundak kalangan muda. Pertama, isu agraria terkait akses terhadap lahan. Kalau ketersediaan itu ada, maka akan ada banyak anak di kawasan perdesaan yang mau balik ke pertanian. Kedua, mengenai pendapatan per musim, akumulasi benefit atau profit.
tulis komentar anda