Tempuh Jalur Arbitrase, Freeport Disebut Berpotensi Bangkrut

Rabu, 22 Februari 2017 - 17:36 WIB
Tempuh Jalur Arbitrase,...
Tempuh Jalur Arbitrase, Freeport Disebut Berpotensi Bangkrut
A A A
JAKARTA - Saham Freeport Mc-Moran yang merupakan perusahaan induk PT Freeport Indonesia berpotensi semakin terpuruk jika melakukan proses arbitrase di Mahkamah Internasional. Pasalnya proses arbitrase memerlukan waktu yang panjang sedangkan PTFI hingga saat ini tidak dapat melakukan ekspor konsentrat tembaga.

“Selama pelarangan ekspor konsentrat berdasarkan peraturan perundangan berlaku, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk gentar menghadapi ancaman Freeport. Freeport akan menghitung cost and benefit dalam menerapkan ancamannya. Salah satu perhitungan Freeport adalah semakin merosotnya harga saham McMoRan Copper & Gold Inc di Bursa New York (FCX),” ujar pakar ekonomi energi dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta Fahmy Radhi kepada KORAN SINDO, di Jakarta, Rabu (22/2/2017).

(Baca Juga: Sri Mulyani: Saham Freeport Anjlok jika Berhenti Operasi
Menurut dia dua tahun lalu harga saham FCX masih bertengger sekitar USD62 per saham. Pada perdagangan akhir Desember 2015, harga saham FCX terpuruk menjadi USD 8,3 per saham. Selanjutnya pada Januari 2016 turun lagi menjadi USD3,96 per saham.

Salah satu penyebab sentimen penurunan harga saham FCX adalah tidak adanya kepastian perpanjangan KK Freport dari pemerintah Indonesia. Sehingga pihaknya meyakini penerapan ancaman Freeport dapat lebih memperpuruk harga saham FCX. Bahkan tidak menutup kemungkinan penurunan harga saham FCX yang berkelanjutan akan memicu kebangkrutan McMoRan Copper & Gold Inc.

“Tentunya direksi dan pemegang saham tidak menghendaki kebangkrutan benar-benar menimpa McMoRan Copper & Gold Inc,” ujar dia.

(Baca Juga: Dirundung Setumpuk Masalah, Saham Freeport Anjlok
Berdasarkan hitung-hitungan itu, kata dia, kecil kemungkinan Freeport akan menerapkan acaman yang sudah ditebar. Namun, ancaman Freeport, yang tidak lebih hanya gertakan sambal, tetap harus dilawan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia.

Mantan Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini menegaskan perilaku Freeport yang main ancam terhadap Indonesia, sudah sangat berlebihan, sehingga bangsa Indonesia harus melawan. Tidak tanggung-tanggung PTFI mendatangkan Chief Executive Officer Freeport McMoRan Richard C Adkerson ke Jakarta hanya untuk menebar acaman. Richad akan memperkarakan pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional, bila dalam 120 hari tuntutan Freeport tidak dipenuhi.

Sebelumnya, kata dia, untuk menentang UU 4/2009 tentang Mineral dan Batubara yang melarang ekspor konsentrat tanpa diproses dan dimurnikan di smelter dalam negeri Freeport juga mengancam Pemerintah. Ancaman itu meliputi menghentikan produksi, merumahkan karyawan Freeport, memperkarakan pemerintah Indonesia ke Arbitase Internasional, persis seperti yang dilakukan sekarang.

Lantaran takut ancaman Freeport, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu akhirnya mengabulkan tuntutan PTFI untuk tetap mengizinkan ekspor konsentrat, meskipun PTFI tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan izin ekspor dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu dijabat oleh Jero Wacik dengan mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 1/2014, yang mengizinkan Freeport mengeskpor konsentrat dengan kadar tertentu.

Tak berhenti disitu Menteri ESDM jilid satu Pemerintahan Joko Widodo, yakni Sudirman Said tetap saja mengizinkan PTFI mengekspor konsetrat. Izin ekspor itu dikeluarkan pada setiap tahun berdasarkan hasil evaluasi atas kemajuan pembangunan smelter.

Pada saat Acandra Tahar menjadi Menteri ESDM jilid dua selama 20 hari, salah satu keputusan penting yang diputuskan juga mengizinkan PTFI mengekspor konsentrat. Namun kali ini berbeda Menteri ESDM Ignasius Jonan dengan tegas melarang ekspor konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan di smelter dalam negeri.

Mesti tegas, lanjutnya, pemerintah sesungguhnya memberikan opsi jalan tengah untuk tetap mengijinkan ekspor konsentrat, tanpa melabrak peraturan perundangan berlaku berlaku. Opsi itu diberikan dengan menerbitkan PP No 1/2017.

PP Minerba ini mewajibkan perusahaan pemegang KK untuk mengolah dan memurnikan konsentrat di smelter dalam negeri, kecuali bersedia mengubah status kontrak dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Awalnya Freeport menyetujui status IUPK, namun Freeport menolak persyaratan IUPK terkait divestasi 51% secara bertahap dalam 10 tahun dan sistim fiskal prevailing besaran pajak yang berubah seiring dengan perubahan peraturan pajak di Indonesia,” kata dia.

Freeport akhirnya ngotot untuk tetap menggunakan sistim fiskal naildown atau besaran pajak tetap, seperti yang diterapkan oleh Freeport sebelumnya dengan status KK. Menurutnya pemberian izin ekspor konsentrat tanpa menyetujui persyaratan divestasi dan sistem fiskal, termasuk pelanggaran terhadap PP Minerba 1/2017.

“Kalau Freeport kembali menggunakan status KK, pemberian izin ekspor, yang tidak diolah dan dimurnikan di smelter dalam negeri, juga termasuk pelanggaran UU Minerba 4/2009,” tandas dia.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4431 seconds (0.1#10.140)