Exchanger Kripto Asing yang Belum Berizin Dinilai Rugikan Negara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) mengaku telah mengirimkan surat ke Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi ( Bappebti ) Kementerian Perdagangan. Mereka mengadukan exchanger kripto asing yang marak di Indonesia, namun belum terjamah regulasi yang ada.
Para exchanger kripto asing ini juga banyak yang belum terdaftar di Bappebti. Salah satu yang diadukan adalah Binance.
"Binance cuma satu contoh dari 300 yang sudah disebutkan yang penggunanya besar di Indonesia, ini jadi perhatian sendiri dari satu pemerintahan. Dari industri sendiri kita sudah kirimkan surat ke Bappebti terkait exchanger's ini," kata Pandu, dikutip Sabtu (19/8/2023).
Pandu mengaku, ABI telah membuat kajian untuk menghitung berapa kerugian negara jika praktik ini terus berlanjut. Salah satu bentuk kerugian adalah keluarnya arus modal di dalam negeri.
Sebab pada praktiknya ada exchanger kripto asing yang belum terdaftar di Bappebti, tapi bisa diakses oleh para investor kripto. Transaksi yang dilakukan investor lokal kemudian diproses di sistem exchanger di luar negeri.
"Contohnya ada exchangers asing yang belum terverifikasi di Indonesia tapi sangat mudah diakses dan banyak layanan-layanan lain yang di Indonesia belum diatur. Mereka beli koin-koin besar seperti Bitcoin dan Etherium menggunakan layanan lainnya di luar negeri dan ini jadi perhatian sendiri," terangnya.
Pandu menilai ada celah yang membuat negara rugi karena banyak exchanger asing belum terdaftar. Menurutnya salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah pemblokiran baik website maupun aplikasi.
"Ada beberapa yang saya tahu yang sudah kena ban websitenya, tapi aplikasinya masih bisa di install dan digunakan. Jadi kembali kalau kita dari industri mencoba membuat kajian perlihatkan seperti apa kerugian negara karena kita tahu pendapatan negara untuk pajak kripto pada bulan Mei-September tahun lalu cukup besar. Jadi potensi bisa lebih besar lagi kalau ini terjaring di Kemenkeu," tutupnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko mengakui bahwa penyerapan pajak kripto nasional belum begitu optimal. Dia menjelaskan belum optimalnya penerimaan pajak kripto tidak lepas dari masih lesunya pasar kripto di 2022.
"Transaksi kripto di 2022 itu kan jauh menurun bila dibandingkan 2021. Pada 2021 itu kan Rp 859,9 triliun dan 2022 sekitar Rp300an triliun. Artinya kan potensinya memang menurun di tahun 2022," tuturnya.
"Tapi kan pengenaan pajak baru dikenakan di Mei 2022. Nah kalau kita bandingkan nilai transaksi Mei-Desember itu kan juga relevan dengan angka itu. Artinya tidak ada transaksi yang tidak kena pajak," tambahnya.
Pemerintah sendiri menetapkan tarif atas transaksi aset kripto sebesar 0,1% untuk PPh Pasal 22 dan 0,11% untuk PPN final. Tarif itu untuk untuk transaksi di exchanger dalam negeri yang sudah terdaftar di Bappebti.
Sementara untuk transaksi kripto di exchanger luar negeri tarifnya yakni 0,2% untuk PPh Pasal 22 dan 0,22% untuk PPN final. Namun permasalahannya pengenaan pajak untuk transaksi kripto di exchanger luar negeri masih belum optimal.
"Perdagangan di luar negeri bertransaksi di Indonesia. Mereka tidak berizin, dan bukan mereka masuk ke Indonesia. Justru investor kita belinya dari yang ada di luar negeri," terangnya.
Didid menjelaskan, hingga saat ini transaksi kripto yang dilakukan investor RI di luar negeri masih sulit untuk dideteksi. Sehingga pengenaan tarif pajak sulit untuk dilakukan.
Kementerian Perdagangan telah membuat langkah-langkah strategis dalam pengembangan akselerasi industri aset kripto. Di antaranya pembentukan Bursa Berjangka, Kliring Berjangka, dan Pengelola Tempat Penyimpanan (Depository) untuk Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto.
Bappebti sudah mengeluarkan beberapa peraturan terkait aset kripto. Salah satu kriteria dalam penetapan jenis aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia yaitu berbasis Distributed Ledger Technology atau berbasis teknologi blockchain.
Para exchanger kripto asing ini juga banyak yang belum terdaftar di Bappebti. Salah satu yang diadukan adalah Binance.
"Binance cuma satu contoh dari 300 yang sudah disebutkan yang penggunanya besar di Indonesia, ini jadi perhatian sendiri dari satu pemerintahan. Dari industri sendiri kita sudah kirimkan surat ke Bappebti terkait exchanger's ini," kata Pandu, dikutip Sabtu (19/8/2023).
Pandu mengaku, ABI telah membuat kajian untuk menghitung berapa kerugian negara jika praktik ini terus berlanjut. Salah satu bentuk kerugian adalah keluarnya arus modal di dalam negeri.
Sebab pada praktiknya ada exchanger kripto asing yang belum terdaftar di Bappebti, tapi bisa diakses oleh para investor kripto. Transaksi yang dilakukan investor lokal kemudian diproses di sistem exchanger di luar negeri.
"Contohnya ada exchangers asing yang belum terverifikasi di Indonesia tapi sangat mudah diakses dan banyak layanan-layanan lain yang di Indonesia belum diatur. Mereka beli koin-koin besar seperti Bitcoin dan Etherium menggunakan layanan lainnya di luar negeri dan ini jadi perhatian sendiri," terangnya.
Pandu menilai ada celah yang membuat negara rugi karena banyak exchanger asing belum terdaftar. Menurutnya salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah pemblokiran baik website maupun aplikasi.
"Ada beberapa yang saya tahu yang sudah kena ban websitenya, tapi aplikasinya masih bisa di install dan digunakan. Jadi kembali kalau kita dari industri mencoba membuat kajian perlihatkan seperti apa kerugian negara karena kita tahu pendapatan negara untuk pajak kripto pada bulan Mei-September tahun lalu cukup besar. Jadi potensi bisa lebih besar lagi kalau ini terjaring di Kemenkeu," tutupnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko mengakui bahwa penyerapan pajak kripto nasional belum begitu optimal. Dia menjelaskan belum optimalnya penerimaan pajak kripto tidak lepas dari masih lesunya pasar kripto di 2022.
"Transaksi kripto di 2022 itu kan jauh menurun bila dibandingkan 2021. Pada 2021 itu kan Rp 859,9 triliun dan 2022 sekitar Rp300an triliun. Artinya kan potensinya memang menurun di tahun 2022," tuturnya.
"Tapi kan pengenaan pajak baru dikenakan di Mei 2022. Nah kalau kita bandingkan nilai transaksi Mei-Desember itu kan juga relevan dengan angka itu. Artinya tidak ada transaksi yang tidak kena pajak," tambahnya.
Pemerintah sendiri menetapkan tarif atas transaksi aset kripto sebesar 0,1% untuk PPh Pasal 22 dan 0,11% untuk PPN final. Tarif itu untuk untuk transaksi di exchanger dalam negeri yang sudah terdaftar di Bappebti.
Sementara untuk transaksi kripto di exchanger luar negeri tarifnya yakni 0,2% untuk PPh Pasal 22 dan 0,22% untuk PPN final. Namun permasalahannya pengenaan pajak untuk transaksi kripto di exchanger luar negeri masih belum optimal.
"Perdagangan di luar negeri bertransaksi di Indonesia. Mereka tidak berizin, dan bukan mereka masuk ke Indonesia. Justru investor kita belinya dari yang ada di luar negeri," terangnya.
Didid menjelaskan, hingga saat ini transaksi kripto yang dilakukan investor RI di luar negeri masih sulit untuk dideteksi. Sehingga pengenaan tarif pajak sulit untuk dilakukan.
Kementerian Perdagangan telah membuat langkah-langkah strategis dalam pengembangan akselerasi industri aset kripto. Di antaranya pembentukan Bursa Berjangka, Kliring Berjangka, dan Pengelola Tempat Penyimpanan (Depository) untuk Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto.
Bappebti sudah mengeluarkan beberapa peraturan terkait aset kripto. Salah satu kriteria dalam penetapan jenis aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia yaitu berbasis Distributed Ledger Technology atau berbasis teknologi blockchain.
(uka)