Tak Ada Masalah Hukum, Luhut Minta Proyek PSEL Jalan Terus
Selasa, 29 Juni 2021 - 15:26 WIB
JAKARTA - Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi terus mengawal implementasi Perpres No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan pada 12 Kota di Indonesia. Kabarnya, secara khusus Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menggelar rapat dengan 12 walikota bersama Kementerian terkait ditambah perwakilan PLN dan KPK.
Pertemuan ini dikabarkan mencairkan kebutuan terkait pernyataan KPK pada 2020 lalu, terkait struktur biaya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa/PSEL) berpotensi membebani anggaran pemerintah daerah sudah diklarifikasi, dan tidak ada lagi perbedaan pendapat soal beban anggaran khususnya terkait harga tipping fee yang sudah diatur pada Pepres. Rapat ini dikabarkan dihadiri langsung oleh Deputi Pencegahan KPK. Hasil penelusuran redaksi, pendapat KPK terkait beban anggaran daerah pernah dijadikan alasan oleh beberapa kepala daerah saat proses perencanaan proyek.
Luhut yang turun langsung memimpin rapat, secara tegas meminta setiap kepala daerah untuk cepat dan tanggap menghadapi kedaruratan sampah yang dihadapi bangsa ini. Pendekatan teknologi yakni waste to energy (PLTSa/PSEL), dan reduced derived fuel (RDF) boleh dipilih masing-masing daerah sesuai dengan volume sampah yang dihasilkan. Bila jumlahnya besar diatas 1.000 ton per hari bisa membangun PSEL, bila antara 100-200 ton/hari dapat mengunakan metode RDF.
Sesuai amana Perpres Nomor 56 Tahun 2018, PLTSa pun masuk daftar proyek strategis nasional (PSN). Ancaman sanksi bagi kepala daerah pernah dilontarkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Kemenko Marves, Basilio Dias Araujo pada kunjungan kerja ke Tempat Pengolahan Sampah (TPA) di Manado, Sulawesi Utara. “Ada sanksi diberhentikan tiga bulan bila tidak melaksanakan PSN,” tegas Basilio.
Ahli hukum tata negara Agus Riewanto menyatakan pemerintah daerah harus tunduk pada aturan pemerintah pusat mengenai proyek strategis nasional seperti ketentuan pasal 67 dan 68 Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
"Aturannya sangat jelas, bahwa Pemda seharusnya tunduk kepada Pemerintah Pusat, ini harus sejalan. Karena pemerintah pusat fungsinya koordinatif, kalau daerah tidak melaksanakan UU itu pelangaran, hukuman sanksi, pasal 62 ayat 2, kalau Gubernur tidak melaksanakan maka Mendagri bisa menerbitkan surat peringatan," kata Agus baru-baru ini.
Mengacu pada Pasal 81 ayat (2) hingga ayat (5) mengatur tata cara sanksi pemberhentian kepala daerah melalui prakarsa pemerintah pusat. Adapun bila bupati/wali kota yang tidak bisa melaksanakan maka bisa diberhentikan. "Jadi kalau misalkan bupati/walikota yang tidak menjalankan amanat UU itu, maka gubernur yang memberikan peringatan. Misal dalam dua bulan ketika dia diberhentikan masih mengulang, maka diberhentikan secara permanen," kata dia.
Dosen fakultas hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta ini melihat jangan sampai investasi menjadi terhambat karena adanya hambatan dari pemerintah daerah. Bahkan menurut Agus, pemerintah pusat bisa bertindak untuk mengambil alih apabila Pemda tetap lambat dalam menjalankannya. "Kalau tidak sejalan, tapi itu penting bagi investasi daerah, maka bisa diambil tindakan politis. Dulu contoh kasus, pemerintah pusat pernah mengambil proyek staretgis nasional. Pada kasus reklamsi Teluk Jakarat misalnya, karena itu proyek nasional, itu bisa dianbil oleh pemerintah pusat," jelas dia.
Perlu diketahui, Ke-12 kota yang menjadi prioritas pembangunan PSEL/PLTSa adalah DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado. Sampai saat ini, baru ada satu fasilitas yang berhasil diselesaikan yakni PSEL Benowo yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 6 Mei 2021 yang lalu.
Pertemuan ini dikabarkan mencairkan kebutuan terkait pernyataan KPK pada 2020 lalu, terkait struktur biaya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa/PSEL) berpotensi membebani anggaran pemerintah daerah sudah diklarifikasi, dan tidak ada lagi perbedaan pendapat soal beban anggaran khususnya terkait harga tipping fee yang sudah diatur pada Pepres. Rapat ini dikabarkan dihadiri langsung oleh Deputi Pencegahan KPK. Hasil penelusuran redaksi, pendapat KPK terkait beban anggaran daerah pernah dijadikan alasan oleh beberapa kepala daerah saat proses perencanaan proyek.
Luhut yang turun langsung memimpin rapat, secara tegas meminta setiap kepala daerah untuk cepat dan tanggap menghadapi kedaruratan sampah yang dihadapi bangsa ini. Pendekatan teknologi yakni waste to energy (PLTSa/PSEL), dan reduced derived fuel (RDF) boleh dipilih masing-masing daerah sesuai dengan volume sampah yang dihasilkan. Bila jumlahnya besar diatas 1.000 ton per hari bisa membangun PSEL, bila antara 100-200 ton/hari dapat mengunakan metode RDF.
Sesuai amana Perpres Nomor 56 Tahun 2018, PLTSa pun masuk daftar proyek strategis nasional (PSN). Ancaman sanksi bagi kepala daerah pernah dilontarkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Kemenko Marves, Basilio Dias Araujo pada kunjungan kerja ke Tempat Pengolahan Sampah (TPA) di Manado, Sulawesi Utara. “Ada sanksi diberhentikan tiga bulan bila tidak melaksanakan PSN,” tegas Basilio.
Ahli hukum tata negara Agus Riewanto menyatakan pemerintah daerah harus tunduk pada aturan pemerintah pusat mengenai proyek strategis nasional seperti ketentuan pasal 67 dan 68 Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
"Aturannya sangat jelas, bahwa Pemda seharusnya tunduk kepada Pemerintah Pusat, ini harus sejalan. Karena pemerintah pusat fungsinya koordinatif, kalau daerah tidak melaksanakan UU itu pelangaran, hukuman sanksi, pasal 62 ayat 2, kalau Gubernur tidak melaksanakan maka Mendagri bisa menerbitkan surat peringatan," kata Agus baru-baru ini.
Mengacu pada Pasal 81 ayat (2) hingga ayat (5) mengatur tata cara sanksi pemberhentian kepala daerah melalui prakarsa pemerintah pusat. Adapun bila bupati/wali kota yang tidak bisa melaksanakan maka bisa diberhentikan. "Jadi kalau misalkan bupati/walikota yang tidak menjalankan amanat UU itu, maka gubernur yang memberikan peringatan. Misal dalam dua bulan ketika dia diberhentikan masih mengulang, maka diberhentikan secara permanen," kata dia.
Dosen fakultas hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta ini melihat jangan sampai investasi menjadi terhambat karena adanya hambatan dari pemerintah daerah. Bahkan menurut Agus, pemerintah pusat bisa bertindak untuk mengambil alih apabila Pemda tetap lambat dalam menjalankannya. "Kalau tidak sejalan, tapi itu penting bagi investasi daerah, maka bisa diambil tindakan politis. Dulu contoh kasus, pemerintah pusat pernah mengambil proyek staretgis nasional. Pada kasus reklamsi Teluk Jakarat misalnya, karena itu proyek nasional, itu bisa dianbil oleh pemerintah pusat," jelas dia.
Perlu diketahui, Ke-12 kota yang menjadi prioritas pembangunan PSEL/PLTSa adalah DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado. Sampai saat ini, baru ada satu fasilitas yang berhasil diselesaikan yakni PSEL Benowo yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 6 Mei 2021 yang lalu.
(nng)
tulis komentar anda