Minyak Goreng Langka, Fadli Zon: Akibat Akumulasi Amburadulnya Tata Kelola Sawit di Indonesia

Rabu, 23 Februari 2022 - 14:16 WIB
Meskipun ketersediaan stok CPO domestik meningkat, namun regulasi domestiknya tidak bersahabat bagi CPO yang diperutukkan sebagai bahan baku minyak goreng. Akibatnya minyak goreng tetap langka di pasaran.

Padahal, dilihat dari sisi ekspor pun sebenarnya tidak ada lonjakan volume. Meskipun harga CPO di pasar internasional sedang tinggi, tetapi peningkatan ekspor 2020-2021 ternyata tak signifikan, hanya sebesar 0,2 juta ton.

"Sehingga, kita sebenarnya perlu waspada dengan kebijakan DPO ini. Penerapan kebijakan DPO yang tidak terkendali dan tanpa diiringi pengawasan di tata kelola domestik, dapat menjadi backfire bagi petani kelapa sawit," tulis Fadli Zon.

Sebab dengan kebijakan ini pabrik kelapa sawit akan menekan harga pembelian tandan buah segar (TBS) ke petani. Ketika harga CPO melambung saja petani sawit tak dapat ikut merasakan kenaikan keuntungan, apalagi ketika harganya dibatasi. Petani sawit sudah pasti semakin tertekan.

Fadli juga mencurigai, ada praktik kartel dalam tata kelola sawit di Indonesia selama ini. Dia juga mengkritik pemerintah yang 'alergi' ketika kelangkaan minyak sawit ini dikaitkan dengan praktik kartel tersebut.

"Catatan kedua yang saya rasa menjadi problem mendasar dari kelangkaan saat ini adalah adanya praktik kartel dalam tata kelola sawit di Indonesia," ungkapnya.

Setelah sejumlah upaya sudah dilakukan dan ternyata belum efektif, menurut Fadli Zon mengutarakan, pemerintah tidak perlu alergi mengaitkan kelangkaan minyak goreng saat ini dengan praktik kartel yang jelas terlihat dalam tata kelola sawit di Indonesia.

"Berdasarkan catatan KPPU, terdapat konsentrasi pasar sebesar 46,5% di pasar minyak goreng. Artinya hampir setengah pasar, dikendalikan oleh empat produsen minyak goreng. Inilah yang membuat struktur pasar perkebunan sawit cenderung oligopolistik, didominasi sekelompok pelaku usaha," ujarnya.



Menurut catatan yang dikeluarkan KPK tentang sistem pengelolaan komoditas kelapa sawit, juga disebutkan bahwa hampir Rp 2 triliun, atau lebih dari 50% subsidi biodiesel yang dialokasikan dari dari dana BPDPKS, dinikmati oleh satu kelompok usaha.

"Dengan model seperti ini, adanya indikasi terjadinya praktik kartel dalam wujud industri yang mampu mengontrol harga di pasar, semakin besar. Tak mengherankan jika mereka ternyata juga memiliki daya tawar yang kuat terhadap pemerintah," ujarnya.

Akumulasi kebijakan yang tidak tepat sasaran dan praktik kartel ini yang membuat tata kelola sawit Indonesia amburadul. "Sepanjang struktur pasar perkebunan sawit dibiarkan oligopolistik, jangan heran jika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tak akan ada yang efektif untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng," terangnya.

Praktik kartel juga berdampak buruk terhadap nasib petani. Dominasi satu kelompok industri, tentunya membuat mereka memiliki kemampuan menetapkan dan mengendalikan harga di tingkat petani, yang akan kesulitan untuk mendapatkan harga jual terbaik untuk produk kebunnya.

"Pemerintah harus mengurai dominasi pelaku usaha tersebut, agar tak ada lagi konsentrasi pasar sawit di beberapa kelompok saja. Ini langkah penting yang wajib diambil Pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng yang sifatnya berkelanjutan di dalam negeri," paparnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More