Peluang Emas dari Krisis Finansial

Senin, 19 Oktober 2015 - 06:58 WIB
Peluang Emas dari Krisis Finansial
Peluang Emas dari Krisis Finansial
A A A
MENDENGAR kata krisis finansial atau krisis moneter, langsung terbayang 1998. Ini adalah salah satu tahun paling susah bagi masyarakat Indonesia yang penghasilannya dalam rupiah.

Saat itu, nilai rupiah terjun bebas dari Rp2.300 per dolar AS (Oktober 1997) menjadi Rp15.000 per dolar AS (1998), menyulut inflasi hingga 78%. Saya masih ingat bagaimana produk-produk yang dijual di supermarket berganti harga menjadi 2-5 kali lipat. Pasangan muda berebutan memborong susu untuk balita mereka karena harga naik terus dan persediaan makin tipis.

Para pengusaha pusing tujuh keliling karena harga bahan baku, yang sebagian besar impor, meroket. Wajah para importir yang pucat pasi, pasrah karena utang mereka yang dalam dolar AS tidak mungkin terbayar meski harus menjual semua asetnya. Bagaimana dengan nasib para investor saham? Segendang sepenarian dengan para pengusaha di sektor riil. Indeks harga saham gabungan (IHSG) turun dari 740 (8 Juli 1997) menjadi 274 (29 Juli 1998), membuat investor saham kehilangan sekitar 63% dari nilai sahamnya.

Mayoritas dari 282 perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta saat itu boleh dibilang "technically bankrupt". Artinya, jika saat itu seluruh aset perusahaan tersebut dijual, tidak cukup untuk membayar utangnya yang sebagian besar dalam dolar AS. Ketika jumlah utang melebihi jumlah aset perusahaan, modal sendiri (ekuitas) menjadi negatif. Sebagian besar saham harganya sudah tinggal puluhan rupiah, mirip dengan kertas pembungkus kacang. Saham-saham ini disebut saham lotre karena mirip seperti membeli lotre.

Jika perusahaan tersebut bisa selamat dari krisis finansial, harga sahamnya akan melejit berlipat-lipat. Nah, di sinilah krisis finansial menawarkan peluang. Syahdan, ada seorang investor saham bernama Lo Kheng Hong, yang di kemudian hari dijuluki Warren Buffett of Indonesia. Lo Kheng Hong berasal dari keluarga yang tidak mampu. Ia bekerja di sebuah bank, mulai posisi sebagai pegawai tata usaha hingga kepala cabang. Tahun 1989, saat berusia 30 tahun, ia mulai berinvestasi saham.

Tahun 1996, ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus pada investasi saham. Maklum, berinvestasi saham butuh upaya dan kepandaian untuk menganalisis fundamental perusahaan. Sebuah keputusan yang tepat karena dua tahun kemudian terjadi krisis di bursa saham yang menawarkan peluang emas untuk kaya.

Ketika orang berbondong-bondong menjual sahamnya, akibat krismon sejak 1997 dan dipuncaki oleh kerusuhan Mei 1998, Lo Kheng Hong justru mengais- ais tumpukan saham lotre, mencari saham bagus yang dibuang oleh para investor saham yang super duper panik. Di antara tumpukan saham lotre tersebut terselip saham bagus PT United Tractor Tbk (UNTR). UNTR adalah distributor utama alat-alat berat merek Komatsu di Indonesia.

Kini usahanya merambah ke pertambangan dan perkebunan. Lo Kheng Hong membeli saham UNTR pada 1998 saat harganya Rp250 per saham. Ia menjualnya enam tahun kemudian pada harga setara Rp15.000, menikmati keuntungan 5.900%! Atau rata-rata hampir 100% setahun dalam jangka waktu enam tahun. Lo Kheng Hong menginvestasikan Rp1,5 miliar untuk membeli 6 juta saham UNTR. Enam tahun kemudian, dia memperoleh Rp90 miliar dari penjualan saham tersebut.

Bagaimana Lo Kheng Hong menemukan UNTR? Apakah karena sekadar faktor keberuntungan, atau hasil dari sebuah analisis fundamental yang cerdas? Lo Kheng Hong menjelaskan kronologi pembelian saham UNTR tersebut kepada mahasiswa kelas investasi yang saya asuh di Prasetiya Mulya. Total aset UNTR pada akhir 1998 adalah Rp3,8 triliun dengan jumlah saham beredar sebanyak 138 juta.

Pada harga pasar Rp250 per saham, total nilai pasar ekuitas (kapitalisasi pasar) UNTR adalah hanya Rp34,5 miliar! Padahal selama 1998, pendapatan UNTR mencapai Rp3,6 triliun, dan laba usahanya adalah Rp1 triliun. Namun, akibat naiknya nilai dolar AS, UNTR menderita kerugian kurs Rp1,7 triliun. Ditambah beban bunga Rp0,4 triliun, maka UNTR menderita kerugian sebelum pajak Rp1,1 triliun.

Bagi Lo Kheng Hong, UNTR adalah perusahaan bagus karena secara operasional perusahaan ini masih membukukan laba yang sangat besar. Kalaupun ada kerugian, ini akibat kenaikan drastis dolar AS yang terjadi tidak setiap tahun. Jika kondisi ekonomi pulih, pasti harga saham UNTR akan meroket. Selain itu, UNTR dianggap memiliki manajemen yang profesional dan etis. Krisis finansial 1998 telah melambungkan kekayaan Lo Kheng Hong.

Kuncinya, ia memiliki kompetensi untuk menganalisis fundamental perusahaan serta berani mengambil risiko/tindakan dengan membeli saham UNTR saat investor lain panik menjuali sahamnya. Saat bursa saham Indonesia sedang terpuruk seperti saat ini, siapkah Anda menemukan peluang emas di depan gawang bursa saham, dan sekaligus menggolkannya?

Lukas Setia Atmaja
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3756 seconds (0.1#10.140)