Regulasi Belum Jelas, Investor Bingung Mau Investasi di Indonesia
Jum'at, 05 Juni 2020 - 10:05 WIB
JAKARTA - Asosiasi Panas Bumi Internasional mendesak agar Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi program prioritas untuk segera diselesaikan guna menjamin kepastian investasi di dalam negeri. Regulasi yang tidak konsisten di tingkat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuat investor malas menanamkan modalnya di Indonesia.
“Bisa dicek sekarang, bagaimana tidak konsistennya regulasi yang ada. Peraturan Menteri (Permen) ESDM satu belum terbit, sudah ganti dengan aturan lain sehingga investor bingung mau investasi di Indonesia,” ujar Direktur Asosiasi Panas Bumi Internasional Abadi Purnomo di Jakarta, kemarin.
Namun, anehnya, perubahan regulasi setiap terjadi pergantian kabinet justru dianggap biasa. Padahal, regulasi yang tidak konsisten tersebut menjadi masalah utama bagi investasi EBT di Indonesia. Karena itu, imbuhnya, perlu aturan UU baru untuk menjamin kepastian hukum agar pengembangan EBT dapat berkembang lebih pesat. (Baca: Menteri ESDM Arifin Tasrif Terbitkan Regulasi Baru EBT, Ini Isinya)
“Saya mendorong supaya UU EBT bisa menjadi prioritas legislatif nasional sehingga dapat segera diterbitkan. Dengan demikian, regulasi di bawahnya bisa menyesuaikan untuk memajukan pengembangan EBT di dalam negeri,” tandas Abadi.
Tak hanya itu, PLN sebagai satu-satunya pembeli listrik dari pengembang (single off-taker) juga menjadi kendala pengembangan EBT. Karena itu, perlu aturan tegas terkait harga agar EBT mampu bersaing dengan energi primer seperti gas dan batu bara.
“PLN sebagai single off-taker juga menjadi masalah. Karena itu, tentunya dengan harga yang affordable sangat diperlukan,” kata dia.
Ia pun mengungkapkan bahwa realisasi pengembangan EBT di dalam negeri masih sangat minim. Pihaknya merinci realisasi EBT di dalam negeri baru sekitar 8,85% atau 92 MTOE dari target yang telah ditentukan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebesar 23% atau sebesar 400 MTOE.
Adapun besaran persentase tersebut telah dipenuhi dari panas bumi atau geothermal, hydro/mikrohydro, solar cell, angin, dan lain sebagainya. Sementara jika dirinci berdasarkan pembangkit listriknya maka peran EBT hanya 14% atau 8,7 gigawatt (GW) dari total pembangkitan sebesar 64 GW. (Baca juga: Dampak Covid-19, Sri Mulyani: Ekonomi Kuartal II Akan Lebih Berat)
“Saya kira akan sulit mencapai target jika behavior regulasinya masih seperti sekarang ini. Karena itu, perlu terobosan baru yaitu mendorong UU EBT untuk segera disahkan di DPR menjadi program prioritas,” ucap dia.
“Bisa dicek sekarang, bagaimana tidak konsistennya regulasi yang ada. Peraturan Menteri (Permen) ESDM satu belum terbit, sudah ganti dengan aturan lain sehingga investor bingung mau investasi di Indonesia,” ujar Direktur Asosiasi Panas Bumi Internasional Abadi Purnomo di Jakarta, kemarin.
Namun, anehnya, perubahan regulasi setiap terjadi pergantian kabinet justru dianggap biasa. Padahal, regulasi yang tidak konsisten tersebut menjadi masalah utama bagi investasi EBT di Indonesia. Karena itu, imbuhnya, perlu aturan UU baru untuk menjamin kepastian hukum agar pengembangan EBT dapat berkembang lebih pesat. (Baca: Menteri ESDM Arifin Tasrif Terbitkan Regulasi Baru EBT, Ini Isinya)
“Saya mendorong supaya UU EBT bisa menjadi prioritas legislatif nasional sehingga dapat segera diterbitkan. Dengan demikian, regulasi di bawahnya bisa menyesuaikan untuk memajukan pengembangan EBT di dalam negeri,” tandas Abadi.
Tak hanya itu, PLN sebagai satu-satunya pembeli listrik dari pengembang (single off-taker) juga menjadi kendala pengembangan EBT. Karena itu, perlu aturan tegas terkait harga agar EBT mampu bersaing dengan energi primer seperti gas dan batu bara.
“PLN sebagai single off-taker juga menjadi masalah. Karena itu, tentunya dengan harga yang affordable sangat diperlukan,” kata dia.
Ia pun mengungkapkan bahwa realisasi pengembangan EBT di dalam negeri masih sangat minim. Pihaknya merinci realisasi EBT di dalam negeri baru sekitar 8,85% atau 92 MTOE dari target yang telah ditentukan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebesar 23% atau sebesar 400 MTOE.
Adapun besaran persentase tersebut telah dipenuhi dari panas bumi atau geothermal, hydro/mikrohydro, solar cell, angin, dan lain sebagainya. Sementara jika dirinci berdasarkan pembangkit listriknya maka peran EBT hanya 14% atau 8,7 gigawatt (GW) dari total pembangkitan sebesar 64 GW. (Baca juga: Dampak Covid-19, Sri Mulyani: Ekonomi Kuartal II Akan Lebih Berat)
“Saya kira akan sulit mencapai target jika behavior regulasinya masih seperti sekarang ini. Karena itu, perlu terobosan baru yaitu mendorong UU EBT untuk segera disahkan di DPR menjadi program prioritas,” ucap dia.
tulis komentar anda