Tekanan Makro Ekonomi yang Berat Picu Badai PHK Perusahaan Startup
Sabtu, 19 November 2022 - 06:49 WIB
JAKARTA - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tengah melanda sejumlah perusahaan rintisan berbasis teknologi atau startup. Teranyar, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) melakukan PHK terhadap 1.300 karyawan dan Ruangguru yang mem-PHK ratusan pegawainya.
Pengamat ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, tekanan makro ekonomi yang cukup berat pasca pandemi Covid-19 memicu gelombang PHK di perusahaan startup.
"Mulai dari kenaikan inflasi, tren penyesuaian suku bunga, pelemahan daya beli, risiko geopolitik dan model bisnis yang berubah signifikan," beber Bhima dalam keterangannya, dikutip Sabtu (19/11/2022).
Dia menerangkan, pasca pandemi awalnya diharapkan akan terjadi kenaikan jumlah pengguna dan profitabilitas layanan yang berkelanjutan.
Namun, harapan mulai pupus ketika konsumen terutama di Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara berhadapan dengan naiknya inflasi pangan dan energi secara bersamaan. "Sehingga, mengurangi pembelian barang dan jasa melalui layanan platform digital," tuturnya.
Bhima menyebut mayoritas startup yang melakukan PHK massal disebut sebagai ‘Pandemic Darling’ atau perusahaan yang meraup kenaikan Gross Merchandise Value (GMV) selama puncak pandemi pada periode 2020-2021. "Karena valuasinya tinggi, maka mereka dipersepsikan mudah cari pendanaan baru," ungkapnya.
Tetapi pada faktanya, sambung Bhima, agresifitas ekspansi perusahaan digital ternyata saat ini tidak sebanding dengan pencarian dana baru dari investor.
"Banyak investor terutama asing menjauhi perusahaan dengan valuasi tinggi tapi secara profitabilitas rendah, atau model bisnis nya tidak sustain (berkelanjutan)," tutup Bhima.
Pengamat ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, tekanan makro ekonomi yang cukup berat pasca pandemi Covid-19 memicu gelombang PHK di perusahaan startup.
"Mulai dari kenaikan inflasi, tren penyesuaian suku bunga, pelemahan daya beli, risiko geopolitik dan model bisnis yang berubah signifikan," beber Bhima dalam keterangannya, dikutip Sabtu (19/11/2022).
Dia menerangkan, pasca pandemi awalnya diharapkan akan terjadi kenaikan jumlah pengguna dan profitabilitas layanan yang berkelanjutan.
Namun, harapan mulai pupus ketika konsumen terutama di Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara berhadapan dengan naiknya inflasi pangan dan energi secara bersamaan. "Sehingga, mengurangi pembelian barang dan jasa melalui layanan platform digital," tuturnya.
Bhima menyebut mayoritas startup yang melakukan PHK massal disebut sebagai ‘Pandemic Darling’ atau perusahaan yang meraup kenaikan Gross Merchandise Value (GMV) selama puncak pandemi pada periode 2020-2021. "Karena valuasinya tinggi, maka mereka dipersepsikan mudah cari pendanaan baru," ungkapnya.
Tetapi pada faktanya, sambung Bhima, agresifitas ekspansi perusahaan digital ternyata saat ini tidak sebanding dengan pencarian dana baru dari investor.
"Banyak investor terutama asing menjauhi perusahaan dengan valuasi tinggi tapi secara profitabilitas rendah, atau model bisnis nya tidak sustain (berkelanjutan)," tutup Bhima.
Lihat Juga :
tulis komentar anda