Wawancara Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham: Bangun Brand Image Produk melalui Sertifikat Halal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam satu dekade terakhir, tren masyarakat di negara-negara mayoritas muslim untuk mendapatkan dan membeli produk bersertifikat halal kian tinggi. Kondisi ini memacu para produsen di berbagai sektor usaha, mulai dari makanan, minuman, kosmetik, hingga fashion, berlomba-lomba menciptakan produk halal. Ini berdampak pada pengajuan sertifikat halal yang kian meningkat ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ( BPJPH ).
Bagi pelaku usaha kelas menengah atas, pengurusan sertifikat halal ini mungkin bukan masalah. Sebab, mereka memiliki sistem, pengetahuan, dan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, serta target pasar yang lebih luas lagi.
BPJPH memiliki tantangan untuk menarik para pelaku usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar mengurus sertifikasi halalnya. Apalagi pemerintah punya target 10 juta produk UMKM sudah tersertifikasi halal.
(Baca juga:BPJPH Tegaskan Sertifikasi Halal Bukan Sekadar Formalitas Administratif)
Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham mengatakan pihaknya bekerja sama dengan kementerian, lembaga, pemerintah daerah (pemda), dan badan usaha milik negara (BUMN) dalam rangka mengedukasi dan memfasilitasi para pelaku UMKM untuk mendapatkan sertifikat halal. Masalahnya, pelaku UMKM masih belum menganggap sertifikat halal ini sesuatu yang penting dan bisa meningkatkan penjualan di masa yang akan datang.
Secara perlahan, BPJPH merancang berbagai program untuk menarik UMKM, salah satunya, Sertifikasi Halal Gratis (Sehati). BPJPH pun memberikan pendampingan kepada mereka dalam pengurusannya. Selain itu, berupaya keras merombak mindset para aparatur sipil (ASN) di lingkungan BPJPH dari yang birokratis ke korporatis dalam memberikan layanan kepada publik.
Hasilnya, BPJPH sebagai badan layanan umum (BLU) di era kepemimpinannya pecah telur dalam hal pemasukan. Aqil Irham memulai memimpin BPJPH pada Oktober 2021. Akhir tahun 2021, BPJPH mendapatkan pemasukan pertama dengan total Rp14 juta. Setahun kemudian, pendapatannya mencapai Rp36,8 miliar.“BPJPH harus melakukan pelayanan publik terdepan. Pelayanan publik yang berkualitas dan pelayanan publik yang prima,” ujarnya.
Untuk mengetahui lebih jauh rencana BPJPH ke depan berikut wawancara KORAN SINDO dan Sindonews.com dengan Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham beberapa waktu lalu.
Apa yang Anda lakukan saat pertama kali memimpin BPJPH?
Yang saya lakukan pertama kali, yakni konsolidasi struktural, kelembagaan, dan sumber daya manusia (SDM) karena itu adalah modal penting untuk kita bekerja. Kita lihat dulu dari aspek kelembagaannya gimana, SDM-nya seperti apa, struktur sudah kuat atau belum, regulasi, dan seterusnya. Lalu, saya tahu persis sebelum masuk ke sini bahwa BPJPH ini disebutkan dalam UU sebagai Satker BLU. Artinya, bahwa BPJPH harus melakukan pelayanan publik terdepan. Pelayanan publik yang berkualitas dan pelayanan publik yang prima. Jadi karena itu maksud dan tujuan didirikan BPJPH itu sebagai BLU. Pelayanan di bidang apa? Pelayanan administrasi sertifikasi halal.
Siapa saja yang dilayani? Publiknya siapa? Konsumen dan produsen. Produsen itu adalah dunia industri dan pelaku UMKM. Kemudian memberikan perlindungan kepada konsumen akan hak-hak mereka dalam mengonsumsi produk-produk. Itu adalah target kita dalam pelayanan publik. Pelayanan publik itu pada akhirnya akan beriringan dengan pendapatan BLU. BLU itu memang diberikan kewenangan untuk memperoleh pendapatan. Semakin optimal pelayanan kita, maka masyarakat percaya dan pendapatan bisa meningkat.
Bagaimana caranya membuat pelayanan publik yang prima?
Yang pertama kali itu melakukan perubahan, yakni mengubah mindset PNS dan ASN di BPJPH dari pola berpikir dan bekerja yang birokratis menjadi pola pikir dan cara kerja bahkan gayanya lebih kepada korporasi. Karena kita sebagai BLU, maka cara kerja perusahaan, saya kira yang lebih compatible dengan pelayanan-pelayanan itu. Itu yang kita lakukan perubahan di sini. Kemudian, hasil pemetaan aspek kelembagaan, struktural, dan SDM memang belum begitu kuat untuk kita berlari cepat.
Kenapa tak bisa berlari cepat?
BPJPH baru didirikan pada tahun 2017. Lalu, konsolidasi regulasi juga masih diadakan perbaikan-perbaikan. Kita tahu sebelumnya ada judicial review dari berbagai pihak. Kemudian, melengkapi regulasi. Saya kira itu memang bisa dipahami dan butuh waktu juga. Dari sisi SDM-nya, karena lembaga baru jadi orangnya diimpor dari mana-mana. Jadi belum begitu kuat. Akhirnya, saya minta bantuan ke berbagai pihak. Saya datang ke kementerian BUMN untuk meminta bantuan SDM. Karena BPJPH belum punya pendapatan, enggak mungkin digaji karena dia bukan ASN di BPJPH. Nanti gajinya tetap dari daerah asalnya tapi mereka bekerja di sini.
Apa posisi untuk SDM dari luar BPJPH ini?
Kita minta bidang pelayanan marketing, finance, dan aspek sosial media, dan digitalisasi. Tapi memang waktu itu belum dipenuhi karena mereka membutuhkan juga. (Akhirnya), Saya datang ke Kemendikbud. Saya minta mahasiswa magang. Waktu itu Pak Dirjen Prof Nizam. Waktu itu sudah tidak ada lagi program Mahasiswa Magang Bersertifikat. Saya jelaskan ini untuk kepentingan target sertifikasi halal UMKM 10 juta, perlu back up semua kementerian dan lembaga. Akhirnya, saya dibantu hampir 100 orang mahasiswa yang kita rekrut secara terbuka oleh BPJPH melalui penganggaran mereka. Jadi mahasiswa magang diberikan honor bulanan. Jadi mereka membenahi akuntansi, konten medsos, mempercantik website, Instagram. Lalu membantu pekerjaan di sini dengan melakukan verifikasi dan validasi.
Berapa produk yang sudah mendapatkan sertifikat halal?
Berdasarkan data, sertifikat halal yang keluar dari MUI pada periode 2012-2018 itu produk yang sudah bersertifikat halal berjumlah 668.000. Jadi, selama enam tahun trennya 100 ribuan per tahun. BPJPH baru 2019-2022, sertifikat yang sudah dikeluarkan 1 juta lebih. Jadi, peningkatan 3-4 kali lipat dari yang sebelumnya. Namun, karena ekspektasi publik begitu besar. Pemerintah ingin mengejar target yang besar, yakni 10 juta pada tahun 2024, maka capaian 1 juta ini belum seberapanya dengan 10 juta, apalagi dengan jumlah UMKM yang mencapai 74 juta.
Strategi untuk mencapai target tersebut?
Kita melakukan sinergi dan kolaborasi dengan seluruh stakeholder mitra strategis BPJPH. Siapa saja? Ormas Islam, perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS), baik yang perguruan tinggi di lingkungan Kementerian Agama maupun yang di luar. Itu sudah cukup baik. Kita sudah punya 156 mitra strategis di kalangan yang disebutkan tadi. Mereka sudah teregistrasi sebagai lembaga pendamping proses sertifikasi halal. Kita juga bersinergi dengan kampus-kampus dalam hal pusat studi halal atau halal center, seperti UI, IPB, dan UGM. Kita juga berkomunikasi dengan asosiasi pelaku usaha, seperti makanan dan minuman, kosmetik, dan obat-obatan. Kita menggagas kegiatan bersama, termasuk dengan e-commerce.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengurus sertifikat halal?
Layanan BPJPH walaupun belum ideal, itu 21 hari kerja untuk sertifikat. Kalau lihat tren dari 2019 itu 360 hari. Turun jadi 200 hari (2020). Turun lagi menjadi 80 hari dan sekarang 40 hari. Yang (bisa mendapatkan) 21 hari sudah 37%. Itu kenapa bisa? Karena kita menerapkan digitalisasi layanan dan integrasi. Kemarin, lembaga pemeriksa halal (LPH) punya layanan masing-masing. Pelaku usaha daftar ke sana. Selesai di sana, balik ke BPJPH dan daftarnya pakai fotokopi dan bawa berkas. Saya ingat 22 Januari 2022, kita menandatangani komitmen bersama untuk melayani integrasi layanan digital. Itu cukup satu pintu lewat BPJPH. Nanti prosesnya melalui Si-Halal. Ini yang ikut berkontribusi mempercepat sertifikat halal.
Kenapa semua belum bisa dilayani 21 hari?
Karena belum terintegrasi dengan Komisi Fatwa MUI. Saat ini terus-menerus dilakukan pembicaraan-pembicaraan. MUI-nya belum masuk di dalam sistem. Kita akan terus upayakan agar masuk dalam sistem. Kalau MUI-nya sidang, (lalu produk) ini ditetapkan halal, langsung masuk sistem.
Jumlah LPH sudah 40, apakah ini akan semakin mempercepat layanan?
Kita bikin LPH tersebar ke seluruh daerah supaya pelayanan pelaku usaha di daerah bisa dilayani oleh mereka. Kalau LPH-nya sudah terdesentralisasi di daerah, komisi fatwa di daerah, dan pelaku usaha di daerah, maka layanan makin mantap. Bisa lebih mudah, cepat, dan murah. Murah itu karena transportasinya dekat, akomodasi jadi tidak ada atau tidak mahal. Yang auditor halal mau datang enggak membutuhkan biaya transportasi.
Bagaimana proses sertifikasi dan ekosistem halal Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain?
Saya tahu Malaysia hampir satu dekade ini menang terus di semua sektor halal, seperti makanan dan minuman, fashion, kosmetik, dan semuanya. Saya nanya kok Malaysia bisa begitu? Mereka punya 360 organisasi yang bergerak dalam penguatan ekosistem halal. Itu dari pemerintah maupun private, termasuk perguruan tinggi dan sekolah-sekolah. Dari taman kanak-kanak (TK), mereka sudah ada kurikulum halal. (Contohnya) Ada gambar, ini yang boleh dimakan (karena) ini halal. Ini tidak halal.
Apakah ini mempengaruhi tingkat sertifikasi halal di sana?
Anehnya, ekosistem halal sudah cukup kuat, tapi capaian sertifikasi halalnya belum sampai 10%. Saya tanya kenapa? Pertama, di sana belum mandatory seperti kita. Mereka masih voluntary. Kedua, dunia industrinya masih belum menganggap sertifikat halal punya kontribusi signifikan dalam bisnisnya.
Banyak negara yang penduduk nonmuslimnya bukan mayoritas tapi sangat konsen dengan sertifikasi halal ini. Apa pendapat Anda?
Saya agak surprise ketika menerima 106 lembaga halal luar negeri dari 44 negara. Kemarin, kita undang di acara H20 di Semarang. Yang membuat kaget, sebagian besar negara-negara itu nonmuslim, muslimnya minoritas, dan sekuler. Mereka seperti pelaku usaha menengah besar di Indonesia yang menganggap halal bukan hanya soal isu agama. Akan tetapi, itu isu dunia industri, ekonomi, branding image perusahaan, dan nilai tambah. Kompetisi perusahaan dengan branding image itu memberikan produknya nilai tambah dan profit bisa lebih tinggi untuk mereka berjualan di komunitas masyarakat mayoritas muslim, seperti Indonesia dan negara-negara Timur Tengah. Itu yang membuat mereka mau ikut sertifikasi halal. Di samping itu, karena produknya tidak bisa masuk ke Indonesia kalau belum bersertifikat halal.
Itu berlaku untuk semua?
Baik domestik maupun global nanti tertahan di bea cukai. Enggak bisa masuk kalau enggak bersertifikat halal. Boleh masuk kalau mereka sudah ada tanda tangan Memorandum of Understanding (MoU) dan Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan BPJPH.
Sudah disosialisasikan ke semuanya?
Makanya, asesor kita ke daerah-daerah dan beberapa negara untuk melakukan penilaian kesesuaian standar halal yang ditetapkan di sana dengan di sini. Kalau matching, kita tanda tangan. Kamu boleh masuk, tinggal registrasi. Kamu boleh bikin sertifikat, tapi di sini registrasinya.
Apakah sudah ada standar halal secara global, misalnya agar produk Indonesia bisa masuk ke Timur Tengah?
Sebenarnya bukan semata-semata standarisasi produknya, tapi kualitas, kontinuitas produknya bila diekspor ke sana, dan volumenya. Itu yang menjadi pertimbangan Saudi Food and Drug Authority. Misalnya, kenapa ikan patin kita kalah dengan Vietnam dan Filipina karena standarnya beda, ukuran, kualitas, dan kontinuitas. Orang ingin kalau dikirim enggak putus-putus, rutin. Jangan dikirim dua kali sudah enggak ada stok lagi. Dengan SFDA, sedang finalisasi MoU. Memang rasanya untuk menetapkan standar global tidak bisa terwujud. Walaupun kita sudah ada forum, khususnya anggota OKI, sudah sekali untuk ditetapkan standar halal yang sama. Karena itu, perlu ada saling pengakuan, MoU dan MRA.
Sejauh ini, bagaimana pembicaraan dengan negara-negara lain soal MoU dan MRA ini?
Itu makanya dalam menyepakati kerja sama memang alot. Kita juga ada yang berpendapat perlu memproteksi pelaku usaha yang di sini. Jangan sampai tahun 2024, banjir produk halal dari luar. Setelah MoU dan (produk) dari 44 negara masuk semua, bisa gulung tikar. Makanya, proteksinya, kita gencarkan Sehati (Sertifikasi Halal Gratis), secepatnya. Satu tahun ini, targetnya 1 juga sertifikasi halal dari anggaran BPJPH. Belum lagi, kita konsolidasi dari kementerian, lembaga, pemda, BUMN, swasta, dan UMKM, mereka juga memfasilitasi. fw bahtiar
Bagi pelaku usaha kelas menengah atas, pengurusan sertifikat halal ini mungkin bukan masalah. Sebab, mereka memiliki sistem, pengetahuan, dan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, serta target pasar yang lebih luas lagi.
BPJPH memiliki tantangan untuk menarik para pelaku usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar mengurus sertifikasi halalnya. Apalagi pemerintah punya target 10 juta produk UMKM sudah tersertifikasi halal.
(Baca juga:BPJPH Tegaskan Sertifikasi Halal Bukan Sekadar Formalitas Administratif)
Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham mengatakan pihaknya bekerja sama dengan kementerian, lembaga, pemerintah daerah (pemda), dan badan usaha milik negara (BUMN) dalam rangka mengedukasi dan memfasilitasi para pelaku UMKM untuk mendapatkan sertifikat halal. Masalahnya, pelaku UMKM masih belum menganggap sertifikat halal ini sesuatu yang penting dan bisa meningkatkan penjualan di masa yang akan datang.
Secara perlahan, BPJPH merancang berbagai program untuk menarik UMKM, salah satunya, Sertifikasi Halal Gratis (Sehati). BPJPH pun memberikan pendampingan kepada mereka dalam pengurusannya. Selain itu, berupaya keras merombak mindset para aparatur sipil (ASN) di lingkungan BPJPH dari yang birokratis ke korporatis dalam memberikan layanan kepada publik.
Hasilnya, BPJPH sebagai badan layanan umum (BLU) di era kepemimpinannya pecah telur dalam hal pemasukan. Aqil Irham memulai memimpin BPJPH pada Oktober 2021. Akhir tahun 2021, BPJPH mendapatkan pemasukan pertama dengan total Rp14 juta. Setahun kemudian, pendapatannya mencapai Rp36,8 miliar.“BPJPH harus melakukan pelayanan publik terdepan. Pelayanan publik yang berkualitas dan pelayanan publik yang prima,” ujarnya.
Untuk mengetahui lebih jauh rencana BPJPH ke depan berikut wawancara KORAN SINDO dan Sindonews.com dengan Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham beberapa waktu lalu.
Apa yang Anda lakukan saat pertama kali memimpin BPJPH?
Yang saya lakukan pertama kali, yakni konsolidasi struktural, kelembagaan, dan sumber daya manusia (SDM) karena itu adalah modal penting untuk kita bekerja. Kita lihat dulu dari aspek kelembagaannya gimana, SDM-nya seperti apa, struktur sudah kuat atau belum, regulasi, dan seterusnya. Lalu, saya tahu persis sebelum masuk ke sini bahwa BPJPH ini disebutkan dalam UU sebagai Satker BLU. Artinya, bahwa BPJPH harus melakukan pelayanan publik terdepan. Pelayanan publik yang berkualitas dan pelayanan publik yang prima. Jadi karena itu maksud dan tujuan didirikan BPJPH itu sebagai BLU. Pelayanan di bidang apa? Pelayanan administrasi sertifikasi halal.
Siapa saja yang dilayani? Publiknya siapa? Konsumen dan produsen. Produsen itu adalah dunia industri dan pelaku UMKM. Kemudian memberikan perlindungan kepada konsumen akan hak-hak mereka dalam mengonsumsi produk-produk. Itu adalah target kita dalam pelayanan publik. Pelayanan publik itu pada akhirnya akan beriringan dengan pendapatan BLU. BLU itu memang diberikan kewenangan untuk memperoleh pendapatan. Semakin optimal pelayanan kita, maka masyarakat percaya dan pendapatan bisa meningkat.
Bagaimana caranya membuat pelayanan publik yang prima?
Yang pertama kali itu melakukan perubahan, yakni mengubah mindset PNS dan ASN di BPJPH dari pola berpikir dan bekerja yang birokratis menjadi pola pikir dan cara kerja bahkan gayanya lebih kepada korporasi. Karena kita sebagai BLU, maka cara kerja perusahaan, saya kira yang lebih compatible dengan pelayanan-pelayanan itu. Itu yang kita lakukan perubahan di sini. Kemudian, hasil pemetaan aspek kelembagaan, struktural, dan SDM memang belum begitu kuat untuk kita berlari cepat.
Kenapa tak bisa berlari cepat?
BPJPH baru didirikan pada tahun 2017. Lalu, konsolidasi regulasi juga masih diadakan perbaikan-perbaikan. Kita tahu sebelumnya ada judicial review dari berbagai pihak. Kemudian, melengkapi regulasi. Saya kira itu memang bisa dipahami dan butuh waktu juga. Dari sisi SDM-nya, karena lembaga baru jadi orangnya diimpor dari mana-mana. Jadi belum begitu kuat. Akhirnya, saya minta bantuan ke berbagai pihak. Saya datang ke kementerian BUMN untuk meminta bantuan SDM. Karena BPJPH belum punya pendapatan, enggak mungkin digaji karena dia bukan ASN di BPJPH. Nanti gajinya tetap dari daerah asalnya tapi mereka bekerja di sini.
Apa posisi untuk SDM dari luar BPJPH ini?
Kita minta bidang pelayanan marketing, finance, dan aspek sosial media, dan digitalisasi. Tapi memang waktu itu belum dipenuhi karena mereka membutuhkan juga. (Akhirnya), Saya datang ke Kemendikbud. Saya minta mahasiswa magang. Waktu itu Pak Dirjen Prof Nizam. Waktu itu sudah tidak ada lagi program Mahasiswa Magang Bersertifikat. Saya jelaskan ini untuk kepentingan target sertifikasi halal UMKM 10 juta, perlu back up semua kementerian dan lembaga. Akhirnya, saya dibantu hampir 100 orang mahasiswa yang kita rekrut secara terbuka oleh BPJPH melalui penganggaran mereka. Jadi mahasiswa magang diberikan honor bulanan. Jadi mereka membenahi akuntansi, konten medsos, mempercantik website, Instagram. Lalu membantu pekerjaan di sini dengan melakukan verifikasi dan validasi.
Berapa produk yang sudah mendapatkan sertifikat halal?
Berdasarkan data, sertifikat halal yang keluar dari MUI pada periode 2012-2018 itu produk yang sudah bersertifikat halal berjumlah 668.000. Jadi, selama enam tahun trennya 100 ribuan per tahun. BPJPH baru 2019-2022, sertifikat yang sudah dikeluarkan 1 juta lebih. Jadi, peningkatan 3-4 kali lipat dari yang sebelumnya. Namun, karena ekspektasi publik begitu besar. Pemerintah ingin mengejar target yang besar, yakni 10 juta pada tahun 2024, maka capaian 1 juta ini belum seberapanya dengan 10 juta, apalagi dengan jumlah UMKM yang mencapai 74 juta.
Strategi untuk mencapai target tersebut?
Kita melakukan sinergi dan kolaborasi dengan seluruh stakeholder mitra strategis BPJPH. Siapa saja? Ormas Islam, perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS), baik yang perguruan tinggi di lingkungan Kementerian Agama maupun yang di luar. Itu sudah cukup baik. Kita sudah punya 156 mitra strategis di kalangan yang disebutkan tadi. Mereka sudah teregistrasi sebagai lembaga pendamping proses sertifikasi halal. Kita juga bersinergi dengan kampus-kampus dalam hal pusat studi halal atau halal center, seperti UI, IPB, dan UGM. Kita juga berkomunikasi dengan asosiasi pelaku usaha, seperti makanan dan minuman, kosmetik, dan obat-obatan. Kita menggagas kegiatan bersama, termasuk dengan e-commerce.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengurus sertifikat halal?
Layanan BPJPH walaupun belum ideal, itu 21 hari kerja untuk sertifikat. Kalau lihat tren dari 2019 itu 360 hari. Turun jadi 200 hari (2020). Turun lagi menjadi 80 hari dan sekarang 40 hari. Yang (bisa mendapatkan) 21 hari sudah 37%. Itu kenapa bisa? Karena kita menerapkan digitalisasi layanan dan integrasi. Kemarin, lembaga pemeriksa halal (LPH) punya layanan masing-masing. Pelaku usaha daftar ke sana. Selesai di sana, balik ke BPJPH dan daftarnya pakai fotokopi dan bawa berkas. Saya ingat 22 Januari 2022, kita menandatangani komitmen bersama untuk melayani integrasi layanan digital. Itu cukup satu pintu lewat BPJPH. Nanti prosesnya melalui Si-Halal. Ini yang ikut berkontribusi mempercepat sertifikat halal.
Kenapa semua belum bisa dilayani 21 hari?
Karena belum terintegrasi dengan Komisi Fatwa MUI. Saat ini terus-menerus dilakukan pembicaraan-pembicaraan. MUI-nya belum masuk di dalam sistem. Kita akan terus upayakan agar masuk dalam sistem. Kalau MUI-nya sidang, (lalu produk) ini ditetapkan halal, langsung masuk sistem.
Jumlah LPH sudah 40, apakah ini akan semakin mempercepat layanan?
Kita bikin LPH tersebar ke seluruh daerah supaya pelayanan pelaku usaha di daerah bisa dilayani oleh mereka. Kalau LPH-nya sudah terdesentralisasi di daerah, komisi fatwa di daerah, dan pelaku usaha di daerah, maka layanan makin mantap. Bisa lebih mudah, cepat, dan murah. Murah itu karena transportasinya dekat, akomodasi jadi tidak ada atau tidak mahal. Yang auditor halal mau datang enggak membutuhkan biaya transportasi.
Bagaimana proses sertifikasi dan ekosistem halal Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain?
Saya tahu Malaysia hampir satu dekade ini menang terus di semua sektor halal, seperti makanan dan minuman, fashion, kosmetik, dan semuanya. Saya nanya kok Malaysia bisa begitu? Mereka punya 360 organisasi yang bergerak dalam penguatan ekosistem halal. Itu dari pemerintah maupun private, termasuk perguruan tinggi dan sekolah-sekolah. Dari taman kanak-kanak (TK), mereka sudah ada kurikulum halal. (Contohnya) Ada gambar, ini yang boleh dimakan (karena) ini halal. Ini tidak halal.
Apakah ini mempengaruhi tingkat sertifikasi halal di sana?
Anehnya, ekosistem halal sudah cukup kuat, tapi capaian sertifikasi halalnya belum sampai 10%. Saya tanya kenapa? Pertama, di sana belum mandatory seperti kita. Mereka masih voluntary. Kedua, dunia industrinya masih belum menganggap sertifikat halal punya kontribusi signifikan dalam bisnisnya.
Banyak negara yang penduduk nonmuslimnya bukan mayoritas tapi sangat konsen dengan sertifikasi halal ini. Apa pendapat Anda?
Saya agak surprise ketika menerima 106 lembaga halal luar negeri dari 44 negara. Kemarin, kita undang di acara H20 di Semarang. Yang membuat kaget, sebagian besar negara-negara itu nonmuslim, muslimnya minoritas, dan sekuler. Mereka seperti pelaku usaha menengah besar di Indonesia yang menganggap halal bukan hanya soal isu agama. Akan tetapi, itu isu dunia industri, ekonomi, branding image perusahaan, dan nilai tambah. Kompetisi perusahaan dengan branding image itu memberikan produknya nilai tambah dan profit bisa lebih tinggi untuk mereka berjualan di komunitas masyarakat mayoritas muslim, seperti Indonesia dan negara-negara Timur Tengah. Itu yang membuat mereka mau ikut sertifikasi halal. Di samping itu, karena produknya tidak bisa masuk ke Indonesia kalau belum bersertifikat halal.
Itu berlaku untuk semua?
Baik domestik maupun global nanti tertahan di bea cukai. Enggak bisa masuk kalau enggak bersertifikat halal. Boleh masuk kalau mereka sudah ada tanda tangan Memorandum of Understanding (MoU) dan Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan BPJPH.
Sudah disosialisasikan ke semuanya?
Makanya, asesor kita ke daerah-daerah dan beberapa negara untuk melakukan penilaian kesesuaian standar halal yang ditetapkan di sana dengan di sini. Kalau matching, kita tanda tangan. Kamu boleh masuk, tinggal registrasi. Kamu boleh bikin sertifikat, tapi di sini registrasinya.
Apakah sudah ada standar halal secara global, misalnya agar produk Indonesia bisa masuk ke Timur Tengah?
Sebenarnya bukan semata-semata standarisasi produknya, tapi kualitas, kontinuitas produknya bila diekspor ke sana, dan volumenya. Itu yang menjadi pertimbangan Saudi Food and Drug Authority. Misalnya, kenapa ikan patin kita kalah dengan Vietnam dan Filipina karena standarnya beda, ukuran, kualitas, dan kontinuitas. Orang ingin kalau dikirim enggak putus-putus, rutin. Jangan dikirim dua kali sudah enggak ada stok lagi. Dengan SFDA, sedang finalisasi MoU. Memang rasanya untuk menetapkan standar global tidak bisa terwujud. Walaupun kita sudah ada forum, khususnya anggota OKI, sudah sekali untuk ditetapkan standar halal yang sama. Karena itu, perlu ada saling pengakuan, MoU dan MRA.
Sejauh ini, bagaimana pembicaraan dengan negara-negara lain soal MoU dan MRA ini?
Itu makanya dalam menyepakati kerja sama memang alot. Kita juga ada yang berpendapat perlu memproteksi pelaku usaha yang di sini. Jangan sampai tahun 2024, banjir produk halal dari luar. Setelah MoU dan (produk) dari 44 negara masuk semua, bisa gulung tikar. Makanya, proteksinya, kita gencarkan Sehati (Sertifikasi Halal Gratis), secepatnya. Satu tahun ini, targetnya 1 juga sertifikasi halal dari anggaran BPJPH. Belum lagi, kita konsolidasi dari kementerian, lembaga, pemda, BUMN, swasta, dan UMKM, mereka juga memfasilitasi. fw bahtiar
(dar)