Menakar Pekerjaan Rumah untuk Wujudkan Transisi Energi
Rabu, 29 Desember 2021 - 16:54 WIB
Program Manager Prakarsa, Herni Ramdlaningrum mengatakan, transisi energi di Indonesia sudah ada kemajuan walau masih belum cukup effortnya. Misal, sudah ada planning early coal retirement. Arah kebijakan keuangan menuju hijau (green taxonomy/carbon tax). Namun, untuk mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025 masih jauh.
“Sekarang ini masih di sekitar angka 12%. Kalau untuk mengatasi dampak perubahan iklim, Indonesia targetnya masih belum ambisius. Padahal bencana akibat perubahan iklim sudah jelas dan potensi menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar. Apalagi kalau bicara mengenai economic recovery, harusnya potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim sudah masuk pertimbangan untuk diantisipasi serius,” ujar Herni.
Menurut dia, pemerintah seharusnya lebih melibatkan organisasi masyarakat dalam proses transisi energi sehingga pembuatan kebijakan dapat lebih inklusif dan partisipatif. Koherensi kebijakan lintas sektoral menjadi sangat penting agar transisi energi dapat terkoordinasi antara PLN, Kementeriam ESDM dan Kementeriam PPN/Bappenas.
Pemerintah juga perlu menciptakan ekosistem yang memadai sebelum mengelurkan kebijakan terkait carbon tax dan carbon trading, apalagi dengan harga Rp30 /kg co2 yang dinilai masih terlalu rendah. Masyarakat juga perlu mendesak pemerintah untuk segera beralih dari penggunaan batu bara Jika benar-benar ingin mencapai net zero di 2050.
Sedangkan dari sisi pembiayaan transisi energi, peneliti Prakarsa, Fiona Armintasari mengatakan, perlu melibatkan berbagai pihak: pemerintah, lembaga keuangan internasional, dan institusi perbankan.
Saat ini lembaga keuangan internasional mendominasi pembiayaan transisi energi. Padahal peran bank terutama swasta, sangat penting dalam mendorong transisi energi, apalagi di Indonesia sekitar 80% aset keuangan dipegang bank swasta.
“Ekosistem keuangan berkelanjutan perlu terus didorong untuk mempercepat transisi energi salah satunya green taxonomy yang saat ini tengah disusun OJK. Green taxonomy nantinya akan memobilisasi pendanaan ke sektor EBT serta sektor lainnya yang mendukung upaya pengendalian perubahan iklim. Sudah ada definisi yang jelas tentang apa saja aktivitas bisnis yang bisa dikategorikan hijau. OJK harus memastikan tidak ada peluang greenwashing dengan dibentuknya green taxonomy,” kata Fiona.
Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia, Tiza Mafira mengatakan, pemerintah perlu memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk melakukan transisi energi mikro di rumah tangga.
Seperti tariff net metering untuk solar panel yang benar-benar menghasilkan penghematan tagihan listrik, infrastruktur yang mendukung peralihan ke transportasi umum listrik dan kendaraan pribadi listrik, serta insentif untuk memilih produk yang efisien energi.
“Masyarakat bisa menciptakan demand tinggi, tetapi perlu diberi insentif untuk beralih massal ke energi baru dan terbarukan,” tegas Tiza.
“Sekarang ini masih di sekitar angka 12%. Kalau untuk mengatasi dampak perubahan iklim, Indonesia targetnya masih belum ambisius. Padahal bencana akibat perubahan iklim sudah jelas dan potensi menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar. Apalagi kalau bicara mengenai economic recovery, harusnya potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim sudah masuk pertimbangan untuk diantisipasi serius,” ujar Herni.
Menurut dia, pemerintah seharusnya lebih melibatkan organisasi masyarakat dalam proses transisi energi sehingga pembuatan kebijakan dapat lebih inklusif dan partisipatif. Koherensi kebijakan lintas sektoral menjadi sangat penting agar transisi energi dapat terkoordinasi antara PLN, Kementeriam ESDM dan Kementeriam PPN/Bappenas.
Pemerintah juga perlu menciptakan ekosistem yang memadai sebelum mengelurkan kebijakan terkait carbon tax dan carbon trading, apalagi dengan harga Rp30 /kg co2 yang dinilai masih terlalu rendah. Masyarakat juga perlu mendesak pemerintah untuk segera beralih dari penggunaan batu bara Jika benar-benar ingin mencapai net zero di 2050.
Sedangkan dari sisi pembiayaan transisi energi, peneliti Prakarsa, Fiona Armintasari mengatakan, perlu melibatkan berbagai pihak: pemerintah, lembaga keuangan internasional, dan institusi perbankan.
Saat ini lembaga keuangan internasional mendominasi pembiayaan transisi energi. Padahal peran bank terutama swasta, sangat penting dalam mendorong transisi energi, apalagi di Indonesia sekitar 80% aset keuangan dipegang bank swasta.
“Ekosistem keuangan berkelanjutan perlu terus didorong untuk mempercepat transisi energi salah satunya green taxonomy yang saat ini tengah disusun OJK. Green taxonomy nantinya akan memobilisasi pendanaan ke sektor EBT serta sektor lainnya yang mendukung upaya pengendalian perubahan iklim. Sudah ada definisi yang jelas tentang apa saja aktivitas bisnis yang bisa dikategorikan hijau. OJK harus memastikan tidak ada peluang greenwashing dengan dibentuknya green taxonomy,” kata Fiona.
Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia, Tiza Mafira mengatakan, pemerintah perlu memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk melakukan transisi energi mikro di rumah tangga.
Seperti tariff net metering untuk solar panel yang benar-benar menghasilkan penghematan tagihan listrik, infrastruktur yang mendukung peralihan ke transportasi umum listrik dan kendaraan pribadi listrik, serta insentif untuk memilih produk yang efisien energi.
“Masyarakat bisa menciptakan demand tinggi, tetapi perlu diberi insentif untuk beralih massal ke energi baru dan terbarukan,” tegas Tiza.
tulis komentar anda