ESDM: HPM Indonesia Wajib Dipatuhi Pelaku Usaha Nikel
Senin, 18 Mei 2020 - 13:19 WIB
JAKARTA - Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak menjelaskan bahwa lahirnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara telah melalui pembahasan dan kajian mendalam yang melibatkan semua pihak.
Menurut Yunus, harga patokan mineral (HPM) yang ditetapkan sudah sesuai kaidah yang berlaku di seluruh dunia. “Sesungguhnya formula yang terjadi di beberapa perjanjian pembelian dan penjualan di seluruh negara, yang ke China sendiri, formulanya persis sama dengan kita, tidak ada unsur yang namanya memasukkan faktor koreksi yang kedua yaitu Fe dan faktor koreksi yang ketiga yaitu rasio SiO2 dan Mg, tidak ada. Ini kita berlaku secara internasional bahwa formula itulah yang diberlakukan,” terang Yunus di Jakarta, Senin (18/5/2020).
Lebih lanjut Yunus menjelaskan bahwa formula perhitungan HPM Indonesia sama persis yang digunakan di China dan secara internasional. Yunus berharap kepada APNI, juga kepada para penambang untuk kompak, tidak terus kemudian gamang melaksanakan (peraturan) ini. “Dan juga pihak AP3I yang ikut diundang pun wajib (mengikuti aturan ini), ini kan sosialisasi dalam rangka implementasi,” tandasnya.
(Baca Juga: Regulasi Patokan Penjualan Mineral Dirilis, Harga Jual Nikel Terjaga)
Yunus menegaskan, setiap pihak yang melakukan jual-beli bijih nikel dalam negeri harus mematuhi peraturan yang diteapkan pemerintah. “Kita sudah sepakat akan menjalankan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 ini dan sekaligus mengawasinya, ini supaya didengar oleh semuanya,” tegasnya.
Untuk pengawasan, lanjutnya, kementerian ESDM sedang membangun aplikasi Modul Verifikasi Penjualan. Jadi semua pemilik IUP, IUPK maupun IUP OPK memasukkan datanya di MOMs maupun di MODI, maka akan teregister dan kemudian akan ter-record bahwa berapa besar penjualannya, kapasitas maupun kualitasnya.
"Kemudian kita juga sudah koordinasikan dengan surveyor, jika harga berada dibawa HPM maka tidak akan keluar LHV-laporan hasil pemeriksaannya. Jadi kalo harganya di bawah 3% dari HPM masih tetap boleh, karena ada toleransi harga 3% sebagai pengganti rasio SiO2/Mg dan Fe," ungkapnya.
Adanya informasi penolakan dari pihak smelter, Yunus mengaku sudah mendengarnya dan mengatakan siap untuk menghadapinya. “Terkait gugatan, tentunya pemerintah siap untuk melakukan tanggapan dan jawaban terkait dengan adanya Fe, rasio SiO2/Mg, saya kira itu juga menjadi bagian yang sudah kami siapkan," tambahnya.
Lahirnya Permen 11/2020, menurut Yunus sudah melalui diskusi yang panjang sejak 13 Januari lalu. Diskusi telah melibatkan para penambang nikel bersama APNI maupun pihak smelter dengan AP3I. “Pada tanggal 11 Maret, ESDM menerima surat dari APNI yang menyatakan persetujuannya dengan formula HPM dari ESDM,” kata dia.
Rapat terakhir dilakukan bersama Menko kemaritiman dan Investasi. “Rakor di Kemenko Maritim dengan para pembangun smelter. Disampaikan bahwa akan digunakan usulan formula HPM hasil pembahasan antara DitjenMinerba, Kemenko Maritim, dan pelaku usaha. Sehingga Permen ESDM Nomor 07 Tahun2017 akan direvisi,” terangnya.
Jika pihak smelter tidak mematuhi aturan HPM, lanjut ia, maka kementerian ESDM dapat mengusulkan sanksi kepada kementerian terkait, dalam hal ini kementerian perindustrian.
Dalam kesempatan yang sama Kasubit Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Mineral Kementerian ESDM, Yuli Bintoro menjelaskan bahwa Permen 11/2020 akan berlaku mulai 14 Mei 2020. “Sanksi administratif dapat berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan; dan/atau pencabutan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi," tandas Yuli.
Menurut Yunus, harga patokan mineral (HPM) yang ditetapkan sudah sesuai kaidah yang berlaku di seluruh dunia. “Sesungguhnya formula yang terjadi di beberapa perjanjian pembelian dan penjualan di seluruh negara, yang ke China sendiri, formulanya persis sama dengan kita, tidak ada unsur yang namanya memasukkan faktor koreksi yang kedua yaitu Fe dan faktor koreksi yang ketiga yaitu rasio SiO2 dan Mg, tidak ada. Ini kita berlaku secara internasional bahwa formula itulah yang diberlakukan,” terang Yunus di Jakarta, Senin (18/5/2020).
Lebih lanjut Yunus menjelaskan bahwa formula perhitungan HPM Indonesia sama persis yang digunakan di China dan secara internasional. Yunus berharap kepada APNI, juga kepada para penambang untuk kompak, tidak terus kemudian gamang melaksanakan (peraturan) ini. “Dan juga pihak AP3I yang ikut diundang pun wajib (mengikuti aturan ini), ini kan sosialisasi dalam rangka implementasi,” tandasnya.
(Baca Juga: Regulasi Patokan Penjualan Mineral Dirilis, Harga Jual Nikel Terjaga)
Yunus menegaskan, setiap pihak yang melakukan jual-beli bijih nikel dalam negeri harus mematuhi peraturan yang diteapkan pemerintah. “Kita sudah sepakat akan menjalankan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 ini dan sekaligus mengawasinya, ini supaya didengar oleh semuanya,” tegasnya.
Untuk pengawasan, lanjutnya, kementerian ESDM sedang membangun aplikasi Modul Verifikasi Penjualan. Jadi semua pemilik IUP, IUPK maupun IUP OPK memasukkan datanya di MOMs maupun di MODI, maka akan teregister dan kemudian akan ter-record bahwa berapa besar penjualannya, kapasitas maupun kualitasnya.
"Kemudian kita juga sudah koordinasikan dengan surveyor, jika harga berada dibawa HPM maka tidak akan keluar LHV-laporan hasil pemeriksaannya. Jadi kalo harganya di bawah 3% dari HPM masih tetap boleh, karena ada toleransi harga 3% sebagai pengganti rasio SiO2/Mg dan Fe," ungkapnya.
Adanya informasi penolakan dari pihak smelter, Yunus mengaku sudah mendengarnya dan mengatakan siap untuk menghadapinya. “Terkait gugatan, tentunya pemerintah siap untuk melakukan tanggapan dan jawaban terkait dengan adanya Fe, rasio SiO2/Mg, saya kira itu juga menjadi bagian yang sudah kami siapkan," tambahnya.
Lahirnya Permen 11/2020, menurut Yunus sudah melalui diskusi yang panjang sejak 13 Januari lalu. Diskusi telah melibatkan para penambang nikel bersama APNI maupun pihak smelter dengan AP3I. “Pada tanggal 11 Maret, ESDM menerima surat dari APNI yang menyatakan persetujuannya dengan formula HPM dari ESDM,” kata dia.
Rapat terakhir dilakukan bersama Menko kemaritiman dan Investasi. “Rakor di Kemenko Maritim dengan para pembangun smelter. Disampaikan bahwa akan digunakan usulan formula HPM hasil pembahasan antara DitjenMinerba, Kemenko Maritim, dan pelaku usaha. Sehingga Permen ESDM Nomor 07 Tahun2017 akan direvisi,” terangnya.
Jika pihak smelter tidak mematuhi aturan HPM, lanjut ia, maka kementerian ESDM dapat mengusulkan sanksi kepada kementerian terkait, dalam hal ini kementerian perindustrian.
Dalam kesempatan yang sama Kasubit Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Mineral Kementerian ESDM, Yuli Bintoro menjelaskan bahwa Permen 11/2020 akan berlaku mulai 14 Mei 2020. “Sanksi administratif dapat berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan; dan/atau pencabutan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi," tandas Yuli.
(fai)
Lihat Juga :
tulis komentar anda