RI Jadi Negara Berpendapatan Menengah Atas Munculkan Konsekuensi Negatif

Kamis, 02 Juli 2020 - 19:02 WIB
Masuknya Indonesia ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas oleh Bank Dunia, menurut ekonom lebih banyak menimbulkan konsekuensi negatif bagi kepentingan nasional. Foto/Dok
JAKARTA - Masuknya Indonesia ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas oleh Bank Dunia, menurut ekonom lebih banyak menimbulkan konsekuensi negatif bagi kepentingan nasional Indonesia. Negara yang dapat masuk dalam kategori ini memiliki pendapatan nasional bruto atau gross national income di antara USD4.046 hingga USD12.535 per tahun.

Ekonom Indef Bhima Yudistira menerangkan, dari sisi perdagangan internasional konsekuensinya produk Indonesia semakin sedikit mendapatkan fasilitas untuk keringanan tarif. "Jadi tinggal menunggu waktu misalnya AS akan mencabut fasilitas GSP (Generalized System of Preferences). Padahal banyak produk yang diuntungkan dari fasilitas GSP seperti tekstil, pakaian jadi, pertanian, perikanan, coklat, hingga produk kayu," kata Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Kamis (2/7/2020).

( )



Menurutnya, Indonesia bisa saja dikeluarkan dari list negara penerima fasilitas tadi setelah Bank Dunia resmi mengelompokkan Indonesia ke dalam negara berpendapatan menengah atas. Ditambah terang Bhima yang perlu dicermati, biasanya langkah negara maju akan di ikuti oleh negara lainnya.

"Kalau AS sampai cabut GSP, maka Kanada, Eropa juga menyusul. Padahal situasi pandemi kita memerlukan kenaikan kinerja ekspor yang lebih tinggi. Justru ini buruk bagi neraca dagang ke depannya," paparnya.

Pembiayaan Jadi Terbatas

Sedangkan dampak signifikan dari pembiayaan utang, terang dia adalah naiknya status menjadi upper middle income berarti Indonesia makin dianggap mampu membayar bunga dengan rate yang lebih mahal. "Negara-negara kreditur juga akan memprioritaskan negara yang income nya lebih rendah dari Indonesia khususnya negara kelompok low income countries. Dengan kondisi ini, maka pilihan Indonesia untuk mencari sumber pembiayaan murah makin terbatas," jelasnya

Sambung dia mengungkapkan, pinjaman bilateral dengan bunga 0,5-1% tentunya makin berat. Akibatnya pemerintah makin gencar terbitkan SBN yang dijual dengan market rate. "Sekarang saja sudah di atas 7% bunga nya. Mahal sekali dan pastinya ke depan porsi SBN makin dominan dibandingkan pinjaman bilateral dan multilateral yang bunganya lebih murah," ungkapnya.

( )

Catatan Ketiga, kenaikan status tanpa adanya perubahan struktur ekonomi justru mengancam serapan tenaga kerja. Porsi industri manufaktur terhadap PDB per triwulan I 2020 terus alami penurunan di bawah 20%. Deindustrialisasi prematur jalan terus. Idealnya untuk naik kelas yang didorong itu ya industri manufaktur karena disitu ada nilai tambah dan serapan tenaga kerja yang besar.

"Kita terlalu cepat masuk ke sektor jasa, oleh karena itu motor ekonominya rapuh. Ini harus diperbaiki untuk lepas dari jebakan kelas menengah. Jangan berbangga dulu karena sebenarnya upper middle income ya status Indonesia masih negara berpendapatan menengah," tambahnya.
(akr)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More