Optimalisasi Pemanfaatan Gas Penting di Masa Transisi Energi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gejolak geopolitik dipastikan berpengaruh terhadap komoditi energi, khususnya minyak dan gas (migas) di dalam negeri. Terkait dengan itu, perlu ada persiapan di dalam negeri untuk menghadapi ketidakpastian global di sektor energi dengan optimalisasi pemanfaatan gas di masa transisi menuju energi baru terbarukan.
"Saat ini kita masih berputar dengan energi fosil, tapi suatu saat nanti akan ke zero emisi. Di antara fosil dan zero emisi ada di tengah-tengah itu dinamakan transisi. Energi fosil yang dampak emisi terhadap lingkungannya kecil atau minimum dalam hal ini adalah gas bumi. Maka gas menjadi pilihan yang harus kita gunakan selama masa transisi, sebelum nanti benar-benar beralih ke energi baru terbarukan," ungkap Komisaris Utama PGN Arcandra Tahar dalam keterangan tertulis, Senin (15/5/2023).
Arcandra mengatakan bahwa gas bumi juga merupakan salah satu komoditi energi yang ikut berperan dalam mendorong ketahanan ataupun kemandirian energi dalam negeri saat ini. Berbasis pada undang-undang di mana sumber daya alam (SDA) harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, pemanfaatan gas menurutnya harus diarahkan pada upaya untuk memperpanjang rantai pengolahan di dalam negeri agar kebermanfaatannya bagi masyarakat semakin besar.
"Gas dapat diolah menjadi LNG, bisa saja dalam bentuk petrochemical atau pupuk, itu rantainya sudah panjang. Apalagi petrochemical, produk turunannya semakin banyak lagi. Semakin banyak turunannya, maka harganya akan semakin tinggi dan kebermanfaatannya juga semakin tinggi. Prinsip itu yang harus kita kembangkan, sehingga lapangan kerja tercipta dan pertumbuhan ekonomi kian merata ke daerah-daerah," tandasnya.
Lebih lanjut, Arcandra mengatakan bahwa transisi energi harus dijalankan dengan mengedepankan kebijaksanaan lokal. Dia mencontohkan, Eropa gencar mengembangkan energi berbasis angin karena potensinya yang memang besar di sana. Demikian pula di Timur Tengah yang lebih banyak mengembangkan energi matahari. "Di Indonesia apa yang kita punya untuk renewable energy? Dari sisi kebijakan, pemerintah sekarang sudah memikirkan dengan matang termasuk dalam hal pemanfaatan gas di masa transisi," tuturnya.
Arcandra juga menekankan perlunya mitigasi untuk menyikapi kondisi geopolitik yang penuh dengan ketidakpastian yang berpengaruh terhadap harga komoditi energi migas. Dia mencontohkan langkah Eropa yang tengah berupaya mengubah ketergantungannya pada pasokan gas pipa dari Rusia. "Setahun belakangan ini mungkin sampai tahun depan, mereka berlomba-lomba membangun fasilitas infrastruktur agar LNG dari negara pengekspor gas bisa masuk ke Eropa," paparnya.
Di Indonesia sendiri, sambung dia, ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) masih cukup besar. Kebutuhan minyak dan produk BBM dalam negeri saat ini kira-kira 1,4 juta barel per hari. Sedangkan produksi kilang dalam negeri untuk menghasilkan BBM saat ini hanya sekitar 800 ribu barel per hari. "Hal ini menyebabkan impor BBM kita masih sekitar 600 ribu barel per hari," ungkapnya.
Menurut dia, pemerintah tentunya tahu persis bagaimana seharusnya bertindak. Sisi geopolitik dan hubungan bilateral menurutnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyikapi perpolitikan dunia. "Tentunya kita bisa mempertimbangkan kebijakan negara lain yang cocok untuk dicontoh. Seperti halnya dalam menentukan strategi-strategi transisi dengan diversifikasi usaha ataupun dekarbonisasi menuju renewable energy," tutupnya.
"Saat ini kita masih berputar dengan energi fosil, tapi suatu saat nanti akan ke zero emisi. Di antara fosil dan zero emisi ada di tengah-tengah itu dinamakan transisi. Energi fosil yang dampak emisi terhadap lingkungannya kecil atau minimum dalam hal ini adalah gas bumi. Maka gas menjadi pilihan yang harus kita gunakan selama masa transisi, sebelum nanti benar-benar beralih ke energi baru terbarukan," ungkap Komisaris Utama PGN Arcandra Tahar dalam keterangan tertulis, Senin (15/5/2023).
Arcandra mengatakan bahwa gas bumi juga merupakan salah satu komoditi energi yang ikut berperan dalam mendorong ketahanan ataupun kemandirian energi dalam negeri saat ini. Berbasis pada undang-undang di mana sumber daya alam (SDA) harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, pemanfaatan gas menurutnya harus diarahkan pada upaya untuk memperpanjang rantai pengolahan di dalam negeri agar kebermanfaatannya bagi masyarakat semakin besar.
"Gas dapat diolah menjadi LNG, bisa saja dalam bentuk petrochemical atau pupuk, itu rantainya sudah panjang. Apalagi petrochemical, produk turunannya semakin banyak lagi. Semakin banyak turunannya, maka harganya akan semakin tinggi dan kebermanfaatannya juga semakin tinggi. Prinsip itu yang harus kita kembangkan, sehingga lapangan kerja tercipta dan pertumbuhan ekonomi kian merata ke daerah-daerah," tandasnya.
Lebih lanjut, Arcandra mengatakan bahwa transisi energi harus dijalankan dengan mengedepankan kebijaksanaan lokal. Dia mencontohkan, Eropa gencar mengembangkan energi berbasis angin karena potensinya yang memang besar di sana. Demikian pula di Timur Tengah yang lebih banyak mengembangkan energi matahari. "Di Indonesia apa yang kita punya untuk renewable energy? Dari sisi kebijakan, pemerintah sekarang sudah memikirkan dengan matang termasuk dalam hal pemanfaatan gas di masa transisi," tuturnya.
Arcandra juga menekankan perlunya mitigasi untuk menyikapi kondisi geopolitik yang penuh dengan ketidakpastian yang berpengaruh terhadap harga komoditi energi migas. Dia mencontohkan langkah Eropa yang tengah berupaya mengubah ketergantungannya pada pasokan gas pipa dari Rusia. "Setahun belakangan ini mungkin sampai tahun depan, mereka berlomba-lomba membangun fasilitas infrastruktur agar LNG dari negara pengekspor gas bisa masuk ke Eropa," paparnya.
Di Indonesia sendiri, sambung dia, ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) masih cukup besar. Kebutuhan minyak dan produk BBM dalam negeri saat ini kira-kira 1,4 juta barel per hari. Sedangkan produksi kilang dalam negeri untuk menghasilkan BBM saat ini hanya sekitar 800 ribu barel per hari. "Hal ini menyebabkan impor BBM kita masih sekitar 600 ribu barel per hari," ungkapnya.
Menurut dia, pemerintah tentunya tahu persis bagaimana seharusnya bertindak. Sisi geopolitik dan hubungan bilateral menurutnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyikapi perpolitikan dunia. "Tentunya kita bisa mempertimbangkan kebijakan negara lain yang cocok untuk dicontoh. Seperti halnya dalam menentukan strategi-strategi transisi dengan diversifikasi usaha ataupun dekarbonisasi menuju renewable energy," tutupnya.
(fjo)