Harga Gas USD6 per MMBTU untuk Industri Tertentu Perlu Dievaluasi
Rabu, 16 Desember 2020 - 17:00 WIB
Mamit mengingatkan, kebijakan harga gas USD6 per MMBTU awalnya ditujukan agar beban biaya industri berkurang, sehingga bisa bersaing dengan produk luar negeri dan harga produk yang lebih rendah itu juga dapat dinikmati oleh masyarakat. Dengan bersaingnya industri nasional, maka penjualan industri meningkat, sehingga penerimanan negara meningkat dari penerimaan pajak. Dari situlah jatah negara yang dikurangi dari penurunan harga gas dapat dikembalikan.
(Baca Juga: Setelah Dilindungi dan Harga Gas Turun, Saatnya Geber Industri Keramik)
"Berdasarkan perhitungan yang saya lakukan, negara bisa kehilangan potensi pendapatan sebesar USD14,39 juta atau Rp223,13 miliar dengan kurs Rp15.500 dengan pengurangan harga gas di hulu itu. Saya menghitung untuk enam industri yaitu petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet," kata Mamit.
Hanya saja, dengan kondisi Pandemi Covid-19 yang menghantam seluruh industri, membuat keputusan evaluasi kebijakan harga gas industri diakuinya menjadi cukup berat. "Tapi evaluasi tetap perlu dilakukan, namun tetap mempertimbangkan kondisi industri. Kita berharap saja, pandemi bisa berakhir di tahun depan," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam, dalam Oil & Gas Stakeholders Gathering 2020 beberapa waktu lalu mengusulkan agar harga gas khusus bagi industri yang tidak memiliki performa bagus dinaikkan di atas USD6 per MMBTU.
Sebab, selama kebijakan tersebut diterapkan, terdapat industri yang belum memberikan dampak seperti yang diharapkan. Pemerintah bisa melihat performa perusahaan yang mendapat fasilitas penurunan harga gas tersebut dari kontribusi pajak dan ekspansi perusahaan. Pemerintah, kata dia, berencana untuk menaikkan harga gas industri yang tidak memiliki performa baik dari USD6 per MMBTU menjadi USD6,5-7 per MMBTU. "Saat ini sedang kami verifikasi," ungkap Khayam.
(Baca Juga: Setelah Dilindungi dan Harga Gas Turun, Saatnya Geber Industri Keramik)
"Berdasarkan perhitungan yang saya lakukan, negara bisa kehilangan potensi pendapatan sebesar USD14,39 juta atau Rp223,13 miliar dengan kurs Rp15.500 dengan pengurangan harga gas di hulu itu. Saya menghitung untuk enam industri yaitu petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet," kata Mamit.
Hanya saja, dengan kondisi Pandemi Covid-19 yang menghantam seluruh industri, membuat keputusan evaluasi kebijakan harga gas industri diakuinya menjadi cukup berat. "Tapi evaluasi tetap perlu dilakukan, namun tetap mempertimbangkan kondisi industri. Kita berharap saja, pandemi bisa berakhir di tahun depan," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam, dalam Oil & Gas Stakeholders Gathering 2020 beberapa waktu lalu mengusulkan agar harga gas khusus bagi industri yang tidak memiliki performa bagus dinaikkan di atas USD6 per MMBTU.
Sebab, selama kebijakan tersebut diterapkan, terdapat industri yang belum memberikan dampak seperti yang diharapkan. Pemerintah bisa melihat performa perusahaan yang mendapat fasilitas penurunan harga gas tersebut dari kontribusi pajak dan ekspansi perusahaan. Pemerintah, kata dia, berencana untuk menaikkan harga gas industri yang tidak memiliki performa baik dari USD6 per MMBTU menjadi USD6,5-7 per MMBTU. "Saat ini sedang kami verifikasi," ungkap Khayam.
(fai)
Lihat Juga :
tulis komentar anda