Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca Butuh Dana Besar, APBN dan APBD Engga Sanggup
Kamis, 18 Maret 2021 - 11:11 WIB
JAKARTA - Pemerintah berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca , sebagai kontribusi kesepatakan global dalam meningkatkan energi yang ramah lingkungan. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartato mengatakan, bakal mengurangi gas emisi rumah kaca sebesar 29%.
"Kita mengurangi gas emisi rumah kaca sebesar 29%, lebih rendah dari target skenario bisnis as usual pada 2030. Komitmen ini merupakan kontribusi kita kepada kesepakatan dunia untuk mengendalikan pemanasan global agar tidak lebih dari dua derajat celcius dibanding masa pra industrialisasi," kata Airlangga dalam video virtual, Kamis (18/3/2021).
Kata dia, pengurangan gas emisi rumah kaca ini akan menimbulkan konsekuensi pendanaan yang tidak sedikit. Untuk itu Indonesia mengikuti program skema perdagangan karbon dengan beberapa negara lainnya. Lantaran, APBN dan APBD tidak bisa menanggung biaya pengurangan gas emisi rumah kaca.
"Permasalahan pendanaan muncul pada saat APBN dan APBD tidak akan mampu mendukung pencapaian target dan untuk itu adanya dukungan partisipa, dimana dengan skema perdagangan karbon. Mekanisme perdagangan karbon ini merupakan langkah strategis untuk mengurangi emsisi rumah kaca efektif dan efisien di masa mendatang," imbuhnya
Tentu saja upaya kerjasama global ini menguntungkan Indonesia karena Indonesia rentan perubahan iklim. Lantaran banyak terjadi bencana alam yang disebabkan perubahan iklim. "Yang kita dapat saksikan bencana alam terkait perubahan iklim cukup meningkat. Dampaknya signfikan terhadap ekonomi," tandasnya.
Indonesia dinilai membutuhkan anggaran dana hingga Rp3.461 triliun untuk memenuhi capaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2030. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GKR sebesar 26 persen pada 2020 dan 29% di 2030.
Namun, jika mendapat bantuan internasional targetnya meningkat hingga 41%. Berdasarkan Second Biennial Update Report (BUR) 2018, Indonesia menyampaikan estimasi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target penurunan emisi pada 2030 mencapai USD247,2 miliar atau sekitar Rp3.461 triliun.
"Kita mengurangi gas emisi rumah kaca sebesar 29%, lebih rendah dari target skenario bisnis as usual pada 2030. Komitmen ini merupakan kontribusi kita kepada kesepakatan dunia untuk mengendalikan pemanasan global agar tidak lebih dari dua derajat celcius dibanding masa pra industrialisasi," kata Airlangga dalam video virtual, Kamis (18/3/2021).
Kata dia, pengurangan gas emisi rumah kaca ini akan menimbulkan konsekuensi pendanaan yang tidak sedikit. Untuk itu Indonesia mengikuti program skema perdagangan karbon dengan beberapa negara lainnya. Lantaran, APBN dan APBD tidak bisa menanggung biaya pengurangan gas emisi rumah kaca.
"Permasalahan pendanaan muncul pada saat APBN dan APBD tidak akan mampu mendukung pencapaian target dan untuk itu adanya dukungan partisipa, dimana dengan skema perdagangan karbon. Mekanisme perdagangan karbon ini merupakan langkah strategis untuk mengurangi emsisi rumah kaca efektif dan efisien di masa mendatang," imbuhnya
Tentu saja upaya kerjasama global ini menguntungkan Indonesia karena Indonesia rentan perubahan iklim. Lantaran banyak terjadi bencana alam yang disebabkan perubahan iklim. "Yang kita dapat saksikan bencana alam terkait perubahan iklim cukup meningkat. Dampaknya signfikan terhadap ekonomi," tandasnya.
Indonesia dinilai membutuhkan anggaran dana hingga Rp3.461 triliun untuk memenuhi capaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2030. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GKR sebesar 26 persen pada 2020 dan 29% di 2030.
Namun, jika mendapat bantuan internasional targetnya meningkat hingga 41%. Berdasarkan Second Biennial Update Report (BUR) 2018, Indonesia menyampaikan estimasi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target penurunan emisi pada 2030 mencapai USD247,2 miliar atau sekitar Rp3.461 triliun.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda