Miris! 90% Bahan Baku Obat di Indonesia Masih Impor
Rabu, 24 Maret 2021 - 19:08 WIB
JAKARTA - Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Fahrial Syam, meminta Indonesia mengambil hikmah dari pandemi Covid-19 . Mengingat tahun lalu pada bulan Maret dan April di awal pandemi, sektor kesehatan Indonesia tidak bisa memproduksi alat pelindung diri (APD) dalam waktu singkat, karena produk ini selalu diimpor.
Selain produksi APD, alat flocked swab saat awal pandemi pun menurutnya harus diimpor karena ketidaktersediaan alat tersebut. Hingga akhirnya, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) bersama Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) membuat flocked swab hingga memproduksi jutaan alat tersebut.
"Kemudian apa yang terjadi, bulan April dan Mei banyak rumah sakit yang keterbatasan peralatan sehingga pasien banyak meninggal di IGD karena ventilator tidak ada, akhirnya kami bersama sama menciptakan ventilator dan sekarang diproduksi bahkan sekarang mulai masuk ke market," ujar Ari kepada Radio MNC Trijaya, dalam Trijaya Hot Topic Petang, Selasa (23/3/2021).
Ari menambahkan, Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan memproduksi vaksin sendiri, contohnya Bio Farma. Hanya saja di awal ada keterlambatan produksi dan kita tinggal tunggu bagaimana bisa masuk ke produksi uji klinis. Ia berharap vaksinasi segera bisa dilaksanakan dengan baik dan siap untuk melaksanakan vaksinasi 2.000 hingga 3.000 vaksin perhari meski saat ini kapasitasnya hanya 1.000 per hari.
Ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku obat-obatan, peralatan dan yang lainnya salah satunya vaksin corona mencapai 90%. Meski Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan bahwa Indonesia harus mengurangi impor dan berharap hal ini dapat benar-benar diterapkan.
"Contohnya paracetamol, obat umum bahan dasarnya saja masih impor. Semua orang minum obat paracetamol kok mesti impor," kata dia.
Pada kesempatan yang sama, mantan menteri perindustrian yang saat ini menjadi Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Indonesia Saleh Husin, harus mengakui bahwa Indonesia masih impor bahan baku obat hingga lebih dari 90%, yaitu 60% dari China, 30% dari India dan 10% dari lain-lain.
"Memang sebenarnya ada hal-hal yang bisa kita lakukan di dalam negeri misalnya dari herbal yang tentu tidak membutuhkan biaya investasi terlalu besar, tapi kalau untuk hal-hal yang menjadi utama itu memang investasi nya sangat besar yang tidak mungkin untuk sektor swasta masuk karena untuk pengembalian biaya overhead pabriknya cukup lama," kata Saleh.
Dia menambahkan, hal utama adalah saat ini pemerintah sudah berupaya dengan segala macam tenaga untuk mengatasi pandemi yang sedang kita hadapi bersama. Tentu harus di ikuti oleh masyarakat luas untuk mengikuti anjuran-anjuran dari pemerintah.
Selain produksi APD, alat flocked swab saat awal pandemi pun menurutnya harus diimpor karena ketidaktersediaan alat tersebut. Hingga akhirnya, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) bersama Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) membuat flocked swab hingga memproduksi jutaan alat tersebut.
"Kemudian apa yang terjadi, bulan April dan Mei banyak rumah sakit yang keterbatasan peralatan sehingga pasien banyak meninggal di IGD karena ventilator tidak ada, akhirnya kami bersama sama menciptakan ventilator dan sekarang diproduksi bahkan sekarang mulai masuk ke market," ujar Ari kepada Radio MNC Trijaya, dalam Trijaya Hot Topic Petang, Selasa (23/3/2021).
Ari menambahkan, Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan memproduksi vaksin sendiri, contohnya Bio Farma. Hanya saja di awal ada keterlambatan produksi dan kita tinggal tunggu bagaimana bisa masuk ke produksi uji klinis. Ia berharap vaksinasi segera bisa dilaksanakan dengan baik dan siap untuk melaksanakan vaksinasi 2.000 hingga 3.000 vaksin perhari meski saat ini kapasitasnya hanya 1.000 per hari.
Ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku obat-obatan, peralatan dan yang lainnya salah satunya vaksin corona mencapai 90%. Meski Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan bahwa Indonesia harus mengurangi impor dan berharap hal ini dapat benar-benar diterapkan.
"Contohnya paracetamol, obat umum bahan dasarnya saja masih impor. Semua orang minum obat paracetamol kok mesti impor," kata dia.
Pada kesempatan yang sama, mantan menteri perindustrian yang saat ini menjadi Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Indonesia Saleh Husin, harus mengakui bahwa Indonesia masih impor bahan baku obat hingga lebih dari 90%, yaitu 60% dari China, 30% dari India dan 10% dari lain-lain.
"Memang sebenarnya ada hal-hal yang bisa kita lakukan di dalam negeri misalnya dari herbal yang tentu tidak membutuhkan biaya investasi terlalu besar, tapi kalau untuk hal-hal yang menjadi utama itu memang investasi nya sangat besar yang tidak mungkin untuk sektor swasta masuk karena untuk pengembalian biaya overhead pabriknya cukup lama," kata Saleh.
Dia menambahkan, hal utama adalah saat ini pemerintah sudah berupaya dengan segala macam tenaga untuk mengatasi pandemi yang sedang kita hadapi bersama. Tentu harus di ikuti oleh masyarakat luas untuk mengikuti anjuran-anjuran dari pemerintah.
(fai)
tulis komentar anda