China Hadapi Krisis Populasi, Mayoritas Wanitanya Ogah Punya Anak

Senin, 17 April 2023 - 05:55 WIB
loading...
China Hadapi Krisis...
China menghadapi krisis populasi yang sebagian besar disebabkan karena wanita mereka lebih banyak memilih fokus ke karier dan mencapai target pribadinya daripada mulai membangun keluarga. Foto/Dok Reuters
A A A
JAKARTA - China menghadapi krisis populasi yang sebagian besar disebabkan karena wanita mereka lebih banyak memilih fokus ke karier dan mencapai target pribadinya daripada mulai membangun keluarga. Bergulat dengan populasi yang sudah menua, hingga bahkan kini disusul India sebagai negara terpadat di dunia.



China terus berusaha untuk meningkatkan tingkat angka kelahiran nya. Pemerintah China sudah menghapus kebijakan satu anak pada tahun 2016 dan menghapus batas persalinan pada tahun 2021. Namun, pasangan yang sudah menikah memiliki lebih sedikit anak atau memilih untuk tidak memiliki anak sama sekali.

Hal itu disampaikan oleh Asisten profesor di departemen sosiologi dan antropologi di National University of Singapore, Mu Zheng seperti dikutip dari CNBC.

"Covid terus diterpa sentimen negatif hingga memicu ketidakpastian secara keseluruhan terhadap masa depan mereka. Ada rasa tidak berdaya yang melarang banyak wanita ingin memiliki anak," kata Mu.



Lonjakan biaya hidup juga menjadi faktor yang mengarahkan lebih banyak orang menjauh dari keinginan untuk memperluas keluarga mereka.

Biro Statistik Nasional China melaporkan, bahwa populasi mengalami penurunan menjadi 1,412 miliar tahun lalu dari 1,413 miliar pada 2021. Tingkat pertumbuhan alami berada dalam jalur negatif untuk pertama kalinya sejak 1960, menurut data Wind.

Karir dan Kebebasan Tetap Jadi Prioritas

China memiliki populasi ibu yang lebih besar dalam angkatan kerja dibandingkan dengan negara-negara di Barat, disampaikan oleh Andy Xie, seorang ekonom independen.

"Ada keinginan untuk berkarier di China, namun menjadi ibu rumah tangga tidak pernah menjadi tujuan. Hal itu bahkan tidak muncul di radar (pikiran) bagi kebanyakan wanita," kata Xie.

Karena semakin banyak wanita yang mencapai kualifikasi lebih tinggi dan naik pangkat di tempat kerja, membuat mereka mengharapkan suami mereka berpenghasilan lebih dari mereka, menurut Xie.

Pada tahun 2020, siswa perempuan menyumbang hampir 42% dari pendaftaran gelar doktor, dan jumlah wanita yang terdaftar untuk gelar master secara signifikan lebih tinggi daripada pria, seperti diperlihatkan data Statista.

"Pria menghadapi beban yang luar biasa karena wanita akan menuntut keamanan finansial dari mereka," dan pada gilirannya juga tidak ingin menikah, menurut Xie yang mengatakan bahwa "orang dulu dikritik karena lajang, tetapi kini tidak ada stigma sosial terhadapnya lagi."

Awen, seorang desainer freelance berusia 31 tahun dari Shenzhen mengatakan, dia senang menjadi jomblo hingga sekarang. Semua wanita yang berbagi pengalaman pribadi mereka untuk cerita ini hanya nyaman menyampaikan indentitas mereka sebatas nama depan saja.

"Menabung dan fokus pada karir adalah prioritas saya sekarang, saya sudah merasa sangat lelah setelah bekerja, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan orang tua dengan anak-anak," ungkapnya.

Dia mengatakan, sebagian besar suami di China sering tidak memainkan peran penting dalam pengasuhan anak, dan beban jatuh sepenuhnya pada ibu.

"Banyak wanita tidak ingin menikah karena pekerjaan rumah tangga dan tugas mengasuh anak akan jatuh jadi tanggung jawab mereka," kata Awen.

"Jadi jika wanita merasa bahwa mereka perlu melakukan pekerjaan rumah tangga, mendapatkan uang, dan melakukan semuanya sendiri, mengapa tidak sendirian saja?"

"Orang tua saya ingin garis keturunan kami tetap hidup, jadi itu berarti memiliki banyak anak dan cucu," kata Awen.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1848 seconds (0.1#10.140)