Ekonom Bhima Blejeti Sebagian Isi RUU Terkait Perpajakan

Senin, 23 Agustus 2021 - 15:54 WIB
Foto/Ilustrasi/SINDOnews
JAKARTA - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan belum terlalu mendesak untuk dilakukan. Pasalnya, pemulihan daya beli tidak merata di semua kelompok. Belum lagi, soal pemahaman dan data atas sebuah produk.

“Misalnya beras premium mau dikenakan tarif PPN 10%, bagaimana dampak terhadap petani yang sulit membedakan mana beras premium dan beras biasa? Pendataan soal bahan makanan juga selama ini masih bermasalah sehingga pengawasan menjadi lebih sulit di lapangan,” kata Bhima saat dihubungi MPI, Senin (23/8/2021).



Sementara itu, Bhima mengaku bagian yang seharusnya tidak perlu dimasukkan ke dalam revisi UU KUP adalah Pasal 44E terkait perubahan UU PPN karena bahan kebutuhan pokok, layanan pendidikan dan kesehatan sebagai objek PPN sangat berisiko menurunkan daya beli masyarakat.



Sementara, pasal yang terkait dengan pajak lingkungan perlu didukung seperti yang tertera pada Pasal 44G. Penerapan pajak karbon dilakukan di sektor hulu yang menghasilkan emisi karbon, seperti pertambangan, migas, dan industri ekstraktif lainnya. Sementara penerapan pajak karbon ke masyarakat sebaiknya dilakukan secara hati-hati menimbang daya beli per kelompok masyarakat.

Selanjutnya pada Pasal 37 Bhima mengatakan terindikasi akan adanya Tax Amnesty jilid ke-2 yang ingin dilakukan pemerintah. Rujukan pasal-per pasal ke UU Pengampunan Pajak 2016 jadi indikasi kuat adanya pengampunan kembali.

“Padahal terlalu sering melakukan tax amnesty justru menurunkan tingkat kepercayaan wajib pajak. Sekali diberi tax amnesty, maka wajib pajak yang nakal akan menunggu tax amnesty berikutnya. Ini kontraproduktif terhadap komitmen pasca-tax amnesty untuk menegakkan kepatuhan pajak bagi wajib pajak yang tidak memanfaatkan tax amnesty 2016 lalu,” tambahnya.



Kemudian Pasal 17b berkaitan dengan penurunan tarif PPh badan menjadi 20% di 2022 dan 17% untuk perusahaan yang go public perlu dievaluasi kembali. Menurutnya, penurunan tarif PPh badan ini belum tentu efektif.

Dari studi yang dilakukan di Singapura, keputusan perusahaan memiliki kantor akuntansi dan perpajakan di Singapura bukan hanya masalah tarif pajak yang rendah. Tapi kepastian regulasi dan keamanan menjadi faktor paling krusial.

"Di sisi lain penurunan tarif PPh badan dikhawatirkan justru menggerus rasio pajak pada 2022,” paparnya.

Meskipun demikian, Bhima mengatakan untuk apa lagi diberikan penurunan tarif sampai 17% sebab sudah banyak perusahaan besar menikmati insentif perpajakan dalam bentuk tax allowances dan tax holiday.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More