Penyusunan APBN 2021 Diperingatkan Bakal Krusial

Selasa, 09 Juni 2020 - 05:13 WIB
DPR mengingatkan, APBN 2021 akan menjadi instrumen penting untuk menjawab tantangan pemulihan akibat pandemi COVID-19. Hal ini dikhawatirkan mempengaruhi kesinambungan fiskal beberapa tahun ke depan. Foto/Dok
JAKARTA - Pemerintah telah menyampaikan pengantar dan keterangan atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun 2021 pada Rapat Paripurna DPR RI, (12/5) lalu. Dokumen tersebut merupakan gambaran awal sekaligus arah skenario kebijakan ekonomi dan fiskal yang menjadi bahan pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan Nota Keuangan beserta RUU APBN Tahun 2021.

Anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komarudin mengingatkan, APBN 2021 akan menjadi instrumen penting untuk menjawab tantangan pemulihan akibat pandemi COVID-19. Hal ini dikhawatirkan mempengaruhi kesinambungan fiskal beberapa tahun ke depan.

“Kenaikan defisit anggaran serta pelebaran persentase utang negara terhadap beban anggaran akibat pandemi akan mempengaruhi keuangan negara beberapa tahun ke depan. Karena itu APBN 2021 karena dinamika tahun 2020 akan sangat krusial bagi sisi fiskal Indonesia,” ujar Puteri di Jakarta



Pemerintah mengusulkan kisaran indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan R-APBN 2021, antara lain pertumbuhan ekonomi 4,5–5,5%, inflasi 2,0–4,0 %, tingkat suku bunga SBN 10 tahun 6,67–9,56 %, nilai tukar rupiah Rp14.900–Rp15.300/USD, harga minyak mentah Indonesia USD 40–50/barel, lifting minyak bumi 677–737 ribu barel per hari, dan lifting gas bumi 1.085–1.173 ribu barel setara minyak per hari.

Karena itu, dia meminta agar pemerintah melakukan penghitungan asumsi makro APBN 2021 secara tepat. Tujuannya demi memperkecil deviasi antara asumsi makro dengan realisasinya.

"Di tengah kondisi seperti ini, indikator asumsi makro diperkirakan bergerak dinamis. Maka, perumusannya untuk APBN 2021 perlu dilakukan dengan cermat, detail, dan antisipatif sesuai perkembangan serta evaluasi kondisi ekonomi global dan domestik terkini. Hal ini perlu dilakukan untuk memperkecil deviasi antara target dan realisasinya yang dapat mempengaruhi besaran outlook dan realisasi anggaran negara,” ungkap Puteri.

Dalam konferensi pers pada Rabu (3/6), Pemerintah menyatakan akan mengubah perkiraan defisit APBN 2020 dari 5,07 persen menjadi 6,34 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan merevisi Perpres No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020.

Pelebaran defisit ini diakibatkan penurunan perkiraan penerimaan negara dari Rp1.760,9 triliun menjadi Rp1.699,1 triliun. Serta, perkiraan kenaikan belanja negara sebesar Rp124 triliun menjadi Rp2.738,4 triliun.

"Selain perkembangan beberapa indikator makro, tentunya risiko atas pelaksanaan APBN 2020 juga perlu menjadi perhatian dalam penyusunan RAPBN 2021. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kesinambungan fiskal agar dapat menjaga kredibilitas dan akuntabilitas anggaran negara. Selain itu, untuk mendukung upaya pemulihan dampak pandemi, ke depannya kebijakan fiskal lun harus fokus pada percepatan pemulihan kesehatan dan sektor ekonomi strategis melalui program-program yang memberikan dampak langsung bagi masyarakat,” tutup Puteri
(akr)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More