Sekolah Dikenai Pajak, Pengembangan SDM Indonesia Bisa Terhambat
Jum'at, 11 Juni 2021 - 15:24 WIB
JAKARTA - Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan. Rencana itu dituangkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Sebelumnya, jasa pendidikan seperti sekolah tidak dikenakan pajak karena termasuk kategori jasa bebas PPN. Di mana, dalam ketentuan Pasal 4A ayat (3) mengatur tujuh jenis jasa yang tidak dikenai pajak, salah satunya sektor jasa pendidikan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebut, rencana pemerintah bertentangan dengan upaya pemerintah memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM) itu sendiri.
Sebab, jasa pendidikan yang akan kena PPN meliputi jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, pendidikan profesional, hingga jasa pendidikan diluar sekolah.
"Padahal, skor PISA (Programme for International Student Assesment) yang mengukur kemampuan membaca ada di 74 dari 79 negara di tahun 2018. Salah satu masalah utama pendidikan karena akses pendidikan dan kualitas pendidikan yang belum merata, akibatnya kinerja SDM kita di bawah rata-rata dunia," ujarnya saaat dihubungi MNC Portal Indonesia, Jumat (11/6/2021).
Bhima meyakini ketertinggalan Indonesia pada aspek kemampuan membaca atau pengembangan SDM di sektor pendidikan akan semakin terhambat jika pemerintah mengenakan PPN. Pasalnya, biaya yang ditanggung akan semakin mahal.
Meski begitu, Bhima belum memahami dasar pemerintah akan menetapkan kebijakan tersebut. Padahal, di banyak negara, PPN pendidikan justru dikecualikan.
"Dasarnya apa, saya juga kurang paham, kalau hanya sekedar kejar-kejaran soal penerimaan pajak jangka pendek. Pemerintah sepertinya tidak paham filosofi pembuatan aturan PPN kenapa pendidikan harus dikecualikan," tukasnya.
Dari seluruh jasa pendidikan, ungkap dia, risikonya paling besar dikenakan PPN adalah perguruan tinggi, di mana omset-nya di atas Rp4,8 miliar per tahun. Ini akan mempengaruhi biaya kuliah karena pendapatan masyarakat menengah bawah belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19.
"Meskipun pemerintah akan bersikeras bahwa siswa miskin mendapat beasiswa, tapi bagaimana dengan kelompok siswa menengah yang pas-pasan? Jadi sangat salah total revisi kebijakan PPN. Pemerintah disarankan menarik pembahasan revisi KUP khususnya berkaitan dengan memasukkan jasa pendidikan menjadi objek PPN," pungkasnya.
Sebelumnya, jasa pendidikan seperti sekolah tidak dikenakan pajak karena termasuk kategori jasa bebas PPN. Di mana, dalam ketentuan Pasal 4A ayat (3) mengatur tujuh jenis jasa yang tidak dikenai pajak, salah satunya sektor jasa pendidikan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebut, rencana pemerintah bertentangan dengan upaya pemerintah memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM) itu sendiri.
Sebab, jasa pendidikan yang akan kena PPN meliputi jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, pendidikan profesional, hingga jasa pendidikan diluar sekolah.
"Padahal, skor PISA (Programme for International Student Assesment) yang mengukur kemampuan membaca ada di 74 dari 79 negara di tahun 2018. Salah satu masalah utama pendidikan karena akses pendidikan dan kualitas pendidikan yang belum merata, akibatnya kinerja SDM kita di bawah rata-rata dunia," ujarnya saaat dihubungi MNC Portal Indonesia, Jumat (11/6/2021).
Bhima meyakini ketertinggalan Indonesia pada aspek kemampuan membaca atau pengembangan SDM di sektor pendidikan akan semakin terhambat jika pemerintah mengenakan PPN. Pasalnya, biaya yang ditanggung akan semakin mahal.
Meski begitu, Bhima belum memahami dasar pemerintah akan menetapkan kebijakan tersebut. Padahal, di banyak negara, PPN pendidikan justru dikecualikan.
"Dasarnya apa, saya juga kurang paham, kalau hanya sekedar kejar-kejaran soal penerimaan pajak jangka pendek. Pemerintah sepertinya tidak paham filosofi pembuatan aturan PPN kenapa pendidikan harus dikecualikan," tukasnya.
Dari seluruh jasa pendidikan, ungkap dia, risikonya paling besar dikenakan PPN adalah perguruan tinggi, di mana omset-nya di atas Rp4,8 miliar per tahun. Ini akan mempengaruhi biaya kuliah karena pendapatan masyarakat menengah bawah belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19.
"Meskipun pemerintah akan bersikeras bahwa siswa miskin mendapat beasiswa, tapi bagaimana dengan kelompok siswa menengah yang pas-pasan? Jadi sangat salah total revisi kebijakan PPN. Pemerintah disarankan menarik pembahasan revisi KUP khususnya berkaitan dengan memasukkan jasa pendidikan menjadi objek PPN," pungkasnya.
(ind)
tulis komentar anda