Permenperin No 3/2021 Soal Gula Diprotes, Ini Penjelasan Dirjen Industri Agro
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam beberapa pekan terakhir sejumlah kalangan pelaku usaha pergulaan di Jawa Timur mengaku terjadi kelangkaan pasokan gula rafinasi . Hal ini ditengarai sebagai akibat diberlakukannya Permenperin No 3/2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional.
Pelaku usaha menilai aturan tersebut diskriminatif dan menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat karena membatasi impor gula mentah (raw sugar) hanya kepada pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010.
Namun, di sisi lain Kementerian Perindustrian selaku regulator menegaskan bahwa beleid tersebut merupakan kebijakan untuk mengatur produksi pada pabrik gula sebagai upaya memenuhi kebutuhan konsumsi dan kebutuhan industri makanan, minuman dan farmasi.
Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim mengatakan, peraturan terbaru terntang pergulaan melalui Permenperin No 3/2021 itu menitikberatkan pada tiga hal penting yakni, pertama sebagai upaya penertiban produksi gula pada pabrik gula guna mengurangi potensi kebocoran/rembesan gula.
Kedua, terkait produksi gula di mana aturan ini dimaksudkan agar pabrik gula berproduksi sesuai bidang usaha masing-masing. Misalnya Pabrik Gula Rafinasi (PGR) memproduksi Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk melayani industri makanan minuman dan farmasi. Sedangkan pabrik gula berbasis tebu memproduksi gula kristal putih (GKP) untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi.
“PGR tidak boleh memproduksi GKP untuk konsumsi, begitu pula Pabrik Gula berbasis tebu tidak boleh memproduksi gula industri/PGR,” ucap Abdu Rochim, di Jakarta, baru-baru ini.
Yang ketiga, kata dia, Permenperin tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan gula konsumsi/GKP guna memasok kebutuhan konsumsi masyarakat serta memastikan GKR diperuntukkan bagi bahan penolong industri makanan, minuman dan farmasi.
Abdul Rochim mengakui, saat ini memang impor gula tidak bisa dihindari baik dalam bentuk raw sugar maupun GKP untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini karena produksi gula nasional yang berbasis tebu tidak mampu memproduksi sesuai kapasitas yang diharapkan.
Diketahui, sejak 2015 - 2020 pemerintah telah membangun sekitar 7 PG berbasis tebu dengan kapasitas cukup besar (8.000 – 12.000 ton cane day/TCD), disamping itu pabrik gula-pabrik gula lama baik swasta maupun BUMN juga telah meningkatkan kapasitasnya, tetapi sayangnya produksi gula tidak semakin meningkat, justru semakin menurun.
Berdasarkan data Kemenperin, produksi gula nasional belum mencukupi untuk kebutuhan di dalam negeri baik untuk konsumsi apalagi untuk industri. Tahun ini, kebutuhan gula nasional sekitar 5,9 juta ton di mana industri menyerap 3,1 juta ton dan konsumsi 2,8 juta ton. Sementara itu, produksi dalam negeri hanya mampu 2,15 juta ton GKP, sehingga masih harus mengimpor 3,76 juta ton.
Impor tersebut dialokasikan untuk industri 3,1 juta ton dan konsumsi 647.000 ton, atau setara dengan 3,99 juta ton raw sugar.
Baca juga: Ada Kartel dalam Distribusi Gula Rafinasi, Ini Pemicunya
Sebelumnya, Sekretaris Lakpesdam PWNU Jawa Timur Khoirul Rosyadi mengungkapkan, pihaknya menyayangkan terbitnya Permenperin 3/2021 terkait pasokan gula rafinasi hanya menjadi hak istimewa segelintir perusahaan pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010.
“Ini terindikasi kartel yang menyebabkan kelangkaan pasokan gula rafinasi di Jawa Timur karena tidak ada pabrik gula di Jawa Timur yang mendapat izin impor gula mentah dan memasok gula rafinasi untuk kebutuhan industri pengguna di Jawa Timur,” ujar Khoirul Rosyadi dalam keterangan tertulisnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pesantren Entrepreneur Indonesia (APEI) Muhammad Zakki mengatakan, pihaknya menyambut baik upaya Kemenperin untuk turun langsung dan menyaksikan kondisi riil industri makanan minuman di Jawa Timur. Namun, dia tetap menyarankan agar Permenperin 3/2021 dicabut agar tidak diskriminatif. Dia juga mendorong pengurangan impor gula secara bertahap tanpa merugikan semua pihak di hulu dan hilir industri gula. yanto kusdiantono
Pelaku usaha menilai aturan tersebut diskriminatif dan menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat karena membatasi impor gula mentah (raw sugar) hanya kepada pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010.
Namun, di sisi lain Kementerian Perindustrian selaku regulator menegaskan bahwa beleid tersebut merupakan kebijakan untuk mengatur produksi pada pabrik gula sebagai upaya memenuhi kebutuhan konsumsi dan kebutuhan industri makanan, minuman dan farmasi.
Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim mengatakan, peraturan terbaru terntang pergulaan melalui Permenperin No 3/2021 itu menitikberatkan pada tiga hal penting yakni, pertama sebagai upaya penertiban produksi gula pada pabrik gula guna mengurangi potensi kebocoran/rembesan gula.
Kedua, terkait produksi gula di mana aturan ini dimaksudkan agar pabrik gula berproduksi sesuai bidang usaha masing-masing. Misalnya Pabrik Gula Rafinasi (PGR) memproduksi Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk melayani industri makanan minuman dan farmasi. Sedangkan pabrik gula berbasis tebu memproduksi gula kristal putih (GKP) untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi.
“PGR tidak boleh memproduksi GKP untuk konsumsi, begitu pula Pabrik Gula berbasis tebu tidak boleh memproduksi gula industri/PGR,” ucap Abdu Rochim, di Jakarta, baru-baru ini.
Yang ketiga, kata dia, Permenperin tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan gula konsumsi/GKP guna memasok kebutuhan konsumsi masyarakat serta memastikan GKR diperuntukkan bagi bahan penolong industri makanan, minuman dan farmasi.
Abdul Rochim mengakui, saat ini memang impor gula tidak bisa dihindari baik dalam bentuk raw sugar maupun GKP untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini karena produksi gula nasional yang berbasis tebu tidak mampu memproduksi sesuai kapasitas yang diharapkan.
Diketahui, sejak 2015 - 2020 pemerintah telah membangun sekitar 7 PG berbasis tebu dengan kapasitas cukup besar (8.000 – 12.000 ton cane day/TCD), disamping itu pabrik gula-pabrik gula lama baik swasta maupun BUMN juga telah meningkatkan kapasitasnya, tetapi sayangnya produksi gula tidak semakin meningkat, justru semakin menurun.
Berdasarkan data Kemenperin, produksi gula nasional belum mencukupi untuk kebutuhan di dalam negeri baik untuk konsumsi apalagi untuk industri. Tahun ini, kebutuhan gula nasional sekitar 5,9 juta ton di mana industri menyerap 3,1 juta ton dan konsumsi 2,8 juta ton. Sementara itu, produksi dalam negeri hanya mampu 2,15 juta ton GKP, sehingga masih harus mengimpor 3,76 juta ton.
Impor tersebut dialokasikan untuk industri 3,1 juta ton dan konsumsi 647.000 ton, atau setara dengan 3,99 juta ton raw sugar.
Baca juga: Ada Kartel dalam Distribusi Gula Rafinasi, Ini Pemicunya
Sebelumnya, Sekretaris Lakpesdam PWNU Jawa Timur Khoirul Rosyadi mengungkapkan, pihaknya menyayangkan terbitnya Permenperin 3/2021 terkait pasokan gula rafinasi hanya menjadi hak istimewa segelintir perusahaan pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010.
“Ini terindikasi kartel yang menyebabkan kelangkaan pasokan gula rafinasi di Jawa Timur karena tidak ada pabrik gula di Jawa Timur yang mendapat izin impor gula mentah dan memasok gula rafinasi untuk kebutuhan industri pengguna di Jawa Timur,” ujar Khoirul Rosyadi dalam keterangan tertulisnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pesantren Entrepreneur Indonesia (APEI) Muhammad Zakki mengatakan, pihaknya menyambut baik upaya Kemenperin untuk turun langsung dan menyaksikan kondisi riil industri makanan minuman di Jawa Timur. Namun, dia tetap menyarankan agar Permenperin 3/2021 dicabut agar tidak diskriminatif. Dia juga mendorong pengurangan impor gula secara bertahap tanpa merugikan semua pihak di hulu dan hilir industri gula. yanto kusdiantono
(ynt)