Utang Pemerintah Rp7.002 Triliun, Tiga Risiko Siap Menghadang
Senin, 27 Juni 2022 - 14:23 WIB
JAKARTA - Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan utang luar negeri (ULN) Indonesia per 31 Mei 2022 berada di posisi Rp7.002 triliun. Ekonom sekaligus Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan bahwa kondisi utang ini sudah merupakan lampu kuning dan pemerintah harus berhati-hati.
"Perlu menjadi kewaspadaan meski ada penurunan pertumbuhan ULN pemerintah sebesar 7,3% yoy per April 2022," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta, Senin (27/6/2022).
Penurunan ini cenderung disebabkan oleh kenaikan pendapatan negara dari sektor komoditas tambang dan perkebunan. Bhima menyebutkan, masalah muncul ketika harga batu bara dan sawit mulai terkontraksi pada periode Juni sehingga memengaruhi windfall pajak dan PNBP. Di saat yang bersamaan, tekanan pembiayaan baru lahir dari kenaikan beban subsidi dan belanja rutin.
"Efek dari pendanaan utang selama pandemi juga berkorelasi dengan naiknya beban bunga utang pemerintah," jelas Bhima.
Menurut Bhima, risiko terkait utang ke depan ada tiga. Pertama, tren kenaikan suku bunga secara global akan meningkatkan bunga utang luar negeri pemerintah. Ketika Fed rate naik agresif, maka investor pemegang surat utang berharap pemerintah naikkan kupon SBN.
"Bunga pasar SBN diperkirakan dapat menembus 9%," ungkap Bhima.
Kedua, belanja pemerintah yang berkaitan dengan pendanaan pemilu dan penyelesaian proyek infrastruktur sebelum 2024 akan menekan ruang fiskal. Gap defisit akan didanai oleh utang. Maka, menurut Bhima, wajar utang luar negeri yang turun saat ini hanya temporer, tahun depan akan kembali naik.
"Ketiga, pelemahan nilai tukar akibat tekanan eksternal mengakibatkan selisih kurs sehingga sebagian besar pendapatan pemerintah bersumber dari dalam negeri sementara pembayaran cicilan pokok dan bunga dalam bentuk valas," ungkap Bhima.
Dihubungi secara terpisah, Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet menilai bahwa diskusi mengenai utang yang perlu digarisbawahi atau dicermati adalah mengembalikan posisi utang pemerintah, terutama dilihat dari rasio utang pemerintah terhadap PDB kembali seperti sebelum terjadinya pandemi.
"Saat ini rasio utang pemerintah terhadap PDB itu berada di kisaran 40-42%, padahal sebelum pandemi rasio utang pemerintah berada di kisaran 30%. Hal inilah yang kemudian menjadi tantangan untuk dilakukan pemerintah untuk menjaga level utama berada pada level yang manageable dan minim risiko," ungkapnya.
"Perlu menjadi kewaspadaan meski ada penurunan pertumbuhan ULN pemerintah sebesar 7,3% yoy per April 2022," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta, Senin (27/6/2022).
Penurunan ini cenderung disebabkan oleh kenaikan pendapatan negara dari sektor komoditas tambang dan perkebunan. Bhima menyebutkan, masalah muncul ketika harga batu bara dan sawit mulai terkontraksi pada periode Juni sehingga memengaruhi windfall pajak dan PNBP. Di saat yang bersamaan, tekanan pembiayaan baru lahir dari kenaikan beban subsidi dan belanja rutin.
"Efek dari pendanaan utang selama pandemi juga berkorelasi dengan naiknya beban bunga utang pemerintah," jelas Bhima.
Menurut Bhima, risiko terkait utang ke depan ada tiga. Pertama, tren kenaikan suku bunga secara global akan meningkatkan bunga utang luar negeri pemerintah. Ketika Fed rate naik agresif, maka investor pemegang surat utang berharap pemerintah naikkan kupon SBN.
"Bunga pasar SBN diperkirakan dapat menembus 9%," ungkap Bhima.
Kedua, belanja pemerintah yang berkaitan dengan pendanaan pemilu dan penyelesaian proyek infrastruktur sebelum 2024 akan menekan ruang fiskal. Gap defisit akan didanai oleh utang. Maka, menurut Bhima, wajar utang luar negeri yang turun saat ini hanya temporer, tahun depan akan kembali naik.
"Ketiga, pelemahan nilai tukar akibat tekanan eksternal mengakibatkan selisih kurs sehingga sebagian besar pendapatan pemerintah bersumber dari dalam negeri sementara pembayaran cicilan pokok dan bunga dalam bentuk valas," ungkap Bhima.
Dihubungi secara terpisah, Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet menilai bahwa diskusi mengenai utang yang perlu digarisbawahi atau dicermati adalah mengembalikan posisi utang pemerintah, terutama dilihat dari rasio utang pemerintah terhadap PDB kembali seperti sebelum terjadinya pandemi.
"Saat ini rasio utang pemerintah terhadap PDB itu berada di kisaran 40-42%, padahal sebelum pandemi rasio utang pemerintah berada di kisaran 30%. Hal inilah yang kemudian menjadi tantangan untuk dilakukan pemerintah untuk menjaga level utama berada pada level yang manageable dan minim risiko," ungkapnya.
(uka)
tulis komentar anda