Beberkan Perhitungan Harga BBM, Mantan Menteri ESDM Gunakan Perumpamaan Rendang
Minggu, 02 Oktober 2022 - 13:01 WIB
"Jadi pergerakan harga Ron 92 (Pertamax) tidak mengikuti pergerakan harga minyak mentah dunia," paparnya.
Arcandra kemudian membandingkan produksi BBM layaknya restoran padang yang membuat rendang. Bahan baku utama rendang adalah daging sapi atau kerbau. Harga sapi misalnya ditentukan oleh supply demand pada waktu tertentu.
"Pada saat hari raya Idul Adha, kebutuhan sapi akan meningkat sehingga harganya akan naik. Tapi apakah ongkos untuk membuat rendang akan naik pada saat itu? Belum tentu," katanya.
Perbedaan antara harga jual rendang dengan harga daging sapi dinamakan dengan dapur margin (seperti refinery margin). Dapur margin ini bisa jadi ditentukan oleh banyaknya permintaan rendang pada saat tertentu.
Misalnya acara wisuda yang memerlukan 10 ton rendang. Daging sapi tersedia tapi rendangnya tidak cukup. Maka dapur margin untuk membuat rendang menjadi naik untuk memenuhi kebutuhan wisuda.
"Bisa dibayangkan, kalau dalam lima tahun terakhir dapur margin untuk membuat rendang (BBM) misalnya hanya Rp100 ribu/kg sekarang menjadi Rp300 ribu/kg. Ditambah lagi kalau pada saat yang bersamaan harga daging sapi (minyak mentah) juga ikut naik. Konsumen yang membutuhkan rendang (BBM) tentunya akan semakin terbebani," kata Arcandra.
Arcandra melanjutkan analoginya, kalau ada acara yang anggarannya terbatas dan harus menyediakan menu rendang (BMM) setiap saat, maka membeli rendang (BBM) yang siap santap mungkin akan mahal. Agar fluktuasi harga rendang (BBM) lebih terjamin, salah satu solusi yang tepat adalah membuat dapur (kilang) sendiri yang tidak saja bisa membuat rendang, tapi juga bisa membuat masakan padang yang lain.
"Tentunya butuh investasi dan kesabaran agar bisa membuat dapur (kilang) yang memberikan margin yang baik," jelasnya.
Menurut Arcandra, dalam konteks pemenuhan BBM, dengan refinery margin yang sangat tinggi pada tahun ini dan bisa jadi tahun-tahun yang akan datang, strategi yang teliti, cermat dan cerdas sangat dibutuhkan dalam masa transisi menuju net-zero emisi tahun 2050 atau 2060.
Arcandra kemudian membandingkan produksi BBM layaknya restoran padang yang membuat rendang. Bahan baku utama rendang adalah daging sapi atau kerbau. Harga sapi misalnya ditentukan oleh supply demand pada waktu tertentu.
"Pada saat hari raya Idul Adha, kebutuhan sapi akan meningkat sehingga harganya akan naik. Tapi apakah ongkos untuk membuat rendang akan naik pada saat itu? Belum tentu," katanya.
Perbedaan antara harga jual rendang dengan harga daging sapi dinamakan dengan dapur margin (seperti refinery margin). Dapur margin ini bisa jadi ditentukan oleh banyaknya permintaan rendang pada saat tertentu.
Misalnya acara wisuda yang memerlukan 10 ton rendang. Daging sapi tersedia tapi rendangnya tidak cukup. Maka dapur margin untuk membuat rendang menjadi naik untuk memenuhi kebutuhan wisuda.
"Bisa dibayangkan, kalau dalam lima tahun terakhir dapur margin untuk membuat rendang (BBM) misalnya hanya Rp100 ribu/kg sekarang menjadi Rp300 ribu/kg. Ditambah lagi kalau pada saat yang bersamaan harga daging sapi (minyak mentah) juga ikut naik. Konsumen yang membutuhkan rendang (BBM) tentunya akan semakin terbebani," kata Arcandra.
Arcandra melanjutkan analoginya, kalau ada acara yang anggarannya terbatas dan harus menyediakan menu rendang (BMM) setiap saat, maka membeli rendang (BBM) yang siap santap mungkin akan mahal. Agar fluktuasi harga rendang (BBM) lebih terjamin, salah satu solusi yang tepat adalah membuat dapur (kilang) sendiri yang tidak saja bisa membuat rendang, tapi juga bisa membuat masakan padang yang lain.
"Tentunya butuh investasi dan kesabaran agar bisa membuat dapur (kilang) yang memberikan margin yang baik," jelasnya.
Menurut Arcandra, dalam konteks pemenuhan BBM, dengan refinery margin yang sangat tinggi pada tahun ini dan bisa jadi tahun-tahun yang akan datang, strategi yang teliti, cermat dan cerdas sangat dibutuhkan dalam masa transisi menuju net-zero emisi tahun 2050 atau 2060.
tulis komentar anda