Soal Pajak Pulsa dan Token Listrik, Anggota DPR Gerinda: Membebani dan Sangat Lucu
Senin, 01 Februari 2021 - 10:26 WIB
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyoroti soal kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) yang telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 6/PMK.03/2021 sebagai dasar penarikan pajak PPN dan PPh atas penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer. Pasal 21 menjelaskan bahwa aturan tersebut akan berlaku efektif pada hari ini, 1 Februari 2021.
"Saya menegaskan agar hendaknya peraturan tersebut dapat ditinjau ulang. Pasalnya rakyat masih dibelit kesulitan menghadapi pandemi Covid-19," desaknya. ( Baca juga:Sri Mulyani Sebut Pajak Pulsa dan Token Listrik Tidak Ngaruh ke Harga )
Hergun, sapaan Heri, mengatakan, perlu diketahui bahwa masih banyak rakyat yang terdampak pandemi Covid-19 namun tidak tersentuh program bantuan pemerintah. Hal tersebut dikarenakan belum adanya pemutakhiran basis data kemiskinan. Terakhir data tersebut dimutakhirkan pada 2015 dan kemudian menjadi DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial).
Mengingat hal tersebut, sambung Ketua DPP Partai Gerindra ini, maka momentumnya kurang tepat untuk memungut pajak pulsa, kartu perdana, token dan voucher. Apalagi saat ini pemerintah masih memberlakukan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Pulau Jawa dan Bali dan juga Pemprov Jakarta masih memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), sehingga mobilitas masyarakat dibatasi, bekerja dan sekolah pun masih dilakukan dari rumah.
"Masyarakat pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli pulsa dan token listrik dalam rangka bekerja di rumah (WFH) dan belajar daring. Bila pemerintah tiba-tiba memajakinya, itu sama saja pemerintah makin membebani rakyat di saat pandemi," ujar Kapoksi Fraksi Partai Gerindra di Komisi XI DPR ini.
Menurut Hergun, pihaknya dapat memahami bahwa pendapatan pajak anjlok di tahun 2020. Realisasi sementara pajak 2020 hanya mencapai Rp1.070 triliun dan meleset dari target APBN-Perpres 72/2020 sebesar Rp1.198,8 trilun atau hanya terealisasi 89,3% saja. Namun, bukan berarti itu hal tersebut bisa menjadi dasar untuk memungut pajak dari pulsa, kartu perdana, token dan voucer.
Meskipun pemerintah berdalih bahwa pemungutan pajak tersebut hanya akan menyasar sampai distributor tingkat dua, Hergun menilai, tetap saja dalam praktiknya akan berdampak pada konsumen. Saat ini di tingkat eceran terbawah, distributor memungut harga lebih Rp1.000 hingga Rp 2000. Misalnya membeli pulsa Rp10.000, maka konsumen akan dikenakan harga Rp12.000.
"Kita tidak ingin nanti setelah pemberlakukan pemungutan pajak, konsumen akan membayar Rp13.000 ribu untuk pembelian pulsa Rp10.000. Marginnya makin lebar. Ini sangat memberatkan rakyat," tegasnya.
Hergun juga melihat bahwa pungutan pajak terhadap token listrik ini sangat lucu. Perlu diingat bahwa pemerintah juga yang memaksa rakyat bermigrasi dari model pembayaran pascabayar ke model prabayar atau token. Dan saat ini mayoritas konsumen PLN sudah menggunakan model prabayar. Namun, bila saat ini tiba-tiba pembelian token akan dipungut pajak itu artinya pemerintah telah menjebak rakyat.
"Saya menegaskan agar hendaknya peraturan tersebut dapat ditinjau ulang. Pasalnya rakyat masih dibelit kesulitan menghadapi pandemi Covid-19," desaknya. ( Baca juga:Sri Mulyani Sebut Pajak Pulsa dan Token Listrik Tidak Ngaruh ke Harga )
Hergun, sapaan Heri, mengatakan, perlu diketahui bahwa masih banyak rakyat yang terdampak pandemi Covid-19 namun tidak tersentuh program bantuan pemerintah. Hal tersebut dikarenakan belum adanya pemutakhiran basis data kemiskinan. Terakhir data tersebut dimutakhirkan pada 2015 dan kemudian menjadi DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial).
Mengingat hal tersebut, sambung Ketua DPP Partai Gerindra ini, maka momentumnya kurang tepat untuk memungut pajak pulsa, kartu perdana, token dan voucher. Apalagi saat ini pemerintah masih memberlakukan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Pulau Jawa dan Bali dan juga Pemprov Jakarta masih memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), sehingga mobilitas masyarakat dibatasi, bekerja dan sekolah pun masih dilakukan dari rumah.
"Masyarakat pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli pulsa dan token listrik dalam rangka bekerja di rumah (WFH) dan belajar daring. Bila pemerintah tiba-tiba memajakinya, itu sama saja pemerintah makin membebani rakyat di saat pandemi," ujar Kapoksi Fraksi Partai Gerindra di Komisi XI DPR ini.
Menurut Hergun, pihaknya dapat memahami bahwa pendapatan pajak anjlok di tahun 2020. Realisasi sementara pajak 2020 hanya mencapai Rp1.070 triliun dan meleset dari target APBN-Perpres 72/2020 sebesar Rp1.198,8 trilun atau hanya terealisasi 89,3% saja. Namun, bukan berarti itu hal tersebut bisa menjadi dasar untuk memungut pajak dari pulsa, kartu perdana, token dan voucer.
Meskipun pemerintah berdalih bahwa pemungutan pajak tersebut hanya akan menyasar sampai distributor tingkat dua, Hergun menilai, tetap saja dalam praktiknya akan berdampak pada konsumen. Saat ini di tingkat eceran terbawah, distributor memungut harga lebih Rp1.000 hingga Rp 2000. Misalnya membeli pulsa Rp10.000, maka konsumen akan dikenakan harga Rp12.000.
"Kita tidak ingin nanti setelah pemberlakukan pemungutan pajak, konsumen akan membayar Rp13.000 ribu untuk pembelian pulsa Rp10.000. Marginnya makin lebar. Ini sangat memberatkan rakyat," tegasnya.
Hergun juga melihat bahwa pungutan pajak terhadap token listrik ini sangat lucu. Perlu diingat bahwa pemerintah juga yang memaksa rakyat bermigrasi dari model pembayaran pascabayar ke model prabayar atau token. Dan saat ini mayoritas konsumen PLN sudah menggunakan model prabayar. Namun, bila saat ini tiba-tiba pembelian token akan dipungut pajak itu artinya pemerintah telah menjebak rakyat.
Lihat Juga :
tulis komentar anda