BI Kerek Suku Bunga Acuan, Bank Diyakini Tak Tergoda Menaikkan Bunga Simpanan atau Kredit
Jum'at, 23 Desember 2022 - 08:31 WIB
JAKARTA - Keputusan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan alias BI Rate (BI7DRRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5% dinilai merupakan keputusan tepat, antisipatif dan forward looking.
Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar ISED Ryan Kiryanto menuturkan, dengan ekspektasi inflasi inti dan inflasi IHK ke depan yang terkendali sesuai target yang 3% +/- 1, di tengah masih tingginya inflasi global, terutama di negara-negara maju (AS dan Eropa), BI bertindak taktis antisipatif menaikkan BI Rate hanya 25 bps.
Hal itu mengingat ekspektasi inflasi global yang masih tinggi dan akan diikuti kenaikan suku bunga acuan global meskipun dengan tingkat agresivitas yang berkurang.
"Keyakinan ekspektasi inflasi domestik yang melandai menuju sasaran jangkar inflasi yang 3% merupakan resultan pengetatan kebijakan moneter BI dalam beberapa bulan terakhir melalui kenaikan BI Rate dan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) secara bertahap serta pengendalian inflasi oleh Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Daerah dibarengi pengendalian inflasi pangan," ujarnya.
Paralel dengan itu, lanjut Ryan, efek inflatoir kenaikan harga BBM beberapa bulan lalu juga makin berkurang.
"Yang menarik, kenaikan BI Rate 25 bps itu juga dilandasi optimisme bahwa likuiditas perbankan tetap mencukupi (ample) atau tidak terganggu karena rasio alat likuid berbanding DPK yang berkisar 30% masih jauh di atas treshold," imbuhnya.
Dengan demikian, bank-bank tidak akan tergoda untuk menaikkan bunga simpanan dan/atau kredit sehingga kinerja sektor perbankan tetap terjaga, tetap profit dengan kualitas kredit terjaga serta tetap kontributif terhadap pemulihan ekonomi nasional.
Sebagai tambahan, kenaikan BI Rate yang hanya 25 bps mengindikasikan ruang kenaikan BI Rate di bulan-bulan berikutnya masih terbuka mengingat ada perkiraan kuat bank-bank sentral global (Fed, BoE, ECB) masih akan melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya hingga inflasi menyentuh level sasaran di setiap negara atau kawasan.
Akhirnya, ruang ekspansi kredit di dalam negeri tidak terkendala karena likuiditas mencukupi dan juga masih ada POJK perpanjangan restrukturisasi debitur terdampak pandemi hingga Maret 2024 untuk segmen UMKM, sektor pariwisata dan sektor padat karya.
"Kecukupan likuiditas juga bakal ditopang oleh serapan belanja pemerintah yang mustinya lebih cepat, tepat, disiplin dan tertib sehingga bank-bank tidak harus menaikkan suku bunga simpanan. (Ryan Kiryanto, ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI)," tukasnya.
Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar ISED Ryan Kiryanto menuturkan, dengan ekspektasi inflasi inti dan inflasi IHK ke depan yang terkendali sesuai target yang 3% +/- 1, di tengah masih tingginya inflasi global, terutama di negara-negara maju (AS dan Eropa), BI bertindak taktis antisipatif menaikkan BI Rate hanya 25 bps.
Hal itu mengingat ekspektasi inflasi global yang masih tinggi dan akan diikuti kenaikan suku bunga acuan global meskipun dengan tingkat agresivitas yang berkurang.
"Keyakinan ekspektasi inflasi domestik yang melandai menuju sasaran jangkar inflasi yang 3% merupakan resultan pengetatan kebijakan moneter BI dalam beberapa bulan terakhir melalui kenaikan BI Rate dan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) secara bertahap serta pengendalian inflasi oleh Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Daerah dibarengi pengendalian inflasi pangan," ujarnya.
Paralel dengan itu, lanjut Ryan, efek inflatoir kenaikan harga BBM beberapa bulan lalu juga makin berkurang.
"Yang menarik, kenaikan BI Rate 25 bps itu juga dilandasi optimisme bahwa likuiditas perbankan tetap mencukupi (ample) atau tidak terganggu karena rasio alat likuid berbanding DPK yang berkisar 30% masih jauh di atas treshold," imbuhnya.
Dengan demikian, bank-bank tidak akan tergoda untuk menaikkan bunga simpanan dan/atau kredit sehingga kinerja sektor perbankan tetap terjaga, tetap profit dengan kualitas kredit terjaga serta tetap kontributif terhadap pemulihan ekonomi nasional.
Sebagai tambahan, kenaikan BI Rate yang hanya 25 bps mengindikasikan ruang kenaikan BI Rate di bulan-bulan berikutnya masih terbuka mengingat ada perkiraan kuat bank-bank sentral global (Fed, BoE, ECB) masih akan melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya hingga inflasi menyentuh level sasaran di setiap negara atau kawasan.
Akhirnya, ruang ekspansi kredit di dalam negeri tidak terkendala karena likuiditas mencukupi dan juga masih ada POJK perpanjangan restrukturisasi debitur terdampak pandemi hingga Maret 2024 untuk segmen UMKM, sektor pariwisata dan sektor padat karya.
"Kecukupan likuiditas juga bakal ditopang oleh serapan belanja pemerintah yang mustinya lebih cepat, tepat, disiplin dan tertib sehingga bank-bank tidak harus menaikkan suku bunga simpanan. (Ryan Kiryanto, ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI)," tukasnya.
(akr)
tulis komentar anda