Gelontorkan Rp22.500 Triliun, Separuh Jagat Berutang ke China
loading...
A
A
A
JAKARTA - Selama dua dekade terakhir, China telah menjadi pemberi pinjaman global utama, dengan klaim yang beredar utang yang diberikan China melebihi 5% dari PDB global. Hampir semua pinjaman resmi itu berasal dari pemerintah dan entitas perusahaan yang dikendalikan Beijing.
Melansir Harvard Business Review, Kamis (8/6/2023), China telah memberikan lebih banyak pinjaman ke negara-negara berkembang. Pelaporan pinjaman China yang kurang sistematis ini telah menciptakan masalah “utang tersembunyi".
"Negara-negara pengutang dan lembaga internasional sama-sama memiliki gambaran yang tidak lengkap tentang berapa banyak negara di dunia berutang kepada China dan dalam kondisi apa," tulis Harvard Business Review dalam penelitiannya yang berjudul "How Much Money Does the World Owe China?" yang dirilis pada 2020.
Secara total, China dan perusahaannya telah meminjamkan sekitar USD1,5 triliun atau Rp22.500 triliun (kurs Rp15.000) dalam bentuk pinjaman langsung dan kredit perdagangan ke lebih dari 150 negara di seluruh dunia, atau lebih dari separuh jumlah negara di dunia.
"Capaian" itu telah mengubah China menjadi kreditur resmi terbesar di dunia, bahkan melampaui pemberi pinjaman resmi tradisional seperti Bank Dunia, IMF, atau gabungan semua pemerintah kreditur OECD.
Aliran utang luar negeri China di seluruh dunia, termasuk hampir 2.000 pinjaman dan hampir 3.000 hibah sejak 1949 hingga 2017. Sebagian besar pinjaman China telah membantu membiayai investasi berskala besar di bidang infrastruktur, energi, dan pertambangan.
Hampir semua pinjaman China dilakukan oleh pemerintah dan berbagai badan usaha milik negara, seperti perusahaan publik dan bank umum. Ledakan pinjaman luar negeri China unik dibandingkan dengan arus keluar modal dari Amerika Serikat atau Eropa, yang sebagian besar didorong oleh swasta.
China cenderung meminjamkan pada persyaratan pasar, yang berarti pada suku bunga yang dekat dengan pasar modal swasta. Entitas resmi lainnya, seperti Bank Dunia, biasanya memberikan pinjaman dengan tingkat bunga lunak, di bawah pasar, dan jangka waktu yang lebih lama.
Selain itu, banyak pinjaman China yang didukung dengan agunan, artinya pembayaran utang dijamin dengan pendapatan, seperti yang berasal dari ekspor komoditas. Atau bisa juga dengan proyek-proyek yang dibantu pembangunannya.
Bahkan jaminan utang China itu dengan aset negara. Sri Lanka dan Uganda adalah dua negara yang harus merelakan asetnya diambil China lantaran tak mampu membayar utang.
Sri Lanka kehilangan pelabuhan dan bandara miliknya dan kemudian dikelola China. Infrastruktur itu diketahui mendapat pembiayaan dari China melalui bantuan utang sebesar USD1,5 miliar yang diberikan pada 2010.
Uganda, negara di Afrika Timur, dikabarkan gagal bayar utang ke China terkait pengembangan Bandara Internasional Entebbe. Akibatnya, aset tersebut diambil alih oleh China.
Melansir Harvard Business Review, Kamis (8/6/2023), China telah memberikan lebih banyak pinjaman ke negara-negara berkembang. Pelaporan pinjaman China yang kurang sistematis ini telah menciptakan masalah “utang tersembunyi".
"Negara-negara pengutang dan lembaga internasional sama-sama memiliki gambaran yang tidak lengkap tentang berapa banyak negara di dunia berutang kepada China dan dalam kondisi apa," tulis Harvard Business Review dalam penelitiannya yang berjudul "How Much Money Does the World Owe China?" yang dirilis pada 2020.
Secara total, China dan perusahaannya telah meminjamkan sekitar USD1,5 triliun atau Rp22.500 triliun (kurs Rp15.000) dalam bentuk pinjaman langsung dan kredit perdagangan ke lebih dari 150 negara di seluruh dunia, atau lebih dari separuh jumlah negara di dunia.
"Capaian" itu telah mengubah China menjadi kreditur resmi terbesar di dunia, bahkan melampaui pemberi pinjaman resmi tradisional seperti Bank Dunia, IMF, atau gabungan semua pemerintah kreditur OECD.
Aliran utang luar negeri China di seluruh dunia, termasuk hampir 2.000 pinjaman dan hampir 3.000 hibah sejak 1949 hingga 2017. Sebagian besar pinjaman China telah membantu membiayai investasi berskala besar di bidang infrastruktur, energi, dan pertambangan.
Hampir semua pinjaman China dilakukan oleh pemerintah dan berbagai badan usaha milik negara, seperti perusahaan publik dan bank umum. Ledakan pinjaman luar negeri China unik dibandingkan dengan arus keluar modal dari Amerika Serikat atau Eropa, yang sebagian besar didorong oleh swasta.
China cenderung meminjamkan pada persyaratan pasar, yang berarti pada suku bunga yang dekat dengan pasar modal swasta. Entitas resmi lainnya, seperti Bank Dunia, biasanya memberikan pinjaman dengan tingkat bunga lunak, di bawah pasar, dan jangka waktu yang lebih lama.
Selain itu, banyak pinjaman China yang didukung dengan agunan, artinya pembayaran utang dijamin dengan pendapatan, seperti yang berasal dari ekspor komoditas. Atau bisa juga dengan proyek-proyek yang dibantu pembangunannya.
Bahkan jaminan utang China itu dengan aset negara. Sri Lanka dan Uganda adalah dua negara yang harus merelakan asetnya diambil China lantaran tak mampu membayar utang.
Sri Lanka kehilangan pelabuhan dan bandara miliknya dan kemudian dikelola China. Infrastruktur itu diketahui mendapat pembiayaan dari China melalui bantuan utang sebesar USD1,5 miliar yang diberikan pada 2010.
Uganda, negara di Afrika Timur, dikabarkan gagal bayar utang ke China terkait pengembangan Bandara Internasional Entebbe. Akibatnya, aset tersebut diambil alih oleh China.
(uka)