Adu Kuat Pro dan Kontra Freeport di Ibu Kota
A
A
A
JAKARTA - Konflik antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia semakin memanas. Pihak-pihak yang menamakan dirinya sebagai 'korban' dari tarik menarik kepentingan antara pemerintah dengan Freeport pun mulai bermunculan.
(Baca Juga: Luhut Pastikan Solusi Konflik Freeport Tak Korbankan Karyawan
Sejak kasus kontrak karya (KK) Freeport mencuat, Ibu Kota tiba-tiba ramai dengan kehadiran orang-orang dari Papua yang datang dengan misi dan kepentingan mereka masing-masing. Ada yang pro dan ada yang kontra dengan keberadaan Freeport di Bumi Cendrawasih tersebut.
Tak terkecuali karyawan-karyawan yang bekerja di anak usaha Freeport McMoran tersebut. Mereka mati-matian membela Freeport dan meminta pemerintah segera memberikan kepastian.
(Baca Juga: Karyawan Freeport Ngadu ke Luhut Jadi Korban Konflik Kepentingan
Bahkan, mereka rela patungan untuk menyuarakan aspirasi mereka langsung ke Ibu Kota. Aneh memang, karena para pekerja yang membela Freeport habis-habisan tersebut juga merupakan masyarakat Papua. Mereka adalah masyarakat dimana kekayaan alamnya dikeruk habis-habisan selama puluhan tahun.
(Baca Juga: Masyarakat Papua ke Jakarta Tuntut Pemerintah Tutup Freeport
Lantas, mengapa mereka begitu mati-matian membela kepentingan Freeport? Salah seorang pekerja Freeport Bertha Julianus Ibo yang melakukan aksi unjuk rasa di Jakarta mengaku bahwa perusahaan asal AS tersebut selama ini memperlakukan karyawan secara istimewa. Gaji yang mereka dapat dari Freeport jauh di atas rata-rata pada semua level.
"Kalau ke karyawan benefit yang kami terima cukup banyak dan untuk dari sisi penghasilan kami jauh di atas rata rata UMR," akunya di Kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) bidang Kemaritiman, Jakarta, Kamis (9/3/2017).
Bahkan, jaminan sosial yang mereka peroleh pun cukup mumpuni. Freeport, menurut mereka, menanggung tunjangan kesehatan 100% dari mulai bekerja hingga meninggal dunia. Bahkan, benefit tersebut juga dirasakan oleh anak dan istri. "Jaminan soisal kami dapatkan itu semua 100%. Itu kami dapatkan dari mulai bekerja sampai kami meninggal istri anak kami ditanggung perusahan," ungkap dia.
Lain lagi dengan Arland Suruan, yang juga pekerja Freeport dan ikut demo di Kantor Kementerian ESDM dan DPR mengungkapkan, Freeport adalah satu-satunya perusahaan asing di Tanah Air yang memberikan andil besar terhadap pengembangan masyarakat lokal di Papua. Raksasa tambang yang bermarkas di Negeri Paman Sam -julukan AS- tersebut memberikan program literasi kepada masyarakat Papua.
"Hanya Freeport satu-satunya yang berikan andil besar bagi pengembangan masyarakat lokal Papua. Terutama pengembangan dari level terendah sampai yang di posisi pengambil keputusan," tuturnya.
Juru Bicara Gerakan Solidaritas Peduli Freeport (GSPF) Virgo Solossa menambahkan, jika Freeport tidak hadir di Tanah Air, maka tidak ada perusahaan di Indonesia yang akan sanggup menjangkau gunung-gunung di Papua.
"Lima puluh tahun Freeport beroperasi katanya tidak memberikan kontribusi, pernahakah ibu berpikir bagaimana kalo Freeport tidak pernah ada di Papua? Apa pemerintah bisa menjangkau gunung-gunung? Tidak bisa. Di pinggiran jalan saja, tidak apalagi di pelosok Papua," tandasnya.
Pernyataan ini agak berbeda dengan pernyataan masyarakat Suku Amungme yang melakukan audiensi dengan Kementerian ESDM kemarin. Mereka justru menolak keras keberadaan Freeport dan meminta pemerintah segera menutup kegiatan operasional Freeport di Indonesia.
Bahkan, mereka menganggap kehadiran Freeport justru menciptakan pertikaian antar suku yang ada di wilayah tersebut. Darmais, salah seorang perwakilan masyarakat Papua yang melakukan mediasi dengan Kementerian ESDM menyatakan, sejak Freeport hadir pada 1961 selalu terjadi kerusuhan besar-besaran. Menurutnya, kehadiran Freeport mempertaruhkan nyawa masyarakat Papua.
"Kami adalah korban. Tidak ada unsur lain. Disini semenjak Freeport hadir 1961, kerusuhan besar-besaran. Nyawa pun jadi taruhan," katanya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (8/3) kemarin.
Menurutnya, raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut memang kerap membagikan dana hibah kepada masyarakat Papua sebesar 1% dari kegiatan operasional Freeport di Paoua tersebut. Namun, dana hibah tersebut justru kerap menjadi sumbu pertikaian antar suku di wilayah tersebut.
"Dana 1% yang turun dana hibah itu memang kebiasaan Freeport kalau ada masalah pasti dananya turun. Terus dana 1% itu jadi pertikaian antar suku. Mungkin sering nonton, Timika begini ribut begini. Itulah hasil dari 1% itu," imbuh dia.
(Baca Juga: Luhut Pastikan Solusi Konflik Freeport Tak Korbankan Karyawan
Sejak kasus kontrak karya (KK) Freeport mencuat, Ibu Kota tiba-tiba ramai dengan kehadiran orang-orang dari Papua yang datang dengan misi dan kepentingan mereka masing-masing. Ada yang pro dan ada yang kontra dengan keberadaan Freeport di Bumi Cendrawasih tersebut.
Tak terkecuali karyawan-karyawan yang bekerja di anak usaha Freeport McMoran tersebut. Mereka mati-matian membela Freeport dan meminta pemerintah segera memberikan kepastian.
(Baca Juga: Karyawan Freeport Ngadu ke Luhut Jadi Korban Konflik Kepentingan
Bahkan, mereka rela patungan untuk menyuarakan aspirasi mereka langsung ke Ibu Kota. Aneh memang, karena para pekerja yang membela Freeport habis-habisan tersebut juga merupakan masyarakat Papua. Mereka adalah masyarakat dimana kekayaan alamnya dikeruk habis-habisan selama puluhan tahun.
(Baca Juga: Masyarakat Papua ke Jakarta Tuntut Pemerintah Tutup Freeport
Lantas, mengapa mereka begitu mati-matian membela kepentingan Freeport? Salah seorang pekerja Freeport Bertha Julianus Ibo yang melakukan aksi unjuk rasa di Jakarta mengaku bahwa perusahaan asal AS tersebut selama ini memperlakukan karyawan secara istimewa. Gaji yang mereka dapat dari Freeport jauh di atas rata-rata pada semua level.
"Kalau ke karyawan benefit yang kami terima cukup banyak dan untuk dari sisi penghasilan kami jauh di atas rata rata UMR," akunya di Kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) bidang Kemaritiman, Jakarta, Kamis (9/3/2017).
Bahkan, jaminan sosial yang mereka peroleh pun cukup mumpuni. Freeport, menurut mereka, menanggung tunjangan kesehatan 100% dari mulai bekerja hingga meninggal dunia. Bahkan, benefit tersebut juga dirasakan oleh anak dan istri. "Jaminan soisal kami dapatkan itu semua 100%. Itu kami dapatkan dari mulai bekerja sampai kami meninggal istri anak kami ditanggung perusahan," ungkap dia.
Lain lagi dengan Arland Suruan, yang juga pekerja Freeport dan ikut demo di Kantor Kementerian ESDM dan DPR mengungkapkan, Freeport adalah satu-satunya perusahaan asing di Tanah Air yang memberikan andil besar terhadap pengembangan masyarakat lokal di Papua. Raksasa tambang yang bermarkas di Negeri Paman Sam -julukan AS- tersebut memberikan program literasi kepada masyarakat Papua.
"Hanya Freeport satu-satunya yang berikan andil besar bagi pengembangan masyarakat lokal Papua. Terutama pengembangan dari level terendah sampai yang di posisi pengambil keputusan," tuturnya.
Juru Bicara Gerakan Solidaritas Peduli Freeport (GSPF) Virgo Solossa menambahkan, jika Freeport tidak hadir di Tanah Air, maka tidak ada perusahaan di Indonesia yang akan sanggup menjangkau gunung-gunung di Papua.
"Lima puluh tahun Freeport beroperasi katanya tidak memberikan kontribusi, pernahakah ibu berpikir bagaimana kalo Freeport tidak pernah ada di Papua? Apa pemerintah bisa menjangkau gunung-gunung? Tidak bisa. Di pinggiran jalan saja, tidak apalagi di pelosok Papua," tandasnya.
Pernyataan ini agak berbeda dengan pernyataan masyarakat Suku Amungme yang melakukan audiensi dengan Kementerian ESDM kemarin. Mereka justru menolak keras keberadaan Freeport dan meminta pemerintah segera menutup kegiatan operasional Freeport di Indonesia.
Bahkan, mereka menganggap kehadiran Freeport justru menciptakan pertikaian antar suku yang ada di wilayah tersebut. Darmais, salah seorang perwakilan masyarakat Papua yang melakukan mediasi dengan Kementerian ESDM menyatakan, sejak Freeport hadir pada 1961 selalu terjadi kerusuhan besar-besaran. Menurutnya, kehadiran Freeport mempertaruhkan nyawa masyarakat Papua.
"Kami adalah korban. Tidak ada unsur lain. Disini semenjak Freeport hadir 1961, kerusuhan besar-besaran. Nyawa pun jadi taruhan," katanya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (8/3) kemarin.
Menurutnya, raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut memang kerap membagikan dana hibah kepada masyarakat Papua sebesar 1% dari kegiatan operasional Freeport di Paoua tersebut. Namun, dana hibah tersebut justru kerap menjadi sumbu pertikaian antar suku di wilayah tersebut.
"Dana 1% yang turun dana hibah itu memang kebiasaan Freeport kalau ada masalah pasti dananya turun. Terus dana 1% itu jadi pertikaian antar suku. Mungkin sering nonton, Timika begini ribut begini. Itulah hasil dari 1% itu," imbuh dia.
(akr)