Permenperin No 3/2021 Soal Gula Diprotes, Ini Penjelasan Dirjen Industri Agro
Jum'at, 23 April 2021 - 19:49 WIB
JAKARTA - Dalam beberapa pekan terakhir sejumlah kalangan pelaku usaha pergulaan di Jawa Timur mengaku terjadi kelangkaan pasokan gula rafinasi . Hal ini ditengarai sebagai akibat diberlakukannya Permenperin No 3/2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional.
Pelaku usaha menilai aturan tersebut diskriminatif dan menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat karena membatasi impor gula mentah (raw sugar) hanya kepada pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010.
Namun, di sisi lain Kementerian Perindustrian selaku regulator menegaskan bahwa beleid tersebut merupakan kebijakan untuk mengatur produksi pada pabrik gula sebagai upaya memenuhi kebutuhan konsumsi dan kebutuhan industri makanan, minuman dan farmasi.
Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim mengatakan, peraturan terbaru terntang pergulaan melalui Permenperin No 3/2021 itu menitikberatkan pada tiga hal penting yakni, pertama sebagai upaya penertiban produksi gula pada pabrik gula guna mengurangi potensi kebocoran/rembesan gula.
Kedua, terkait produksi gula di mana aturan ini dimaksudkan agar pabrik gula berproduksi sesuai bidang usaha masing-masing. Misalnya Pabrik Gula Rafinasi (PGR) memproduksi Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk melayani industri makanan minuman dan farmasi. Sedangkan pabrik gula berbasis tebu memproduksi gula kristal putih (GKP) untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi.
“PGR tidak boleh memproduksi GKP untuk konsumsi, begitu pula Pabrik Gula berbasis tebu tidak boleh memproduksi gula industri/PGR,” ucap Abdu Rochim, di Jakarta, baru-baru ini.
Yang ketiga, kata dia, Permenperin tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan gula konsumsi/GKP guna memasok kebutuhan konsumsi masyarakat serta memastikan GKR diperuntukkan bagi bahan penolong industri makanan, minuman dan farmasi.
Abdul Rochim mengakui, saat ini memang impor gula tidak bisa dihindari baik dalam bentuk raw sugar maupun GKP untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini karena produksi gula nasional yang berbasis tebu tidak mampu memproduksi sesuai kapasitas yang diharapkan.
Pelaku usaha menilai aturan tersebut diskriminatif dan menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat karena membatasi impor gula mentah (raw sugar) hanya kepada pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010.
Namun, di sisi lain Kementerian Perindustrian selaku regulator menegaskan bahwa beleid tersebut merupakan kebijakan untuk mengatur produksi pada pabrik gula sebagai upaya memenuhi kebutuhan konsumsi dan kebutuhan industri makanan, minuman dan farmasi.
Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim mengatakan, peraturan terbaru terntang pergulaan melalui Permenperin No 3/2021 itu menitikberatkan pada tiga hal penting yakni, pertama sebagai upaya penertiban produksi gula pada pabrik gula guna mengurangi potensi kebocoran/rembesan gula.
Kedua, terkait produksi gula di mana aturan ini dimaksudkan agar pabrik gula berproduksi sesuai bidang usaha masing-masing. Misalnya Pabrik Gula Rafinasi (PGR) memproduksi Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk melayani industri makanan minuman dan farmasi. Sedangkan pabrik gula berbasis tebu memproduksi gula kristal putih (GKP) untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi.
“PGR tidak boleh memproduksi GKP untuk konsumsi, begitu pula Pabrik Gula berbasis tebu tidak boleh memproduksi gula industri/PGR,” ucap Abdu Rochim, di Jakarta, baru-baru ini.
Yang ketiga, kata dia, Permenperin tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan gula konsumsi/GKP guna memasok kebutuhan konsumsi masyarakat serta memastikan GKR diperuntukkan bagi bahan penolong industri makanan, minuman dan farmasi.
Abdul Rochim mengakui, saat ini memang impor gula tidak bisa dihindari baik dalam bentuk raw sugar maupun GKP untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini karena produksi gula nasional yang berbasis tebu tidak mampu memproduksi sesuai kapasitas yang diharapkan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda