Sejarah Bluebird: Terilhami dari Sebuah Bemo Murah

Kamis, 01 Juni 2023 - 20:40 WIB
loading...
Sejarah Bluebird: Terilhami...
Sejarah Bluebird terilhami dari sebuah bemo. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Sejarah Bluebird terilhami dari sebuah bemo. Sebelum sang suami wafat, Mutiara Siti Fatimah beserta kedua anaknya, Purnomo Prawiro dan Chandra Suharto, mulai berbisnis telur. Usaha itu kemudian berkembang dan bisa membeli sebuah bemo murah dari Departemen Perindustrian pada 1962.



Mutiara Siti Fatimah merupakan istri dari Djokosoetono yang merupakan pakar hukum pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian dan pelopor berdirinya Universitas Indonesia. Djokosoetono pernah menjadi dekan pertama Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat UI. Djokosoetono sendiri wafat pada 6 September 1965.

Bemo yang dibeli tadi oleh Mutiara Siti Fatimah tak cuma digunakan untuk mengirim telur, tapi juga untuk menarik penumpang. Waktu itu rutenya masih di seputaran Harmoni-Kota.

Setelah Djokosoetono meninggal, Fatimah mengumpulkan ketiga anaknya yang belum selesai kuliah. Mereka adalah Purnomo, Chandra, dan Mintarsih. Fatimah mengusulkan kepada ketiga anaknya untuk menjadikan dua unit mobil sedan yang ada sebagai taksi.

Keluarga itu sepakat menjadikan dua kendaraan yang ada sebagai taksi dan menggunakan nama usaha Chandra Taksi. Nama itu sama dengan salah satu anak Fatimah. Chandra adalah orang tua dari Sigit Priawan Djokosoetono, tak lain dari bos Bluebird yang kemarin viral lantaran ikutan jadi sopir taksi. Chandra juga ayah dari Bayu Priawan Djokosoetono, komisaris Bluebird.

Untuk merintis Chandra Taksi, Purnomo dan Chandra tak hanya merekrut karyawan. Mereka juga terjun langsung untuk menjadi sopir taksi. Bisnis taksi ini awalnya dijalankan di sebuah rumah di Jalan Cokroaminoto, Jakarta, pada tahun 1965.

Model bisnis taksi yang dijalankan oleh Purnomo dan Chandra adalah dengan pesanan melalui telepon. Taksi akan segera menjemput penumpang dan mengantarkannya sampai tujuan.

Tantangan di awal menjalankan bisnis ini adalah aturan. Ali Sadikin, Gubernur Jakarta waktu itu, tengah gencar memberantas taksi gelap yang marak dan tarifnya asal tembak. Ali Sadikin kemudian mengeluarkan aturan yang menetapkan bahwa perusahaan yang bisa mendapatkan izin operasional harus memiliki minimal 100 armada. Kala itu keluarga Djokosoetono hanya memiliki 60 unit taksi sehingga izinnya ditolak oleh Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya Jakarta.

Fatimah kemudian berjuangan untuk menambah jumlah armada. Cara yang dia tempuh waktu itu adalah mencari pinjaman bank. Bank yang bersedia memberikan pinjaman adalah Bank Bumi Daya. Dengan pinjaman itu, Fatimah bisa mendapatkan izin operasional untuk perusahaan taksinya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1910 seconds (0.1#10.140)