Ketua Umum DPN HKTI Fadli Zon: Kebijakan Pangan Kita Mestinya Utamakan Kesejahteraan Petani, Bukan Konsumen
Sabtu, 31 Desember 2022 - 20:17 WIB
Dan ketiga, keputusan untuk melakukan impor beras biasanya hanya berpatokan kepada stok CBP yang rendah, namun tidak pernah memperhatikan faktor-faktor lainnya, seperti: kenapa stok tersebut bisa rendah? Apakah karena kekeliruan manajemen logistik Bulog sendiri, atau karena faktor eksternal? Apakah impor dilakukan pada timing yang tepat ataukah tidak?
Dalam jangka pendek pemenuhan ketersediaan pangan tertentu memang akan bergantung pada impor, dan tidak ada persoalan dengan hal itu. Namun, sebagai negara agraris, Indonesia saat ini merupakan salah satu negara importir bahan pangan terbesar di dunia. Kondisi ini tentunya bukanlah sesuatu yang ideal. Kita harus berupaya meningkatkan produksi dan efisiensi pangan, selain tentunya meningkatkan pendapatan masyarakat.
(Baca juga:Sektor Pertanian: Harapan Pemulihan?)
Di luar isu impor beras yang perlu dikritisi tadi, HKTI juga memiliki catatan lain terkait kebijakan pangan di tanah air. Catatan-catatan ini penting untuk diperhatikan agar masa depan pangan kita di 2023 bisa lebih baik lagi.
Pertama, kebijakan pangan kita mestinya bertumpu di atas prinsip kesejahteraan petani, dan bukannya konsumen. Sebab, jika petani sejahtera, maka konsumen pastinya sejahtera, dan negara juga akan ikut sejahtera. Prinsip menempatkan kesejahteraan petani sebagai titik tumpu kebijakan ini belum kita lihat. Ini bisa dilihat dari ketetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang belum pernah direvisi dalam dua tahun terakhir, padahal setahun terakhir kita tengah menghadapi isu inflasi yang cukup serius.
Sebelum Permendag 24/2020, pemerintah juga sebelumnya tidak pernah merevisi HPP selama lima tahun penuh. Kita tahu, besaran HPP sebelumnya ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Kebijakan HPP itu baru direvisi tahun 2020.
Menurut HKTI, HPP adalah instrumen penting yang bisa mendongkrak kesejahteraan petani. Sebab, HPP menjadi acuan pihak swasta dalam membeli gabah dan beras petani. HPP yang tak pernah direvisi, apalagi selama bertahun-tahun, menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam mendukung kesejahteraan petani.
Kedua, pemerintah perlu segera merevisi angka ideal CBP. Memang idealnya stok yang dimiliki Bulog adalah sekitar 6 bulan penyaluran. Jika kita mengacu data penyaluran Bulog pada 2020-2021, angka rata-rata penyaluran per bulan adalah sekitar 120.000 ton. Jika angka ini dijadikan patokan, maka stok ideal di Bulog adalah sekitar 720.000 ton. Ini adalah angka ideal.
Masalahnya adalah situasi saat ini jauh dari ideal. Apalagi di tengah konflik Rusia-Ukraina dan meningkatnya ketegangan global belakangan ini. Pasar pangan dunia kondisinya sama sekali jauh dari ideal. Sehingga, ini mestinya mendorong pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap angka CBP. Berapa angka ideal baru yang rasional? Ini perlu didiskusikan.
(Baca juga:Urgensi Regenerasi Sektor Pertanian)
Dalam jangka pendek pemenuhan ketersediaan pangan tertentu memang akan bergantung pada impor, dan tidak ada persoalan dengan hal itu. Namun, sebagai negara agraris, Indonesia saat ini merupakan salah satu negara importir bahan pangan terbesar di dunia. Kondisi ini tentunya bukanlah sesuatu yang ideal. Kita harus berupaya meningkatkan produksi dan efisiensi pangan, selain tentunya meningkatkan pendapatan masyarakat.
(Baca juga:Sektor Pertanian: Harapan Pemulihan?)
Di luar isu impor beras yang perlu dikritisi tadi, HKTI juga memiliki catatan lain terkait kebijakan pangan di tanah air. Catatan-catatan ini penting untuk diperhatikan agar masa depan pangan kita di 2023 bisa lebih baik lagi.
Pertama, kebijakan pangan kita mestinya bertumpu di atas prinsip kesejahteraan petani, dan bukannya konsumen. Sebab, jika petani sejahtera, maka konsumen pastinya sejahtera, dan negara juga akan ikut sejahtera. Prinsip menempatkan kesejahteraan petani sebagai titik tumpu kebijakan ini belum kita lihat. Ini bisa dilihat dari ketetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang belum pernah direvisi dalam dua tahun terakhir, padahal setahun terakhir kita tengah menghadapi isu inflasi yang cukup serius.
Sebelum Permendag 24/2020, pemerintah juga sebelumnya tidak pernah merevisi HPP selama lima tahun penuh. Kita tahu, besaran HPP sebelumnya ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Kebijakan HPP itu baru direvisi tahun 2020.
Menurut HKTI, HPP adalah instrumen penting yang bisa mendongkrak kesejahteraan petani. Sebab, HPP menjadi acuan pihak swasta dalam membeli gabah dan beras petani. HPP yang tak pernah direvisi, apalagi selama bertahun-tahun, menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam mendukung kesejahteraan petani.
Kedua, pemerintah perlu segera merevisi angka ideal CBP. Memang idealnya stok yang dimiliki Bulog adalah sekitar 6 bulan penyaluran. Jika kita mengacu data penyaluran Bulog pada 2020-2021, angka rata-rata penyaluran per bulan adalah sekitar 120.000 ton. Jika angka ini dijadikan patokan, maka stok ideal di Bulog adalah sekitar 720.000 ton. Ini adalah angka ideal.
Masalahnya adalah situasi saat ini jauh dari ideal. Apalagi di tengah konflik Rusia-Ukraina dan meningkatnya ketegangan global belakangan ini. Pasar pangan dunia kondisinya sama sekali jauh dari ideal. Sehingga, ini mestinya mendorong pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap angka CBP. Berapa angka ideal baru yang rasional? Ini perlu didiskusikan.
(Baca juga:Urgensi Regenerasi Sektor Pertanian)
tulis komentar anda