Mata Uang BRICS Bakal Gantikan Dolar Disebut Gagasan Konyol
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gaung akan dibentuknya mata uang bersama oleh negara-negara BRICS - Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan - makin menguat menjelang pertemuan puncak di Afrika Selatan 22-24 Agustus mendatang. Mata uang bersama tersebut diyakini akan menjadi pesaing dolar AS sebagai mata uang cadangan terbesar di dunia.
Namun, gagasan mata uang BRICS akan mendepak dolar AS itu justru disebut konyol oleh ekonom veteran Jim O'Neill, orang yang menciptakan dan mempopulerkan istilah BRIC ketika dia bekerja di Goldman Sachs pada tahun 2001.
"Ini hanya konyol," katanya kepada Financial Times, Selasa (15/8), seperti dikutip Fortune.com. "Mereka akan membuat bank sentral BRICS? Bagaimana Anda melakukannya? Ini (bahkan) hampir memalukan," cetusnya.
O'Neill yang sekarang menjadi penasihat senior di think tank Chatham House yang berbasis di Inggris, berpendapat bahwa kelompok negara tersebut "tidak pernah mencapai apa pun sejak mereka pertama kali memulai pertemuan" pada tahun 2009.
Dorongan untuk de-dolarisasi di antara negara-negara BRICS menguat sejak perang di Ukraina dimulai, karena sanksi Barat yang melumpuhkan terhadap Rusia dimungkinkan oleh dominasi dolar. Pada bulan April, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mendesak kelompok tersebut untuk mengembangkan alternatif yang serius terhadap dolar menggunakan bobot gabungan ekonomi mereka.
"Mengapa kita tidak bisa berdagang berdasarkan mata uang kita sendiri?" katanya dalam perjalanan kenegaraan ke China pada bulan April lalu. "Siapa yang memutuskan bahwa dolar adalah mata uang setelah hilangnya standar emas?"
Terlepas dari pembicaraan de-dolarisasi yang sedang menghangat ini, faktanya data IMF menunjukkan hampir 60% cadangan mata uang global disimpan dalam dolar AS pada tahun 2022, dan 88% transaksi internasional juga dilakukan menggunakan dolar.
Wall Street juga tampaknya tidak meganggap serius kemungkinan munculnya pesaing baru bagi dolar AS. Dylan Kremer, Co-chief Investment Officer di Certuity, yang mengelola aset hampir USD4 miliar mengatakan bahwa pengembangan mata uang umum BRICS hanyalah "jalur pembicaraan", merujuk pada poin pembicaraan yang dibawa oleh tenaga penjualan ke pertemuan klien.
Dia menilai, negara-negara BRICS ketika digabungkan, tidak memiliki stabilitas politik untuk membuat investor percaya diri dengan mata uang gabungan tersebut. "Tidak ada ancaman langsung terhadap dolar selama 10 tahun ke depan," kata Kremer kepada Fortune. "Setiap ancaman terhadap dolar atau pesaing terhadap dolar akan menjadi efek bola salju yang bergerak lebih lambat," tambahnya.
Namun, gagasan mata uang BRICS akan mendepak dolar AS itu justru disebut konyol oleh ekonom veteran Jim O'Neill, orang yang menciptakan dan mempopulerkan istilah BRIC ketika dia bekerja di Goldman Sachs pada tahun 2001.
"Ini hanya konyol," katanya kepada Financial Times, Selasa (15/8), seperti dikutip Fortune.com. "Mereka akan membuat bank sentral BRICS? Bagaimana Anda melakukannya? Ini (bahkan) hampir memalukan," cetusnya.
O'Neill yang sekarang menjadi penasihat senior di think tank Chatham House yang berbasis di Inggris, berpendapat bahwa kelompok negara tersebut "tidak pernah mencapai apa pun sejak mereka pertama kali memulai pertemuan" pada tahun 2009.
Dorongan untuk de-dolarisasi di antara negara-negara BRICS menguat sejak perang di Ukraina dimulai, karena sanksi Barat yang melumpuhkan terhadap Rusia dimungkinkan oleh dominasi dolar. Pada bulan April, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mendesak kelompok tersebut untuk mengembangkan alternatif yang serius terhadap dolar menggunakan bobot gabungan ekonomi mereka.
"Mengapa kita tidak bisa berdagang berdasarkan mata uang kita sendiri?" katanya dalam perjalanan kenegaraan ke China pada bulan April lalu. "Siapa yang memutuskan bahwa dolar adalah mata uang setelah hilangnya standar emas?"
Terlepas dari pembicaraan de-dolarisasi yang sedang menghangat ini, faktanya data IMF menunjukkan hampir 60% cadangan mata uang global disimpan dalam dolar AS pada tahun 2022, dan 88% transaksi internasional juga dilakukan menggunakan dolar.
Wall Street juga tampaknya tidak meganggap serius kemungkinan munculnya pesaing baru bagi dolar AS. Dylan Kremer, Co-chief Investment Officer di Certuity, yang mengelola aset hampir USD4 miliar mengatakan bahwa pengembangan mata uang umum BRICS hanyalah "jalur pembicaraan", merujuk pada poin pembicaraan yang dibawa oleh tenaga penjualan ke pertemuan klien.
Dia menilai, negara-negara BRICS ketika digabungkan, tidak memiliki stabilitas politik untuk membuat investor percaya diri dengan mata uang gabungan tersebut. "Tidak ada ancaman langsung terhadap dolar selama 10 tahun ke depan," kata Kremer kepada Fortune. "Setiap ancaman terhadap dolar atau pesaing terhadap dolar akan menjadi efek bola salju yang bergerak lebih lambat," tambahnya.