Jumlah Saham Dilepas Kecil, Legislator Jamin IPO PGE Bukan Privatisasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Proses penawaran perdana saham atau initial public offering ( IPO ) PT Pertamina Geothermal Energy ( PEG) disambut positif oleh Anggota Komisi VII DPR Mukhtarudin. Menurutnya, IPO merupakan upaya mendapatkan pendanaan yang lebih murah, tanpa membebani APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan bahkan tidak memiliki kewajiban membayar pinjaman.
Terpenting lanjut Mukhtarudin, IPO PGE sama sekali bukan upaya privatisasi dan mengganti kepemilikan dari Pertamina kepada swasta atau asing.
“Siapa bilang IPO PT Pertamina Geothermal Energy merupakan privatisasi? Siapa bilang berganti kepemilikan? Berdasarkan pengawasan kami di Komisi VII, kami tegaskan, sama sekali tidak,” kata Mukhtarudin kepada media, Selasa (21/2/2023).
Menurut Mukhtarudin, jumlah saham yang dilepas kepada investor sangat kecil, hanya 25%. Dengan demikian, kendali kebijakan perusahaan tetap berada di bawah Pertamina. “Kami di Komisi VII terus memantau proses tersebut. Hendaknya publik tidak terhasut atau terprovokasi dengan berbagai pendapat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tersebut,” kata dia.
Sebaliknya, lanjut Mukhtarudin, justru banyak manfaat diperoleh melalui IPO. Melalui pendanaan lewat IPO, PGE semakin lincah dan leluasa mengembangkan bisnis. Kondisi ini penting, sejalan dengan rencana pemerintah untuk menambah pasokan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 7 GW pada 2030.
Karena seperti diketahui, saat ini PGE mengoperasikan 672 MW secara Own Operation dan 1205 MW melalui Joint Operation Contract (JOC). Padahal, PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang yang dikelola langsung PGE menjadi 1.272MW pada 2027. “Lewat pendanaan IPO itulah, PGE akan leluasa berinvestasi,” ujarnya.
Pendanaan melalui IPO, menurut Mukhtarudin memang sangat dibutuhkan. Pasalnya, investasi geothermal memang butuh dana cukup besar. “Contohnya sekarang, untuk mengembangkan 100 MW, PGE membutuhkan USD500 juta,” kata Mukhtarudin.
Memang, PGE bisa memperoleh dana dari lembaga pinjaman berbunga murah. Tetapi jangan lupa, bahwa perusahaan wajib membayar pinjaman setiap tahun. “Beda kan dengan IPO? Melalui IPO, untung atau rugi bisa di-share ke pemegang saham,” jelasnya.
Mukhtarudin juga mengingatkan, banyak perusahaan energi mancanegara masuk ke bursa saham. Di Asia Tenggara, misalnya, PTT Public Co., LTD melakukan IPO pada 2001. Dan nyatanya, Pemerintah Thailand masih memegang saham sebesar 51,1%.
Contoh lain, Saudi Aramco milik Pemerintah Arab Saudi. Perusahaan minyak raksasa tersebut, jelas Mukhtarudin, IPO pada 2019 dan memperoleh dana USD25,6 miliar. Pemerintah Arab Saudi pun masih memegang saham mayoritas yaitu 98,5%.
“Perusahaan energi internasional sangat paham dengan manfaat IPO. Di satu sisi mereka memperoleh dana investasi, dan di sisi lain perusahaan tetap milik Pemerintah masing-masing. PGE pun sekarang sedang melangkah ke sana. Tidak hanya untuk mendapatkan dana investasi, namun juga agar lebih transparan dan memiliki tata kelola yang lebih baik. Jadi, selayaknya kita dukung. Tak ada yang harus dipersoalkan,” pungkas Mukhtarudin.
Terpenting lanjut Mukhtarudin, IPO PGE sama sekali bukan upaya privatisasi dan mengganti kepemilikan dari Pertamina kepada swasta atau asing.
“Siapa bilang IPO PT Pertamina Geothermal Energy merupakan privatisasi? Siapa bilang berganti kepemilikan? Berdasarkan pengawasan kami di Komisi VII, kami tegaskan, sama sekali tidak,” kata Mukhtarudin kepada media, Selasa (21/2/2023).
Menurut Mukhtarudin, jumlah saham yang dilepas kepada investor sangat kecil, hanya 25%. Dengan demikian, kendali kebijakan perusahaan tetap berada di bawah Pertamina. “Kami di Komisi VII terus memantau proses tersebut. Hendaknya publik tidak terhasut atau terprovokasi dengan berbagai pendapat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tersebut,” kata dia.
Sebaliknya, lanjut Mukhtarudin, justru banyak manfaat diperoleh melalui IPO. Melalui pendanaan lewat IPO, PGE semakin lincah dan leluasa mengembangkan bisnis. Kondisi ini penting, sejalan dengan rencana pemerintah untuk menambah pasokan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 7 GW pada 2030.
Karena seperti diketahui, saat ini PGE mengoperasikan 672 MW secara Own Operation dan 1205 MW melalui Joint Operation Contract (JOC). Padahal, PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang yang dikelola langsung PGE menjadi 1.272MW pada 2027. “Lewat pendanaan IPO itulah, PGE akan leluasa berinvestasi,” ujarnya.
Pendanaan melalui IPO, menurut Mukhtarudin memang sangat dibutuhkan. Pasalnya, investasi geothermal memang butuh dana cukup besar. “Contohnya sekarang, untuk mengembangkan 100 MW, PGE membutuhkan USD500 juta,” kata Mukhtarudin.
Memang, PGE bisa memperoleh dana dari lembaga pinjaman berbunga murah. Tetapi jangan lupa, bahwa perusahaan wajib membayar pinjaman setiap tahun. “Beda kan dengan IPO? Melalui IPO, untung atau rugi bisa di-share ke pemegang saham,” jelasnya.
Mukhtarudin juga mengingatkan, banyak perusahaan energi mancanegara masuk ke bursa saham. Di Asia Tenggara, misalnya, PTT Public Co., LTD melakukan IPO pada 2001. Dan nyatanya, Pemerintah Thailand masih memegang saham sebesar 51,1%.
Contoh lain, Saudi Aramco milik Pemerintah Arab Saudi. Perusahaan minyak raksasa tersebut, jelas Mukhtarudin, IPO pada 2019 dan memperoleh dana USD25,6 miliar. Pemerintah Arab Saudi pun masih memegang saham mayoritas yaitu 98,5%.
“Perusahaan energi internasional sangat paham dengan manfaat IPO. Di satu sisi mereka memperoleh dana investasi, dan di sisi lain perusahaan tetap milik Pemerintah masing-masing. PGE pun sekarang sedang melangkah ke sana. Tidak hanya untuk mendapatkan dana investasi, namun juga agar lebih transparan dan memiliki tata kelola yang lebih baik. Jadi, selayaknya kita dukung. Tak ada yang harus dipersoalkan,” pungkas Mukhtarudin.
(akr)