Meneropong Kekhawatiran dan Cara Para Pemimpin Perusahaan Menghadapi Tantangan Tahun Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terlepas dari situasi ekonomi yang tidak terduga, sekitar 6 dari 10 pemimpin perusahaan di seluruh dunia memprediksi akan membukukan pertumbuhan ekonomi yang stabil atau bahkan meningkat di 2023. Namun, ketika membuat rencana kerja tahun ini, diketahui bahwa para pemimpin perusahaan di Asia paling mengkhawatirkan naiknya biaya modal dan utang, ketatnya persaingan pasar tenaga kerja, dan sulitnya menemukan tenaga kerja dengan kemampuan yang tepat.
Laporan Global Talent Trends/GTT Study 2023 pun menemukan hal serupa di antara para pemimpin perusahaan pada divisi Human Resources (HR) di Indonesia. Para pemimpin ini merupakan koresponden dari total 2.500 pemimpin HR yang mengikuti survei GTT.
Menghadapi berbagai kondisi tersebut, para pemimpin HR dari 76 perusahaan responden di Indonesia mengatakan, bahwa mereka berniat untuk merancang proses perekrutan , promosi dan manajemen talenta berdasarkan keahlian (62%), meningkatkan pengalaman karyawan sebagai modal kerja utama mereka (59%).
Lalu memperbaiki program kerja terkait tenaga kerja (57%), dan mengatur ulang tanggung jawab karyawan demi memperdalam keahlian mereka (57%) di tahun ini.
Laporan GTT mengungkap cara organisasi dalam menata ulang pekerjaan dan tempat kerja mereka, khususnya dengan mengaitkan faktor sosiopolitik dan ekonomi saat ini. Hal ini juga termasuk mengidentifikasi tren terkait keterampilan para pekerjanya supaya institusi mereka dapat berkembang di masa yang akan datang.
Temuan GTT tahun ini termasuk cakupan soal kebutuhan perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam hal pengembangan institusi berbasis keterampilan.
Bekerja Dalam Kemitraan: Menawarkan Fleksibilitas Dalam Bekerja dan Imbalan yang Berkelanjutan
Hanya 31% perusahaan di Indonesia yang mengatakan, bahwa mereka menawarkan pilihan fleksibilitas kerja bagi para karyawannya. Angka ini lebih rendah dari rata-rata koresponden global (56%). Lebih jauh lagi, 43% di antaranya tidak berencana untuk memberikan penawaran tersebut ke depannya.
Hasil tersebut berbenturan dengan ekspektasi karyawan, di mana 7 dari 10 karyawan di Asia berpendapat bahwa keuntungan dapat bekerja jarak jauh atau hybrid menjadi aspek penting bagi mereka saat menerima tawaran kerja (2022).
Sehubungan dengan adanya inflasi ekonomi, 50% perusahaan di Indonesia dibandingkan 26% perusahaan lain di Asia dan global, mengaku memanfaatkan bonus untuk meningkatkan total paket kompensasi karyawan. Perusahaan-perusahaan tersebut enggan memperbesar gaji pokok mereka demi menghindari komitmen jangka panjang.
Sementara itu dalam aspek memberikan pendapatan sebagai penyesuaian biaya hidup atau kenaikan upah, perusahaan-perusahaan Indonesia (24%) sedikit lebih baik dibanding rata-rata perusahaan lain di Asia (22%), namun masih berada di bawah rata-rata global (29%). Hal ini diyakini merupakan cara yang lebih berkelanjutan dalam mengelola kompensasi bagi organisasi.
Pemberian Kesejahteraan Secara Total: Memprioritaskan Kesejahteraan Karyawan Secara Keseluruhan
Kesejahteraan karyawan turut menjadi hal krusial supaya dapat menarik dan mempertahankan karyawan, selain memberikan gaji yang adil. Kesejahteraan tersebut meliputi kesejahteraan fisik, mental, sosial, dan finansial.
Para pengusaha di Indonesia (45%) diketahui memberlakukan karyawannya jauh lebih baik dibanding perusahaan lain di Asia (39%) terkait pertimbangan beban kerja dengan kesejahteraan bagi karyawannya, misalnya memperkenalkan sistem hari-tanpa-rapat kepada para karyawan, jadi tidak setiap hari karyawan harus mengadakan rapat.
Namun perusahaan di Indonesia tertinggal dari Asia dalam hal lain seperti menjadikan isu kesehatan mental bukanlah aib atau memalukan dan mendorong perawatan diri (36% vs 40%) serta menyediakan layanan kesehatan mental virtual saat diperlukan (14% vs 26%). Hanya 28% perusahaan di Indonesia (38% di Asia) yang telah meningkatkan aksesibilitas program bantuan karyawan hingga ke para pekerja garis depan (frontliners).
Mengedepankan Energi Kolektif: Atasi Kelelahan Karyawan Demi Mendorong Transformasi
Studi GTT tahun lalu menemukan, 8 dari 10 karyawan beresiko mengalami burnout. Sehingga, tahun ini, 96% perusahaan di Indonesia (versus rata-rata 90% di Asia) mengambil langkah menciptakan lingkungan kerja yang mementingkan pribadi tiap individu.
Salah satu strategi yang diterapkan adalah dengan membangun budaya kerja yang mengajak karyawannya untuk menjadi diri sendiri (62%), berinvestasi dalam berbagai pelatihan supaya dapat berkolaborasi secara efektif (51%), dan menata ulang pekerjaan serta proses kerja yang mempertimbangkan kesejahteraan karyawan (49%), dan masih banyak lagi.
Pada waktu yang sama, banyak perusahaan juga memprioritaskan transformasi kantornya pasca COVID-19. Para pemimpin HR di Indonesia juga menghadapi keprihatinan tersendiri dalam menyeimbangkan rencana transformasi dengan pola pikir untuk bertahan hidup (57% vs 45% rata-rata Asia) dan mewujudkan transformasi dengan anggaran yang ada (37% vs 26% rata-rata Asia).
“Perusahaan-perusahaan di Indonesia telah memberikan peluang bagi para karyawan untuk berkembang. Mereka berusaha menciptakan dan mengoptimalkan lingkungan kerja yang ideal. Hal ini perlu dilakukan secara terus menerus supaya dapat terbangun momentum kuat dalam menciptakan tenaga kerja yang aktif terlibat pada setiap kegiatan di perusahaan dan mereka menjadi terampil," ujar Director of Career Services Mercer Indonesia, Isdar Andre Marwan.
Terkait hal tersebut, Isdar melanjutkan, sebagai contoh, perusahaan dapat menerapkan lebih banyak strategi dan memberikan pengaturan kerja yang lebih fleksibel. Pengaturan tersebut dapat menjadi acuan penting untuk menarik dan mempertahankan para pekerja.
"Perusahaan pun sebaiknya berinvestasi dan berinisiatif memberikan kesejahteraan secara total serta holistik demi mempertahankan pekerja yang ada. Mereka pun dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk meningkatkan efisiensi kerja. Sehingga, keterlibatan karyawan dalam pekerjaan yang dilakukan dapat bernilai lebih tinggi," bebernya.
Laporan Global Talent Trends/GTT Study 2023 pun menemukan hal serupa di antara para pemimpin perusahaan pada divisi Human Resources (HR) di Indonesia. Para pemimpin ini merupakan koresponden dari total 2.500 pemimpin HR yang mengikuti survei GTT.
Menghadapi berbagai kondisi tersebut, para pemimpin HR dari 76 perusahaan responden di Indonesia mengatakan, bahwa mereka berniat untuk merancang proses perekrutan , promosi dan manajemen talenta berdasarkan keahlian (62%), meningkatkan pengalaman karyawan sebagai modal kerja utama mereka (59%).
Lalu memperbaiki program kerja terkait tenaga kerja (57%), dan mengatur ulang tanggung jawab karyawan demi memperdalam keahlian mereka (57%) di tahun ini.
Laporan GTT mengungkap cara organisasi dalam menata ulang pekerjaan dan tempat kerja mereka, khususnya dengan mengaitkan faktor sosiopolitik dan ekonomi saat ini. Hal ini juga termasuk mengidentifikasi tren terkait keterampilan para pekerjanya supaya institusi mereka dapat berkembang di masa yang akan datang.
Temuan GTT tahun ini termasuk cakupan soal kebutuhan perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam hal pengembangan institusi berbasis keterampilan.
Bekerja Dalam Kemitraan: Menawarkan Fleksibilitas Dalam Bekerja dan Imbalan yang Berkelanjutan
Hanya 31% perusahaan di Indonesia yang mengatakan, bahwa mereka menawarkan pilihan fleksibilitas kerja bagi para karyawannya. Angka ini lebih rendah dari rata-rata koresponden global (56%). Lebih jauh lagi, 43% di antaranya tidak berencana untuk memberikan penawaran tersebut ke depannya.
Hasil tersebut berbenturan dengan ekspektasi karyawan, di mana 7 dari 10 karyawan di Asia berpendapat bahwa keuntungan dapat bekerja jarak jauh atau hybrid menjadi aspek penting bagi mereka saat menerima tawaran kerja (2022).
Sehubungan dengan adanya inflasi ekonomi, 50% perusahaan di Indonesia dibandingkan 26% perusahaan lain di Asia dan global, mengaku memanfaatkan bonus untuk meningkatkan total paket kompensasi karyawan. Perusahaan-perusahaan tersebut enggan memperbesar gaji pokok mereka demi menghindari komitmen jangka panjang.
Sementara itu dalam aspek memberikan pendapatan sebagai penyesuaian biaya hidup atau kenaikan upah, perusahaan-perusahaan Indonesia (24%) sedikit lebih baik dibanding rata-rata perusahaan lain di Asia (22%), namun masih berada di bawah rata-rata global (29%). Hal ini diyakini merupakan cara yang lebih berkelanjutan dalam mengelola kompensasi bagi organisasi.
Pemberian Kesejahteraan Secara Total: Memprioritaskan Kesejahteraan Karyawan Secara Keseluruhan
Kesejahteraan karyawan turut menjadi hal krusial supaya dapat menarik dan mempertahankan karyawan, selain memberikan gaji yang adil. Kesejahteraan tersebut meliputi kesejahteraan fisik, mental, sosial, dan finansial.
Para pengusaha di Indonesia (45%) diketahui memberlakukan karyawannya jauh lebih baik dibanding perusahaan lain di Asia (39%) terkait pertimbangan beban kerja dengan kesejahteraan bagi karyawannya, misalnya memperkenalkan sistem hari-tanpa-rapat kepada para karyawan, jadi tidak setiap hari karyawan harus mengadakan rapat.
Namun perusahaan di Indonesia tertinggal dari Asia dalam hal lain seperti menjadikan isu kesehatan mental bukanlah aib atau memalukan dan mendorong perawatan diri (36% vs 40%) serta menyediakan layanan kesehatan mental virtual saat diperlukan (14% vs 26%). Hanya 28% perusahaan di Indonesia (38% di Asia) yang telah meningkatkan aksesibilitas program bantuan karyawan hingga ke para pekerja garis depan (frontliners).
Mengedepankan Energi Kolektif: Atasi Kelelahan Karyawan Demi Mendorong Transformasi
Studi GTT tahun lalu menemukan, 8 dari 10 karyawan beresiko mengalami burnout. Sehingga, tahun ini, 96% perusahaan di Indonesia (versus rata-rata 90% di Asia) mengambil langkah menciptakan lingkungan kerja yang mementingkan pribadi tiap individu.
Salah satu strategi yang diterapkan adalah dengan membangun budaya kerja yang mengajak karyawannya untuk menjadi diri sendiri (62%), berinvestasi dalam berbagai pelatihan supaya dapat berkolaborasi secara efektif (51%), dan menata ulang pekerjaan serta proses kerja yang mempertimbangkan kesejahteraan karyawan (49%), dan masih banyak lagi.
Pada waktu yang sama, banyak perusahaan juga memprioritaskan transformasi kantornya pasca COVID-19. Para pemimpin HR di Indonesia juga menghadapi keprihatinan tersendiri dalam menyeimbangkan rencana transformasi dengan pola pikir untuk bertahan hidup (57% vs 45% rata-rata Asia) dan mewujudkan transformasi dengan anggaran yang ada (37% vs 26% rata-rata Asia).
“Perusahaan-perusahaan di Indonesia telah memberikan peluang bagi para karyawan untuk berkembang. Mereka berusaha menciptakan dan mengoptimalkan lingkungan kerja yang ideal. Hal ini perlu dilakukan secara terus menerus supaya dapat terbangun momentum kuat dalam menciptakan tenaga kerja yang aktif terlibat pada setiap kegiatan di perusahaan dan mereka menjadi terampil," ujar Director of Career Services Mercer Indonesia, Isdar Andre Marwan.
Terkait hal tersebut, Isdar melanjutkan, sebagai contoh, perusahaan dapat menerapkan lebih banyak strategi dan memberikan pengaturan kerja yang lebih fleksibel. Pengaturan tersebut dapat menjadi acuan penting untuk menarik dan mempertahankan para pekerja.
"Perusahaan pun sebaiknya berinvestasi dan berinisiatif memberikan kesejahteraan secara total serta holistik demi mempertahankan pekerja yang ada. Mereka pun dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk meningkatkan efisiensi kerja. Sehingga, keterlibatan karyawan dalam pekerjaan yang dilakukan dapat bernilai lebih tinggi," bebernya.
(akr)