Bos BCA Sebut Indonesia Belum Bisa Menjadi Masyarakat Non-Tunai
Selasa, 07 September 2021 - 15:18 WIB
JAKARTA - Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk atau BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan bahwa saat ini mayoritas transaksi atau sekitar 86,3% transaksi harian nasabah BCA dilakukan di luar kantor cabang. Dari rata-rata 40 juta transaksi yang dilayani BCA, sebanyak 13% di antaranya ada di ATM.
"Sedangkan hanya 0,7% saja transaksi nasabah yang dilayani di kantor cabang perusahaan. Itu pun, hanya untuk transaksi yang tidak dapat dilayani di luar kantor, seperti kliring giro, penarikan deposito jumlah besar, dan lain-lain," ujar Jahja dalam webinar Banking Outlook 2021 di Jakarta, Selasa (7/9/2021).
Meskipun transaksi fisik kini sudah banyak dibantu oleh sistem teknologi, Jahja yakin bahwa digitalisasi belum bisa menggantikan transaksi fisik, demikian pula untuk uang tunai.
"Kebutuhan akan uang tunai di masyarakat kita masih tinggi dan Indonesia belum bisa menjadi cashless society atau masyarakat non-tunai. Digital itu belum bisa me-replace secara langsung kebutuhan uang tunai, mengurangi banyak iya betul," terang Jahja.
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sambung dia, kebutuhan dan transaksi bisnis pun bertambah. Ini membuat kebutuhan akan uang tunai bakal naik. Pasalnya, masih banyak pedagang kecil atau UKM yang belum siap dengan sistem digital.
"Memang Bank Indonesia (BI) telah menyediakan infrastruktur cashless lewat QRIS. Namun, dibutuhkan waktu untuk mengimplementasikan infrastruktur untuk para pedagang cilik," ungkapnya.
Maka dari itu, menurut Jahja, masih banyak tantangan yang menghadang fully digital bank di Indonesia. Tantangan lainnya adalah ongkos penarikan uang tunai. Karena fully digital bank tidak memiliki kantor cabang, maka harus disiapkan infrastruktur ATM.
"Tidak masalah kalau perusahaan bisa menyediakan ATM sendiri sehingga tidak ditarik biaya transaksi. Tapi kalau pakai infrastruktur bersama dan biaya per penarikan Rp6.500, nasabah bisa boncos, kalau saldo Rp400 ribu, 5-6 kali transaksi waduh bonyok itu. Ini hal kecil tapi tolong dipikirkan kalau mau mengembangkan bank digital," pungkasnya.
"Sedangkan hanya 0,7% saja transaksi nasabah yang dilayani di kantor cabang perusahaan. Itu pun, hanya untuk transaksi yang tidak dapat dilayani di luar kantor, seperti kliring giro, penarikan deposito jumlah besar, dan lain-lain," ujar Jahja dalam webinar Banking Outlook 2021 di Jakarta, Selasa (7/9/2021).
Meskipun transaksi fisik kini sudah banyak dibantu oleh sistem teknologi, Jahja yakin bahwa digitalisasi belum bisa menggantikan transaksi fisik, demikian pula untuk uang tunai.
"Kebutuhan akan uang tunai di masyarakat kita masih tinggi dan Indonesia belum bisa menjadi cashless society atau masyarakat non-tunai. Digital itu belum bisa me-replace secara langsung kebutuhan uang tunai, mengurangi banyak iya betul," terang Jahja.
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sambung dia, kebutuhan dan transaksi bisnis pun bertambah. Ini membuat kebutuhan akan uang tunai bakal naik. Pasalnya, masih banyak pedagang kecil atau UKM yang belum siap dengan sistem digital.
"Memang Bank Indonesia (BI) telah menyediakan infrastruktur cashless lewat QRIS. Namun, dibutuhkan waktu untuk mengimplementasikan infrastruktur untuk para pedagang cilik," ungkapnya.
Maka dari itu, menurut Jahja, masih banyak tantangan yang menghadang fully digital bank di Indonesia. Tantangan lainnya adalah ongkos penarikan uang tunai. Karena fully digital bank tidak memiliki kantor cabang, maka harus disiapkan infrastruktur ATM.
"Tidak masalah kalau perusahaan bisa menyediakan ATM sendiri sehingga tidak ditarik biaya transaksi. Tapi kalau pakai infrastruktur bersama dan biaya per penarikan Rp6.500, nasabah bisa boncos, kalau saldo Rp400 ribu, 5-6 kali transaksi waduh bonyok itu. Ini hal kecil tapi tolong dipikirkan kalau mau mengembangkan bank digital," pungkasnya.
(uka)
tulis komentar anda