Harmonisasi Sertifikasi Global dan Lokal Dukung Asal-usul Minyak Sawit Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Harmonisasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dapat mendukung traceability atau ketertelusuran minyak sawit Indonesia. Saat ini ada dua masalah utama dalam industri kelapa sawit Indonesia, yaitu status dan legalitas kepemilikan tanah, serta transformasi praktik petani kecil.
"RSPO, yang didirikan pada April 2004, merupakan sertifikasi berkelanjutan milik swasta untuk industri minyak sawit global. Sementara itu ISPO, yang diluncurkan pada 2011, merupakan sertifikasi pemerintah dengan dukungan kuat dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)," kata Mukhammad Faisol Amir, peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS), dalam keterangan tertulis, Jumat (2/6/2023).
Selain itu, lanjut Faisol, permasalahan lainnya meliputi adanya beberapa data yang berbeda dan perbedaan pada praktik perkebunan di Tanah Air. Petani kecil yang memiliki atau mengoperasikan hampir separuh lahan budidaya kelapa sawit di seluruh Nusantara juga memainkan peran yang sangat penting dalam transformasi industri melalui sertifikasi.
"Meskipun ISPO dan RSPO pada dasarnya memiliki pendekatan yang tidak terlalu berbeda dalam mengikutsertakan lebih banyak petani kecil dalam sertifikasi mereka, penerapannya di lapangan berbeda karena kemampuan auditor/surveyor dalam menginterpretasikan principles and criteria masing-masing," terangnya.
Faisol menilai, harmonisasi kedua skema sertifikasi ini akan memberikan ketertelusuran rantai pasokan yang komprehensif dan kuat yang akan bermanfaat bagi semua pemangku kepentingan industri (pemerintah, perusahaan, petani kecil, dan LSM) dalam memastikan keberlanjutan produk minyak sawit Indonesia.
Harmonisasi keduanya juga merupakan upaya merespons kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia di pasar ekspor, khususnya pasar Global North.
Untuk melakukannya, papar Faisol, pertama-tama kedua sertifikasi harus menyelaraskan standar mereka (principles and criteria) untuk lebih mengakomodasi dan mencerminkan peraturan Indonesia dan norma dan prinsip yang diakui secara global yang mengatur keberlanjutan minyak sawit.
Penelitian CIPS terbaru merekomendasikan, ada beberapa perubahan terhadap Permentan Nomor 38/2020 yang dapat dilakukan untuk mengakomodasi lebih banyak petani swadaya dan meningkatkan serapan mereka ke dalam sertifikasi ISPO, seperti membuat standar yang dapat disesuaikan dengan konteks lokal masing-masing daerah penghasil minyak sawit, dan membuka kemungkinan untuk harmonisasi lebih lanjut dengan standar RSPO global yang diakui di pasar minyak sawit global.
Pertama, dalam konteks legalitas lahan, pengelolaan dan kepatuhan terhadap peraturan, ISPO dapat mengikuti fleksibilitas standar RSPO dengan mengakui surat pernyataan/sumpah dari kepala desa sebagai bukti kepemilikan tanah.
Baca Juga
"RSPO, yang didirikan pada April 2004, merupakan sertifikasi berkelanjutan milik swasta untuk industri minyak sawit global. Sementara itu ISPO, yang diluncurkan pada 2011, merupakan sertifikasi pemerintah dengan dukungan kuat dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)," kata Mukhammad Faisol Amir, peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS), dalam keterangan tertulis, Jumat (2/6/2023).
Selain itu, lanjut Faisol, permasalahan lainnya meliputi adanya beberapa data yang berbeda dan perbedaan pada praktik perkebunan di Tanah Air. Petani kecil yang memiliki atau mengoperasikan hampir separuh lahan budidaya kelapa sawit di seluruh Nusantara juga memainkan peran yang sangat penting dalam transformasi industri melalui sertifikasi.
"Meskipun ISPO dan RSPO pada dasarnya memiliki pendekatan yang tidak terlalu berbeda dalam mengikutsertakan lebih banyak petani kecil dalam sertifikasi mereka, penerapannya di lapangan berbeda karena kemampuan auditor/surveyor dalam menginterpretasikan principles and criteria masing-masing," terangnya.
Faisol menilai, harmonisasi kedua skema sertifikasi ini akan memberikan ketertelusuran rantai pasokan yang komprehensif dan kuat yang akan bermanfaat bagi semua pemangku kepentingan industri (pemerintah, perusahaan, petani kecil, dan LSM) dalam memastikan keberlanjutan produk minyak sawit Indonesia.
Harmonisasi keduanya juga merupakan upaya merespons kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia di pasar ekspor, khususnya pasar Global North.
Untuk melakukannya, papar Faisol, pertama-tama kedua sertifikasi harus menyelaraskan standar mereka (principles and criteria) untuk lebih mengakomodasi dan mencerminkan peraturan Indonesia dan norma dan prinsip yang diakui secara global yang mengatur keberlanjutan minyak sawit.
Penelitian CIPS terbaru merekomendasikan, ada beberapa perubahan terhadap Permentan Nomor 38/2020 yang dapat dilakukan untuk mengakomodasi lebih banyak petani swadaya dan meningkatkan serapan mereka ke dalam sertifikasi ISPO, seperti membuat standar yang dapat disesuaikan dengan konteks lokal masing-masing daerah penghasil minyak sawit, dan membuka kemungkinan untuk harmonisasi lebih lanjut dengan standar RSPO global yang diakui di pasar minyak sawit global.
Pertama, dalam konteks legalitas lahan, pengelolaan dan kepatuhan terhadap peraturan, ISPO dapat mengikuti fleksibilitas standar RSPO dengan mengakui surat pernyataan/sumpah dari kepala desa sebagai bukti kepemilikan tanah.