Tolak Revisi Permendag Soal Aturan Dagang Online, Ini Tuntutan Pengusaha
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE) menyampaikan tanggapan terkait Kementerian Perdagangan ( Kemendag ) yang tetap melanjutkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Perizinan Usaha Periklanan, Pembinaan, Dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Terdapat tiga tuntutan yang perlu diperhatikan dalam revisi tersebut.
"Pertama, mengenai platform e-commerce yang tidak boleh menjual barang bernilai di bawah USD100 secara lintas negara atau cross-border secara langsung," kata Ketua Umum APLE, Sonny Harsono dalam pernyataannya, Sabtu (5/8/2023).
Lebih lanjut yang kedua, tentang platform belanja online yang tidak boleh menjadi produsen dan keiga soal pengenaan pajak yang sama antara barang impor dan UMKM. Sonny menjelaskan, dari ketiga poin di atas pemerintah harus membatalkan poin pertama.
Mengenai poin kedua dan ketiga, pajak masuk barang bisa dinaikkan dari 7,5% menjadi 10% apabila harga barang dinilai terlalu murah. Poin pertama harus dibatalkan, karena proteksi dengan cara pelarangan dapat dikategorikan melanggar prinsip-prinsip perdagangan internasional sesuai kesepakatan bersama berdasarkan perjanjian World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi perdagangan dunia. Oleh karena itu apabila dilanggar, Indonesia akan menghadapi kesulitan dalam kancah perdagangan internasional.
Kekhawatiran serupa pun sebenarnya telah disampaikan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) terhadap rencana penerapan kebijakan baru dari Kementerian Perdagangan tersebut. APLE juga menyayangkan kebijakan ini yang tidak disiapkan dengan kajian komprehensif, dan masih menggunakan pendekatan secara konvensional.
Selanjutnya sehubungan dengan poin kedua, Sonny menjelaskan, cross-border trading oleh merchant luar negeri merupakan bentuk perdagangan masa depan dan telah berlaku universal dengan asas resiprokal atau timbal balik sesama negara. Saat ini, UMKM Tanah Air telah menikmati dan sangat diuntungkan sebagai merchant ekspor secara cross-border ke enam negara ASEAN.
Oleh karena itu, apabila terjadi pelarangan impor ke Indonesia, maka keberlangsungan bisnis puluhan juta UMKM dengan pasar ekspor pun akan terancam. "Sebab, ada asas resiprokal yang diterapkan oleh negara-negara lain," ujar Sonny.
Lebih lanjut, aturan dari Kementerian Perdagangan ini juga tidak pernah membicarakan tentang sistem pengawasannya. Kemudian tentang poin ketiga dalam hal pemasukan negara, sebenarnya telah digunakan sistem delivery duty paid (DDP) dengan menerapkan e-catalog, untuk memastikan pemenuhan pembayaran bea masuk dan pajak impor barang e-commerce. Sistem ini pun diakui sebagai yang terbaik di Kawasan ASEAN.
Asosiasi pun mengingatkan, pembeli barang impor cross-border bukanlah market UMKM karena barang-barang tersebut tidak tersedia di dalam negeri. Pembelinya pun harus menunggu delapan sampai sepuluh hari.
Oleh karena itu, kecil kemungkinannya barang yang diperdagangkan adalah barang yang bersentuhan dengan produk UMKM. Lazimnya, produk UMKM dapat diperoleh dengan mudah di dalam negeri. Revisi aturan oleh pemerintah mengenai kebijakan impor ini tidak mempertimbangkan bahwa apabila keran jalur resmi impor e-commerce cross-border ditutup, maka barang tersebut pasti akan diimpor secara ilegal karena tidak mungkin barang personal-use tersebut dimasukkan oleh importir karena sifatnya yang mengikuti tren dan berubah-ubah contohnya aksesoris dan lain-lain, lebih jauh banyak UMKM memanfaatkan barang ini sebagai pelengkap produksi
mereka.
Ditambah barang ekspor lintas negara UMKM kita bisa juga ikut terganggu, sebab yang selama ini mendukung, dalam hal ini memasarkan barang-barang ekspor cross-border e-commerce adalah para platform cross-border impor. APLE meyakini bahwa sebenarnya yang menjadi permasalahan pokok adalah tentang meningkatkan competitive advantage agar produk-produk UMKM dalam negeri bisa bersaing.
"Namun kami menyayangkan solusi dari pemerintah berupa pelarangan yang tidak diterapkan secara menyeluruh, melainkan hanya kepada e-commerce cross-border," ujar Sonny.
Hal ini akhirnya menjadi tidak lazim, karena menegasikan perkembangan zaman. Di samping itu, kebijakan tersebut tidak disertai sistem pengawasan terotomasi yang memadai. Akibatnya, efektivitasnya dipertanyakan.
Para pengusaha yang tergabung dalam APLE pun menyayangkan kebijakan yang kurang menghargai upaya para platform cross-border import yang telah berhasil meningkatkan competitive advantage UMKM melalui export cross-border dengan berbagai inisiatif, mulai dari kampus UMKM, inkubasi, hingga bantuan desain, pemasaran, serta penjualan.
"Pertama, mengenai platform e-commerce yang tidak boleh menjual barang bernilai di bawah USD100 secara lintas negara atau cross-border secara langsung," kata Ketua Umum APLE, Sonny Harsono dalam pernyataannya, Sabtu (5/8/2023).
Lebih lanjut yang kedua, tentang platform belanja online yang tidak boleh menjadi produsen dan keiga soal pengenaan pajak yang sama antara barang impor dan UMKM. Sonny menjelaskan, dari ketiga poin di atas pemerintah harus membatalkan poin pertama.
Mengenai poin kedua dan ketiga, pajak masuk barang bisa dinaikkan dari 7,5% menjadi 10% apabila harga barang dinilai terlalu murah. Poin pertama harus dibatalkan, karena proteksi dengan cara pelarangan dapat dikategorikan melanggar prinsip-prinsip perdagangan internasional sesuai kesepakatan bersama berdasarkan perjanjian World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi perdagangan dunia. Oleh karena itu apabila dilanggar, Indonesia akan menghadapi kesulitan dalam kancah perdagangan internasional.
Kekhawatiran serupa pun sebenarnya telah disampaikan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) terhadap rencana penerapan kebijakan baru dari Kementerian Perdagangan tersebut. APLE juga menyayangkan kebijakan ini yang tidak disiapkan dengan kajian komprehensif, dan masih menggunakan pendekatan secara konvensional.
Selanjutnya sehubungan dengan poin kedua, Sonny menjelaskan, cross-border trading oleh merchant luar negeri merupakan bentuk perdagangan masa depan dan telah berlaku universal dengan asas resiprokal atau timbal balik sesama negara. Saat ini, UMKM Tanah Air telah menikmati dan sangat diuntungkan sebagai merchant ekspor secara cross-border ke enam negara ASEAN.
Oleh karena itu, apabila terjadi pelarangan impor ke Indonesia, maka keberlangsungan bisnis puluhan juta UMKM dengan pasar ekspor pun akan terancam. "Sebab, ada asas resiprokal yang diterapkan oleh negara-negara lain," ujar Sonny.
Lebih lanjut, aturan dari Kementerian Perdagangan ini juga tidak pernah membicarakan tentang sistem pengawasannya. Kemudian tentang poin ketiga dalam hal pemasukan negara, sebenarnya telah digunakan sistem delivery duty paid (DDP) dengan menerapkan e-catalog, untuk memastikan pemenuhan pembayaran bea masuk dan pajak impor barang e-commerce. Sistem ini pun diakui sebagai yang terbaik di Kawasan ASEAN.
Asosiasi pun mengingatkan, pembeli barang impor cross-border bukanlah market UMKM karena barang-barang tersebut tidak tersedia di dalam negeri. Pembelinya pun harus menunggu delapan sampai sepuluh hari.
Oleh karena itu, kecil kemungkinannya barang yang diperdagangkan adalah barang yang bersentuhan dengan produk UMKM. Lazimnya, produk UMKM dapat diperoleh dengan mudah di dalam negeri. Revisi aturan oleh pemerintah mengenai kebijakan impor ini tidak mempertimbangkan bahwa apabila keran jalur resmi impor e-commerce cross-border ditutup, maka barang tersebut pasti akan diimpor secara ilegal karena tidak mungkin barang personal-use tersebut dimasukkan oleh importir karena sifatnya yang mengikuti tren dan berubah-ubah contohnya aksesoris dan lain-lain, lebih jauh banyak UMKM memanfaatkan barang ini sebagai pelengkap produksi
mereka.
Ditambah barang ekspor lintas negara UMKM kita bisa juga ikut terganggu, sebab yang selama ini mendukung, dalam hal ini memasarkan barang-barang ekspor cross-border e-commerce adalah para platform cross-border impor. APLE meyakini bahwa sebenarnya yang menjadi permasalahan pokok adalah tentang meningkatkan competitive advantage agar produk-produk UMKM dalam negeri bisa bersaing.
"Namun kami menyayangkan solusi dari pemerintah berupa pelarangan yang tidak diterapkan secara menyeluruh, melainkan hanya kepada e-commerce cross-border," ujar Sonny.
Hal ini akhirnya menjadi tidak lazim, karena menegasikan perkembangan zaman. Di samping itu, kebijakan tersebut tidak disertai sistem pengawasan terotomasi yang memadai. Akibatnya, efektivitasnya dipertanyakan.
Para pengusaha yang tergabung dalam APLE pun menyayangkan kebijakan yang kurang menghargai upaya para platform cross-border import yang telah berhasil meningkatkan competitive advantage UMKM melalui export cross-border dengan berbagai inisiatif, mulai dari kampus UMKM, inkubasi, hingga bantuan desain, pemasaran, serta penjualan.
(nng)