Situasi Global Jadi Tantangan Besar Bisnis Start-Up

Jum'at, 27 Januari 2023 - 13:28 WIB
loading...
Situasi Global Jadi...
Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara saat menjadi pembicara pada diskusi ISED di Jakarta kemarin.
A A A
JAKARTA - Di tengah tekanan situasi global, industri start-up di Indonesia diperkirakan bakal menghadapi tantangan berat pada 2023. Akan tetapi, start-up yang terkoneksi dengan platform e-commerce diperkirakan bisa lebih bertahan.

Pandangan tersebut disampaikan mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, dalam webinar yang digelar Institute of Social Economic Digital (ISED) bertema ‘Meneropong Masa Depan Startup 2023’ di Jakarta, kemarin.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini adalah founder dan Dewan Pakar ISED Ryan Kiryanto, Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis UNJ Ignatius Untung, Dewan Pakar ISED Dianta Sebayang dan Associate Dean Unika Atma Jaya dan Dewan Pakar ISED Rosdiana Sijabat.

Menurut Rudiantara, transaksi e-commerce di Indonesia diprediksi masih akan tumbuh. Pada tahun ini, nilai transaksinya diperkirakan mencapai Rp600 triliun dari sebelumnya Rp500 triliun pada 2022.



Dia menambahkan, situasi ekonomi global saat ini sangat mempengaruhi terhadap keberlangsungan start-up. Hal ini dikarenakan aliran dana investasi beralih ke sektor yang lebih pasti seperti perbankan. Kondisi ini memengaruhi start up di level awal. Bahkan tak sedikit ada start-up yang melakukan efisiensi SDM akibat dampak ekonomi global.

Rudiantara menuturkan, di Indonesia jumlahnya start-up terbilang banyak, meski jumlah persisnya tidak diketahui secara tepat, kecuali start-up yang terkoneksi dengan platform e-commerce.

Dari banyaknya start-up di Indonesia, diperkirakan hanya 5% saja yang bisa bertahan dalam 10 tahun dan tidak lebih dari 10% yang bertahan dalam lima tahun. “Bahkan di tahun 2017-2018, succes rate start-up yang bertahan 10 tahun hanya 3%,” kata Rudiantara.

Ryan Kiryanto menuturkan, pertumbuhan start-up Indonesia beberapa tahun terakhir memang berkembang pesat. Apalagi ketika pandemi dua tahun lalu, terjadi perubahan perilaku individu dari yang bersifat manual menuju digital. Hal ini yang dimanfaatkan generasi muda untuk mengembangkan start-up. Namun, belakangan bisnis usaha rintisan di Indonesia agak meredup karena kondisi ekonomi dunia sedang tidak sehat.

“Beberapa negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan tentunya Rusia mengalami resesi. Kondisi ini memengaruhi investor yang tadinya mau masuk, sekarang mereka sementara berhenti dulu. Kondisi ini menganggu aliran kas di sebagian start-up Indonesia,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Dianta Sebayang mengatakan, Indonesia merupakan negara nomor lima penghasil start-up terbanyak di dunia. Yang menarik, kata dia, di Indonesia adalah banyakna start-up karya anak bangsa. Sayangnya, kehadiran mereka hanya menjadi supporting dari industri yang lain jadi dan masih berdiri di kaki sendiri.

Sedangkan Ignatius Untung menuturkan, pada dasarnya start-up tidak seutuhnya dimonopoli oleh perusahaan teknologi. Dia menilai bahwa sebenarnya start-up adalah rintisan.

Sebuah perusahaan rintisan teknologi ketika permodalannya disuntik nature company digital memiliki cara beda dengan perusahaan pada umumnya yang dari kecil dicari dulu sampai unit ekonominya bagus dan profit baru membesarkan bisnis.

“Perusahaan rintisan itu lebih banyak fokus membesarkan dulu karena faktor dari pemodalnya. Ada pemodal yang karakternya memaksa perusahaan rintisan teknologi untuk sesegera mungkin naik valuasinya walapun tidak profit karena nilai bukunya naik dan ketika dijual bisa profit,” katanya.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1335 seconds (0.1#10.140)