Hati-hati! Tergantung Utang Luar Negeri Bahaya Bagi Ekonomi Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menandaskan ketergantungan utang luar negeri akan berdampak negatif bagi perekonomian nasional. Dampak pertama yang ditimbulkan ialah pinjaman dalam bentuk valas akan menyedot supply dolar di dalam negeri.
"Artinya pemerintah harus menyediakan pembayaran bunga utang dan cicilan pokok dengan stok valas yang besar. Wajar jika kurs rupiah menjadi mudah melemah dalam jangka panjang," ujar dia saat dihubungi SINDOnews, di Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Kedua, pembiayaan utang luar negeri yang cukup dominan membuat rasio debt to service mengalami peningkatan. "Kalau utangnya valas, ya harus dicari sumber valas. Padahal ditengah situasi pandemi kinerja ekspor dan devisa pariwisata sedang melemah. Implikasinya resiko kemampuan bayar utang makin besar," bebernya.
Lalu Ketiga, arus utang luar negeri menimbulkan resiko portfolio. Pasalnya, investor asing yang beli utang easy in dan easy go akibatnya apabila terjadi penurunan minat pembeli utang valas bisa capital outflow besar besaran.
"Ini kan situasinya ada quantitative easing The Fed yang membuat investor berburu surat utang di negara berkembang. Jika terjadi tappering off, apa dana nya tidak outflow? Apa antisipasinya. Itu yang perlu dipikirkan pemerintah dan BI," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, utang pemerintah tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan produk dari pemerintah dan DPR.
"Kenaikan utang pemerintah adalah konsekuensi dari defisit apbn yang ditetapkan bersama oleh pemerintah dan DPR," kata Piter.
Disisi lain, defisit APBN terjadi karena terbatasnya pajak yang dibayarkan masyarakat sementara disisi lain belanja pemerintah tinggi untuk proyek-proyek pembangunan, besarnya subsidi dan lain-lain. "Kalau kita memang tidak menginginkan utang pemerintah terus bertambah, pilihannya adalah kita disiplin membayar pajak. Dan kita juga tidak mendorong pemerintah melakukan pembangunan yang melebihi kemampuan pemerintah. Hilangkan subsidi, hilangkan bantuan sosial, dan sebagainya," ujar dia.
Menurut dia, tidak banyak negara yang terus menerus mempertanyakan posisi utang pemerintahnya. Sementara sesungguhnya utang pemerintah Indonesia masih jauh dibawah batas yang dianggap tidak aman. "Jika dibandingkan negara-negara peer utang pemerintah masih sangat rendah," katanya.
"Artinya pemerintah harus menyediakan pembayaran bunga utang dan cicilan pokok dengan stok valas yang besar. Wajar jika kurs rupiah menjadi mudah melemah dalam jangka panjang," ujar dia saat dihubungi SINDOnews, di Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Kedua, pembiayaan utang luar negeri yang cukup dominan membuat rasio debt to service mengalami peningkatan. "Kalau utangnya valas, ya harus dicari sumber valas. Padahal ditengah situasi pandemi kinerja ekspor dan devisa pariwisata sedang melemah. Implikasinya resiko kemampuan bayar utang makin besar," bebernya.
Lalu Ketiga, arus utang luar negeri menimbulkan resiko portfolio. Pasalnya, investor asing yang beli utang easy in dan easy go akibatnya apabila terjadi penurunan minat pembeli utang valas bisa capital outflow besar besaran.
"Ini kan situasinya ada quantitative easing The Fed yang membuat investor berburu surat utang di negara berkembang. Jika terjadi tappering off, apa dana nya tidak outflow? Apa antisipasinya. Itu yang perlu dipikirkan pemerintah dan BI," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, utang pemerintah tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan produk dari pemerintah dan DPR.
"Kenaikan utang pemerintah adalah konsekuensi dari defisit apbn yang ditetapkan bersama oleh pemerintah dan DPR," kata Piter.
Disisi lain, defisit APBN terjadi karena terbatasnya pajak yang dibayarkan masyarakat sementara disisi lain belanja pemerintah tinggi untuk proyek-proyek pembangunan, besarnya subsidi dan lain-lain. "Kalau kita memang tidak menginginkan utang pemerintah terus bertambah, pilihannya adalah kita disiplin membayar pajak. Dan kita juga tidak mendorong pemerintah melakukan pembangunan yang melebihi kemampuan pemerintah. Hilangkan subsidi, hilangkan bantuan sosial, dan sebagainya," ujar dia.
Menurut dia, tidak banyak negara yang terus menerus mempertanyakan posisi utang pemerintahnya. Sementara sesungguhnya utang pemerintah Indonesia masih jauh dibawah batas yang dianggap tidak aman. "Jika dibandingkan negara-negara peer utang pemerintah masih sangat rendah," katanya.
(nng)