Awal Baik di 2021, IHSG Makin Mantap Lari ke 6.800
Jum'at, 08 Januari 2021 - 17:02 WIB
JAKARTA - Pergerakan IHSG akhir pekan 2021 ini berakhir di level tertinggi sejak pandemi atau di 6.257. Ini sangat kontras dari penutupan akhir tahun yang terkoreksi di level 5.979 atau di bawah level 6.000. Secara year to date (ytd), IHSG melemah -5,09% hingga akhir tahun 2020.
Karena itu PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) salah satu anggota holding Indonesia Financial Group (IFG) memproyeksikan kondisi IHSG tahun 2021 tentu tidak akan seburuk kondisi IHSG pada Maret-April 2020 yang pernah menyentuh level terendah 3.937.
Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi Bahana TCW, Budi Hikmat meyakinkan pelaku pasar bahwa di tahun 2021, Bahana TCW memproyeksikan IHSG akan berada pada level 6.800. Menurutnya ada beberapa indikator yang perlu dicermati investor dalam memasang strategi investasi di pasar finansial Indonesia pada tahun 2021.
Salah satunya rotasi kelas aset yang relatif positif ke negara berkembang atas kemenangan Joe Biden sebagai Presiden AS yang baru. Biden dipercaya akan menormalisasi pengelolaan ekonomi yang lebih fokus pada penguatan infrastruktur, menekan ketimpangan kemakmuran dan kelestarian lingkungan hidup.
Biden diharapkan juga memperbaiki hubungan internasional terutama dengan para sekutu tradisional untuk lebih efektif menghadapi pertarungan hegemoni terhadap China. "Intinya kemenangan Biden diyakini mengurangi daya tarik bursa saham negara maju yang selama 10 tahun terakhir menikmati outperformance terhadap negara berkembang," ujar Budi di Jakarta, Jumat (8/1/2021).
Dia juga melihat investor akan terlebih dahulu masuk ke pasar obligasi (SBN). Hal ini dilandasi oleh yield obligasi Indonesia dengan tenor 10 tahun yang menarik di mata investor, yakni 5,89%. Sementara, obligasi AS tenor 10 tahun hanya memiliki yield 0,93%. Sepanjang tahun 2020, indeks SBN Abtrindo mengukir total cuan 15,1% sementara IHSG minus 5,1%. Budi menilai, kenaikan aset SBN ini menjadi prasyarat untuk keberlanjutan rally IHSG tahun 2021, yang sudah ditopang oleh penguatan daya beli, terlihat dari indikator pertumbuhan uang beredar M1.
Sementara, pertumbuhan M1 di Amerika Serikat 53,2% adalah angka tertinggi selama 60 tahun terakhir. Meski ada kecemasan peningkatan inflasi, risiko inflasi ini sementara ditahan oleh proses pengurangan utang (deleveraging) masyarakat di negara maju dan penguatan digitalisasi ekonomi. "Dengan sejumlah indikator tersebut, kami menyarankan agar investor bisa memanfaatkan proses reflasi aset finansial dengan mengurangi alokasi kas ke pasar obligasi maupun pasar saham," ungkap Budi.
Karena itu PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) salah satu anggota holding Indonesia Financial Group (IFG) memproyeksikan kondisi IHSG tahun 2021 tentu tidak akan seburuk kondisi IHSG pada Maret-April 2020 yang pernah menyentuh level terendah 3.937.
Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi Bahana TCW, Budi Hikmat meyakinkan pelaku pasar bahwa di tahun 2021, Bahana TCW memproyeksikan IHSG akan berada pada level 6.800. Menurutnya ada beberapa indikator yang perlu dicermati investor dalam memasang strategi investasi di pasar finansial Indonesia pada tahun 2021.
Salah satunya rotasi kelas aset yang relatif positif ke negara berkembang atas kemenangan Joe Biden sebagai Presiden AS yang baru. Biden dipercaya akan menormalisasi pengelolaan ekonomi yang lebih fokus pada penguatan infrastruktur, menekan ketimpangan kemakmuran dan kelestarian lingkungan hidup.
Biden diharapkan juga memperbaiki hubungan internasional terutama dengan para sekutu tradisional untuk lebih efektif menghadapi pertarungan hegemoni terhadap China. "Intinya kemenangan Biden diyakini mengurangi daya tarik bursa saham negara maju yang selama 10 tahun terakhir menikmati outperformance terhadap negara berkembang," ujar Budi di Jakarta, Jumat (8/1/2021).
Dia juga melihat investor akan terlebih dahulu masuk ke pasar obligasi (SBN). Hal ini dilandasi oleh yield obligasi Indonesia dengan tenor 10 tahun yang menarik di mata investor, yakni 5,89%. Sementara, obligasi AS tenor 10 tahun hanya memiliki yield 0,93%. Sepanjang tahun 2020, indeks SBN Abtrindo mengukir total cuan 15,1% sementara IHSG minus 5,1%. Budi menilai, kenaikan aset SBN ini menjadi prasyarat untuk keberlanjutan rally IHSG tahun 2021, yang sudah ditopang oleh penguatan daya beli, terlihat dari indikator pertumbuhan uang beredar M1.
Sementara, pertumbuhan M1 di Amerika Serikat 53,2% adalah angka tertinggi selama 60 tahun terakhir. Meski ada kecemasan peningkatan inflasi, risiko inflasi ini sementara ditahan oleh proses pengurangan utang (deleveraging) masyarakat di negara maju dan penguatan digitalisasi ekonomi. "Dengan sejumlah indikator tersebut, kami menyarankan agar investor bisa memanfaatkan proses reflasi aset finansial dengan mengurangi alokasi kas ke pasar obligasi maupun pasar saham," ungkap Budi.
(nng)
tulis komentar anda