DPR Kritik Usulan Kadin Soal Pencetakan Uang Baru Guna Atasi Pandemi Covid-19
Selasa, 28 April 2020 - 03:17 WIB
JAKARTA - Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR Marwan Cik Asan mengkritik usulan KADIN kepada pemerintah untuk menerbitkan recovery bond atau pencetakan uang baru oleh Bank Indonesia (BI) atau quantitative easing (QE) guna mengatasi dampak pandemi Covid-19. Pasalnya, hal itu bisa menyebabkan hiperinflasi yang mana, masyarakat lapisan bawah yang akan sangat terdampak. Khususnya saat kondisi pandemi yang tidak menentu saat ini.
“Secara umum usulan tersebut dapat diterima sebagai respon atas tidak bergeraknya roda ekonomi sehingga diperlukan stimulus oleh pemerintah untuk kembali menggerakkan perputaran uang lewat injeksi likuiditas ke dalam perekonomian,” kata Marwan dalam keterangannya, Senin (27/4).
Anggota Komisi XI DPR ini menjelaskan, Amerika Serikat (AS) memang kembali menerapkan kebijakan QE oleh Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed pada tahun 2009 hingga pertengahan tahun 2013 untuk mengatasi krisis keuangan global 2008, untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 dengan menyatakan bahwa nilainya yang tidak terbatas. Tetapi, karena dollar AS merupakan mata uang internasional yang terserap dalam pasar valas, hal itu tidak akan berdampak pada laju inflasi di AS.
Kemudian lanjut Marwan, dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 (Perpph Corona), BI diberi kewenangan untuk membeli surat utang negara dipasar primer sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat 1 c.
Kebijakan ini memang mempunyai kemiripan dengan pelaksanaan QE di AS namun, sampai saat ini pelaksanaan QE oleh BI belum dalam pencetakan uang baru, tetapi pelonggaran likuditas melalui beberapa instrument moneter yang dimiliki, yaitu pembelian SBN dipasar sekunder yang dilepas oleh investor asing, pelonggaran rasio GWM, penyediaan likuditas perbankan melalui mekanisme repo, yang secara total BI telah menjalankan kebijakan pelonggaran likuditas mencapai Rp 420 triliun.
“Jika kedepannya BI diharuskan untuk membeli surat utang negara dipasar primer sebagaimana amanah Perppu, tentu perannya sebagai the last resort di mana, pembelian SBN dilakukan ketika kapasitas pasar tidak mampu menyerap atau kenaikan yield yang terlalu tinggi dan dengan porsi terukur yang tidak mendominasi pasar,” terangnya.
Karena itu, dia melanjutkan agar BI perlu berhati-hati dan melakukan perhitungan yang matang untuk melakukan desakan KADIN untuk mencetak uang baru untuk menambah likuditas melalui penerbitan recovery bond yang diterbitkan pemerintah. Karena, Indonesia pernah mengalami pengalaman buruk terhadap pencetakan uang baru untuk menutupi defisit APBN.
Pada tahun 1962-1966 BI terus menerus melakukan pencetakan uang baru untuk menutupi defisit, dampaknya adalah inflasi terus meningkat tajam hingga mencapai 635 persen pada tahun 1966.
“Itu terjadi karena pertumbuhan uang beredar telah lebih besar dibandingkan dengan tingkat produksi barang, dalam teori ekonomi disebut sebagai kondisi stagflasi. Jika tujuan pencetakan uang baru hanya ditujukan untuk cash transfer peningkatan konsumsi masyarakat, tanpa mempertimbangkan sisi supply maka dipastikan inflasi akan meningkat tajam dan korbannya adalah masyarakat bawah,” terangnya.
Selain permasalahan inflasi, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat ini pun mengkritik usulan KADIN yang meminta pemerintah untuk menerbitkan recovery bond yang kemudian dibeli oleh BI dengan bunga 1%, kemudian hasil penjualan recovery bond oleh pemerintah dipinjamkan ke perbenkan, untuk kemudian diberikan kredit kepada pengusaha dengan bunga 2%. Sehingga, usulan itu sangat tidak adil bagi para pengusaha kecil dan UMKM.
“Usulan ini tentu akan mengusik rasa keadilan bagi pengusaha kecil dan UMKM, yang selama ini memperoleh KUR masih dengan bunga 6 persen. Selain itu juga akan menganggu mekanisme transmisi keuangan dan moneter, dimana suku bunga BI masih berada pada level 4,5 persen, begitu juga imbal hasil (yield) SBN masih berkisar 7 persen,” pungkasnya.
“Secara umum usulan tersebut dapat diterima sebagai respon atas tidak bergeraknya roda ekonomi sehingga diperlukan stimulus oleh pemerintah untuk kembali menggerakkan perputaran uang lewat injeksi likuiditas ke dalam perekonomian,” kata Marwan dalam keterangannya, Senin (27/4).
Anggota Komisi XI DPR ini menjelaskan, Amerika Serikat (AS) memang kembali menerapkan kebijakan QE oleh Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed pada tahun 2009 hingga pertengahan tahun 2013 untuk mengatasi krisis keuangan global 2008, untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 dengan menyatakan bahwa nilainya yang tidak terbatas. Tetapi, karena dollar AS merupakan mata uang internasional yang terserap dalam pasar valas, hal itu tidak akan berdampak pada laju inflasi di AS.
Kemudian lanjut Marwan, dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 (Perpph Corona), BI diberi kewenangan untuk membeli surat utang negara dipasar primer sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat 1 c.
Kebijakan ini memang mempunyai kemiripan dengan pelaksanaan QE di AS namun, sampai saat ini pelaksanaan QE oleh BI belum dalam pencetakan uang baru, tetapi pelonggaran likuditas melalui beberapa instrument moneter yang dimiliki, yaitu pembelian SBN dipasar sekunder yang dilepas oleh investor asing, pelonggaran rasio GWM, penyediaan likuditas perbankan melalui mekanisme repo, yang secara total BI telah menjalankan kebijakan pelonggaran likuditas mencapai Rp 420 triliun.
“Jika kedepannya BI diharuskan untuk membeli surat utang negara dipasar primer sebagaimana amanah Perppu, tentu perannya sebagai the last resort di mana, pembelian SBN dilakukan ketika kapasitas pasar tidak mampu menyerap atau kenaikan yield yang terlalu tinggi dan dengan porsi terukur yang tidak mendominasi pasar,” terangnya.
Karena itu, dia melanjutkan agar BI perlu berhati-hati dan melakukan perhitungan yang matang untuk melakukan desakan KADIN untuk mencetak uang baru untuk menambah likuditas melalui penerbitan recovery bond yang diterbitkan pemerintah. Karena, Indonesia pernah mengalami pengalaman buruk terhadap pencetakan uang baru untuk menutupi defisit APBN.
Pada tahun 1962-1966 BI terus menerus melakukan pencetakan uang baru untuk menutupi defisit, dampaknya adalah inflasi terus meningkat tajam hingga mencapai 635 persen pada tahun 1966.
“Itu terjadi karena pertumbuhan uang beredar telah lebih besar dibandingkan dengan tingkat produksi barang, dalam teori ekonomi disebut sebagai kondisi stagflasi. Jika tujuan pencetakan uang baru hanya ditujukan untuk cash transfer peningkatan konsumsi masyarakat, tanpa mempertimbangkan sisi supply maka dipastikan inflasi akan meningkat tajam dan korbannya adalah masyarakat bawah,” terangnya.
Selain permasalahan inflasi, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat ini pun mengkritik usulan KADIN yang meminta pemerintah untuk menerbitkan recovery bond yang kemudian dibeli oleh BI dengan bunga 1%, kemudian hasil penjualan recovery bond oleh pemerintah dipinjamkan ke perbenkan, untuk kemudian diberikan kredit kepada pengusaha dengan bunga 2%. Sehingga, usulan itu sangat tidak adil bagi para pengusaha kecil dan UMKM.
“Usulan ini tentu akan mengusik rasa keadilan bagi pengusaha kecil dan UMKM, yang selama ini memperoleh KUR masih dengan bunga 6 persen. Selain itu juga akan menganggu mekanisme transmisi keuangan dan moneter, dimana suku bunga BI masih berada pada level 4,5 persen, begitu juga imbal hasil (yield) SBN masih berkisar 7 persen,” pungkasnya.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda