800 Kapal Menganggur, Biaya Parkir Membengkak

Rabu, 05 Agustus 2015 - 05:01 WIB
800 Kapal Menganggur, Biaya Parkir Membengkak
800 Kapal Menganggur, Biaya Parkir Membengkak
A A A
JAKARTA - Sekitar 800 kapal di Pelabuhan Samarinda, Kawasan Sungai Mahakam menganggur menyebabkan para pemilik kapal menangguk kerugian besar karena biaya parkir dan operasional.

Ketua Penasihat DPP Indonesia National Shipowner Association (INSA) Johnson W Sutjipto mengungkapkan, masalah tersebut akibat lesunya perdagangan antar kapal.

“Kapal lesu mengantar barang banyak disebabkan kebijakan pemerintah, saya kira harus sinkron dengan kalangan usaha pelayaran. Misalnya, kebijakan mineral batu bara yang mengharuskan ekspor harus dalam bentuk smelter. Kalau menunggu smelter, butuh percepatan, sementara pemilik kapal yang nganggur harus membayar cost meski kapal tak ada muatan,” ujarnya di Jakarta, kemarin.

Menurut Johnson, banyaknya kegiatan yang berkaitan dengan pertambangan memberikan efek yang besar bagi kalangan usaha pelayaran. Di sisi lain, insentif pemerintah terhadap bidang usaha pelayaran belum bersahabat.

“Target pendapatan oleh pemerintah dibebankan meningkat. Sementara, pemasukan juga minim. Saya ambil contoh yang ada di kawasan Sungai Mahakam, ada berates-ratus kapal yang menganggur di sana karena taka da muatan,” terangnya.

Dia menjelaskan bahwa kapal-kapal di Indonesia merupakan aset yang berharga dan harus dilihat sebagai aset nasional. Banyaknya aturan yang mewajibkan kapal harus berbendera Indonesia juga belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Alasannya kapal berbendera Indonesia dari sisi biaya dianggap masih lebih mahal dibandingkan kapal dari luar negeri.

“Saya kira masih ada peraturan yang belum sepenuhnya berjalan. Kalau toh berjalan, belum memberikan keuntungan bagi kalangan usaha pelayaran,” terangnya. (Baca: 67 Peraturan Menteri Biang Masalah Dwelling Time)

Sebagai informasi, pada 2005 pelayaran nasional memasuki masa-masa menguntungkan. Sekitar 50% angkutan laut dalam negeri dikuasai kapal asing hingga terbitnya Intruksi Presiden No 5 tahun 2005 tentang pemberdayaan industri pelayaran nasional. “Masa-masa itu, hanya berjalan kurang lebih 10 tahun. Kini mundur lagi,” paparnya.

Masalah-masalah tersebut mengakibatkan industri pelayaran makin lemah, iklim investasi memburuk ditambah dengan defisit pelaut, kurangnya permodalan usaha pelayaran, belum banyaknya asuransi perkapalan, kurangnya pembiayaan kemaritiman, serta ketidakpastian biaya dan lahirnya kebijakan sektoral yang tak mendukung program pemberdayaan industri pelayaran nasional.

“Ini semua harus dibicarakan ulang bersama pemerintah. Duduk bersama mencari solusi. Kalau begini terus, bisa makin buruk,” tandas Johnson.

Terpisah Ketua Umum, Ikatan Perusahaan Kapal Nasional dan Lepas pantai Indonesia (Iperindo) Eddy Kurniawan Logam mengatakan, kondisi kapal sandar karena tak punya muatan otomatis merugikan dari sisi operasional.

“Itu sudah pasti keluar biaya kalau kapal hanya parkir. Bukan hanya dari biaya perawatan namun juga biaya parkir maupun awak kapal. Itu belum ditambah kalau pemilik kapal punya cicilan kepada perbankan, ada bunga yang harus dia bayarkan,” bebernya.

Menurut Eddy, pemerintah harus merespon masalah tersebut, melalui sektor kebijakan. Di sisi lain, bagi industri galangan, meski kondisi global sedang sulit, usaha galangan masih diselamatkan melalui order kapal pemerintah.

“Kalau usaha galangan masih diselamatkan dari adanya order kapal pemerintah yang merencanakan pembuatan kapal di dalam negeri. Meski kita juga masih menunggu hal-hal yang kita perjuangkan dan belum terwujud saat ini, seperti bebas PPN maupun bea masuk untuk komponen impor," pungkasnya.

Baca juga:

INSA: Pemerintah Tak Berpihak Pengusaha Kapal Nasional

Pengusaha Galangan Kapal Tagih Janji Insentif Fiskal

Indonesia Tidak Punya Lagi Penopang Ekonomi Kuat
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9470 seconds (0.1#10.140)