Penutupan Kode Broker Seharusnya Tak Masalah, Investor Dididik Lebih Pintar Beli Saham
Jum'at, 19 Maret 2021 - 02:40 WIB
JAKARTA - Keputusan Bursa Efek Indonesia (BEI) yang akan menghapus informasi kode broker di tampilan real time running trade pada 22 Juli 2021 nanti masih mendapatkan pro dan kontra. Untuk itu BEI berinisiatif untuk membuka diskusi virtual bertema Rencana Implementasi Penutupan Kode Broker pada Informasi Post Trade.
Dalam kesempatan tersebut, praktisi pasar modal sekaligus Direktur Ekuator Swarna Investama, Hans Kwee mengatakan, kode broker tidak relevan dengan aksi beli dan jual institusi atau big fund, karena institusi tidak hanya bertransaksi di broker tertentu, tapi bisa di broker yang selama ini dianggap broker tempat transaksi ritel.
Hans mengatakan, saat ini investor ritel dan institusi bisa membuka rekening dari berbagai broker, sehingga cukup sulit untuk menentukan apakah investor tersebut merupakan investor ritel atau institusi.
“Selain itu informasi kode broker ini sebenarnya tidak dipakai pada analisa fundamental dan teknikal. Ini juga tidak dipakai oleh investor institusi untuk pembelian, dan seharusnya ini tidak masalah. Kita mendidik investor kita untuk lebih pintar dalam membeli saham,” jelas Hans.
“Dalam Teknikal analisis sejak dari tahun 1930 atau candlestick dari tahun 1900 itu tidak menggunakan informasi kode broker, dan yang dipakai itu last done. Bid offer juga enggak dipakai karena tidak ada cost atau biaya untuk memasang order, berbeda dengan transaksi done yang merupakan informasi yang lebih relevan,” tegasnya.
Senada, Komisaris BEI Pandu Sjahrir pun mengatakan, bahwa isu mengenai penutupan kode broker ini seharusnya bukan menjadi isu yang dilematis. Jika keputusan itu dituding melindungi bandar, menurutnya logika tersebut terbalik, karena bandar justru butuh informasi tersebut.
“Informasi ini hanya bisa make sense apabila anda melakukan day trading, hourly trading, di mana informasi seperti itu mungkin penting. Kalau buat saya sendiri, karena lebih long term, saya lebih care soal informasi-informasi mengenai perusahaan itu sendiri,” terang Pandu.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Laksono Widodo tidak memungkiri kebijakan baru ini dapat berdampak pada kehilangan investor di bursa. Mengingat, adanya kebijakan ini berarti mengubah perilaku trading investor.
Namun Laksono yakin hal tersebut hanya berdampak sesaat saja. Berkaca dari bursa lain yang telah menerapkan terlebih dahulu, Laksono melihat transaksinya masih aktif dan baik.
"Ini best practice di mana-mana, termasuk negara yang memiliki aktivitas ritel yang sangat dominan seperti Thailand ataupun negara-negara lain yang investor retailnya sudah mapan," ungkap Laksono.
Dalam kesempatan tersebut, praktisi pasar modal sekaligus Direktur Ekuator Swarna Investama, Hans Kwee mengatakan, kode broker tidak relevan dengan aksi beli dan jual institusi atau big fund, karena institusi tidak hanya bertransaksi di broker tertentu, tapi bisa di broker yang selama ini dianggap broker tempat transaksi ritel.
Hans mengatakan, saat ini investor ritel dan institusi bisa membuka rekening dari berbagai broker, sehingga cukup sulit untuk menentukan apakah investor tersebut merupakan investor ritel atau institusi.
“Selain itu informasi kode broker ini sebenarnya tidak dipakai pada analisa fundamental dan teknikal. Ini juga tidak dipakai oleh investor institusi untuk pembelian, dan seharusnya ini tidak masalah. Kita mendidik investor kita untuk lebih pintar dalam membeli saham,” jelas Hans.
“Dalam Teknikal analisis sejak dari tahun 1930 atau candlestick dari tahun 1900 itu tidak menggunakan informasi kode broker, dan yang dipakai itu last done. Bid offer juga enggak dipakai karena tidak ada cost atau biaya untuk memasang order, berbeda dengan transaksi done yang merupakan informasi yang lebih relevan,” tegasnya.
Senada, Komisaris BEI Pandu Sjahrir pun mengatakan, bahwa isu mengenai penutupan kode broker ini seharusnya bukan menjadi isu yang dilematis. Jika keputusan itu dituding melindungi bandar, menurutnya logika tersebut terbalik, karena bandar justru butuh informasi tersebut.
“Informasi ini hanya bisa make sense apabila anda melakukan day trading, hourly trading, di mana informasi seperti itu mungkin penting. Kalau buat saya sendiri, karena lebih long term, saya lebih care soal informasi-informasi mengenai perusahaan itu sendiri,” terang Pandu.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Laksono Widodo tidak memungkiri kebijakan baru ini dapat berdampak pada kehilangan investor di bursa. Mengingat, adanya kebijakan ini berarti mengubah perilaku trading investor.
Namun Laksono yakin hal tersebut hanya berdampak sesaat saja. Berkaca dari bursa lain yang telah menerapkan terlebih dahulu, Laksono melihat transaksinya masih aktif dan baik.
"Ini best practice di mana-mana, termasuk negara yang memiliki aktivitas ritel yang sangat dominan seperti Thailand ataupun negara-negara lain yang investor retailnya sudah mapan," ungkap Laksono.
(akr)
tulis komentar anda